Jumat, 22 November, 2024

Bawaslu Stop Kasus di Sukoharjo, Mardani Dorong Pelaporan Pelanggaran Pemilu Dipermudah

MONITOR, Jakarta – Anggota DPR Mardani Ali Sera menyoroti dugaan pelanggaran netralitas perangkat desa dalam pilkada di Sukoharjo yang kasusnya dihentikan Bawaslu karena dianggap tidak memenuhi syarat formil. Ia pun mendorong Bawaslu dan lembaga terkait mempermudah pelaporan dugaan pelanggaran Pilkada demi memastikan terwujudnya keadilan demokrasi.

“Penghentian tindak lanjut terhadap dugaan pelanggaran Pemilu tersebut sebenarnya sangat disayangkan. Mungkin aturan soal batas waktu pelaporan bisa dikaji ulang agar dugaan pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu betul-betul dapat diusut,” ujar Mardani, Jumat (11/10/2024).

Salah satu kasus dugaan pelanggaran Pilkada terjadi di Sukoharjo di mana Bawaslu menerima laporan dugaan pelanggaran netralitas perangkat desa di Kecamatan Polokarto. Sayangnya, laporan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena batas waktu pelaporan sudah kedaluwarsa atau melewati batas waktu yang ditetapkan.

Menurut Mardani, penerapan batas waktu yang terlalu ketat dalam proses pelaporan dugaan pelanggaran Pemilu dapat menjadi hambatan serius dalam proses penegakan keadilan. “Ini harus jadi perhatian kita bersama untuk memperbaiki aturan, agar jangan sampai regulasi menjadi penghambat tegaknya keadilan di alam demokrasi kita,” sebut Legislator dari Dapil DKI Jakarta I itu.

- Advertisement -

Mardani mengingatkan, masa kampanye pada Pilkada 2024 yang berlangsung cukup panjang membuka cukup ruang terjadinya potensi pelanggaran. Apalagi seringkali pihak pelapor membutuhkan waktu lebih untuk akhirnya memutuskan melaporkan adanya pelanggaran.

“Dapat dipahami apabila diperlukan waktu untuk mengumpulkan bukti atau bahkan memahami bahwa tindakan yang dipersoalkan masuk dalam kategori dugaan pelanggaran, apapun bentuknya,” ungkap Mardani.

Adapun syarat atau tata cara pelaporan dugaan pelanggaran Pemilu tertuang dalam Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Dalam Pasal 4 Peraturan Bawaslu itu disebutkan, laporan terkait pelanggaran dalam Pilkada harus disampaikan paling lambat 7 hari setelah diketahuinya atau ditemukannya pelanggaran. Mardani pun menyebut diperlukan pertimbangan kembali mengenai batas waktu pelaporan pelanggaran dalam Pemilu. “Karena dengan adanya aturan batas waktu yang ketat, peluang masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran yang terjadi menjadi semakin terbatas,” tuturnya.

“Prinsipnya, mudahkan pelaporan. Karena hal ini juga dapat memberi kesempatan bagi terlapor untuk membela diri, sehingga Bawaslu dapat memutuskan kasus dugaan pelanggaran Pemilu secara adil dan harus dilakukan dengan transparan,” sambung Mardani.

Mardani yang dalam periode DPR sebelumnya bertugas di Komisi II dengan lingkup kerja pada urusan Pemerintahan dan pelaksanaan Pemilu itu menyebut, penyelenggara Pemilu harus menyesuaikan dengan realitas yang ada di lapangan.

“Dengan memberikan fleksibilitas lebih dalam hal pelaporan, Bawaslu akan mampu menegakkan keadilan pemilu dengan lebih efektif. Ke depan isu ini perlu dibahas bersama dengan DPR dan Pemerintah,” katanya.

Mardani menilai, penghentian kasus dugaan pelanggaran Pemilu karena masalah syarat formil dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara Pemilu seperti Bawaslu, yang seharusnya menjadi pengawas dan penjaga keadilan dalam pesta demokrasi.

“Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap proses pemilu, integritas demokrasi itu sendiri akan terancam. Semua ini hanya akan memperburuk kondisi demokrasi di Indonesia dan mengikis legitimasi pemerintahan yang terpilih,” papar Mardani.

Mardani juga menyoroti dugaan pelanggaran netralitas oleh ASN atau perangkat penyelenggara pemerintahan yang banyak dilaporkan di berbagai daerah. “Setiap dugaan pelanggaran netralitas harus disikapi dengan serius, dan aturan waktu yang terlalu kaku seharusnya tidak menjadi penghalang dalam menegakkan keadilan,” urainya.

Mardani mengingatkan sanksi tegas terhadap pelanggaran netralitas, baik berupa disiplin maupun kode etik. Sanksi dapat berupa pemotongan gaji hingga pemecatan. “Netralitas aparatur pemerintah adalah pilar utama demokrasi yang harus dilindungi,” tegas Mardani.

Maraknya kasus dugaan pelanggaran netralitas ASN juga menjadi faktor pentingnya Bawaslu mempermudah pelaporan. “Agar praktik-praktik yang tidak sehat dalam Pilkada bisa diminimalisir, termasuk kasus-kasus pelanggaran netralitas,” ujarnya.

“Saya tekankan, setiap dugaan pelanggaran netralitas pada Pemilu harus menjadi perhatian serius dan penting sekali untuk diusut karena dapat memiliki dampak domino dalam proses penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun daerah,” pungkas Mardani.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER