MONITOR, Jakarta – Diskusi Publik Bedah Kasus Dugaan Pidana Korupsi Pemotongan dan Penyalahgunaan Honorarium Penanganan Perkara (HPP) Bagi Hakim Agung di Mahkamah Agung RI pada tahun anggaran 2022-2024, yang nilainya mencapai Rp97 miliar, telah terkonfirmasi sebagai dugaan tindak pidana korupsi.
Para pembicara antara lain ahli pidana dari Universitas Triskakti, Abdul Fickar Hadjar, SH, MH, mantan Komisioner KPK, Saut Situmorang, Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, SH, dipandu moderator wartawan senior Hursubeno Arief hadir dalam diskusi publik yang digelar di Kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Rabbu (18/9/2024).
Kasus ini harus diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sekaligus menangkap pelakunya. Dikualifisir melanggar Pasal 12 huruf E dan F jo Pasal 18 UU RI 20 tahun 2021 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi jo Pasal 55 ayat ke 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP jo Pasal 3 dan 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Gratifikasi.
Hal itu tergambar dari seluruh pendapat narasumber Diskusi Publik, yang diselenggrakan Indonesia Police Watch, bersama-sama sejumlah elemen lembaga penggiat anti korupsi di Jakarta, Rabu (18/9/2024).
“Unsur dugaan pidana korupsi pemberian gratifikasi sebagaimana yang dimaksud pasal 12 UU RI 20 tahun 2021 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 setidaknya telah terpenuhi “ kata Boyamin Saiman, SH, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi dalam paparannya.
Pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara sebesar 25,95 % (diluar pemotongan untuk supervisor sebesar 7% dan 4% bagi tim pendukung administrasi yudisial) dari rekening Hakim Agung yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari Hakim Agung, pada awalnya mendapat penolakan dari sejumlah Hakim Agung, baik dalam forum-forum kecil maupun besar.
Pada pertengahan tahun 2023 beberapa Hakim Agung yang menolak mengalami pemanggilan untuk menghadap Wakil Ketua Mahkamah Agung RI, Sunarto. Selanjutnya diduga atas intervensi pimpinan Mahkamah Agung RI, para Hakim Agung diminta untuk membuat surat pernyataan yang diketahui masing-masing Ketua Kamar, yang ditandatangani diatas materai, yang pada pokoknya menyatakan bersedia dilakukan pemotongan honorarium Dana Honorarium Penanganan Perkara sebesar 40 %, dengan rincian 29% “tim pendukung teknis yudisial”, sisanya dibagikan kepada supervisor dan tim pendukung administrasi yudisial.
Tudingan itu langsung dibantah oleh juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto sehari sebelum digelar diskusi publik melalui Konperensi Pers di Jogyakarta (17/9). Namun dalil yang dibangun juru bicara Mahkamah Agung RI itu ternyata dalam diskusi publik itu patah.
Menurut Sugeng Teguh Santoso, SH, Ketua IPW, bantahan Suharto justru makin mengkofirmasi fakta tentang pemotongan dana HPP bagi hakim agung itu benar adanya, dan tidak memiliki landasan hukum. Kontruksi yang dibangun yang seolah-olah dana HPP itu diperuntukan pegawai yang duduk dalam cluster supporting system atau unit yang jumlahnya lebih dari 100 orang itu, juga runtuh. Lantaran faktanya dari dana pemotongan HPP sedikitnya senilai Rp. 97 milyar, setiap pegawai yang duduk dalam cluster supporting system atau unit hanya menerima Rp. 500 ribu per perkara.
“Disebut diduga ada intervensi pimpinan Mahkamah Agung RI terindikasi dari format dan isi surat pernyataan yang dibuat seragam, yang dikoodinir oleh pimpinan dan/atau tidak berdasarkan atas kehendak secara suka rela para hakim agung. Sehingga patut diduga telah terjadi pemaksaan yang bersifat massif dan terorganisir. Apabila tidak ada pemaksaan, sebagaimana yang didalilkan juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto, secara logis seharusnya tidak memerlukan adanya surat pernyataan,” kata Sugeng.
“Karena Dana Honorarium Penanganan Perkara adalah hak para hakim agung. Sehingga yang seharusnya menentukan jumlah yang akan diberikan kepada supporting system atau unit adalah Hakim Agung itu sendiri. Namun itupun oleh hukum dilarang. Pegawai MA yang duduk dalam supporting system atau unit bukan orang susah yang perlu diberi sodakoh atau santunan. Dalam rangka Pemberian Dana Honorarium Penanganan Perkara kepada supporting system atau unit, pimpinan Mahkamah Agung seharusnya memperjuangkan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah untuk itu, sebagaimana yang dilakukan Mahkamah Konstitusi” tukasnya.
Sementara itu, ahli pidana dari Universitas Triskakti, Abdul Fickar Hadjar, SH, MH berpendapat, keberadaan surat pernyataan sebagai bentuk kesepakatan, yang ditandatangani hakim agung itu batal demi hukum, karena materi yang tertuang didalamnya masuk ke dalam ranah hukum publik, terkait pengaturan pembagian dana yang bersumber dari uang negara, yang mutlak harus mempunyai landasan hukum. Setiap rupiah uang negara harus dikeluarkan sesuai peruntukannya. “KPK dapat pro aktif memeriksa, tidak perlu harus menunggu adanya laporan terlebih dahulu” pungkasnya.