PARLEMEN

Konflik Antara Platform Terestrial dan Digital, DPR Jelaskan Duduk Perkara Revisi UU Penyiaran

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan meyakini beleid revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran akan lebih sempurna dengan keterlibatan publik. “Saya kira masukan masyarakat sangat penting, proaktifnya masyarakat akan bermanfaat untuk penyempurnaan revisi UU Penyiaran,” kata Farhan dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu (25/4/2024).

Menurut Farhan, revisi UU Penyiaran berawal dari sebuah persaingan politik antara lembaga berita melalui platform teresterial versus jurnalisme platform digital. Pada beleid revisi UU tersebut terdapat peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Ini, kan, lagi perang ini. Jadi, revisi UU yang ada ini atau draf UU yang ada sekarang, itu memang memberikan kewenangan KPI terhadap konten lembaga penyiaran teresterial,” ucap Politisi Fraksi Partai NasDem ini.

Wakil rakyat dari Dapil Jawa Barat I (Kota Bandung – Kota Cimahi) ini juga menuturkan teresterial dimaknai penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF/UHF seperti halnya penyiaran analog. Namun, dengan format konten yang digital.

Tetapi KPI ataupun Dewan Pers, lanjut Farhan, tidak punya kewenangan terhadap platform digital. Ketika lembaga jurnalistik yang menggunakan platform digital dan mendaftarkan ke Dewan Pers, maka itu menjadi kewenangan Dewan Pers. “Lembaga pemberitaan atau karya jurnalistik yang hadir di digital platform ini, kan, makin lama makin menjamur, enggak bisa dikontrol juga sama Dewan Pers, maka keluarlah ide revisi UU Penyiaran ini,” ujar Farhan.

Dia menambahkan risiko apabila lembaga tersebut membuat produk jurnalistik di platform digital dan tidak mendaftarkan diri ke Dewan Pers. Pada tahap ini, Dewan Pers tak punya kewenangan atas lembaga tersebut. “Risikonya apa? Kalau sampai dia dituntut oleh misalkan saya dijelekkan oleh lembaga berita ini, saya nuntut ke pengadilan, maka tidak ada UU Pers yang akan melindungi dia karena tidak terdaftar di Dewan Pers, kira-kira begitu,” kata Farhan.

Draf revisi UU tentang Penyiaran menuai kontroversi. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menjadi pasal yang paling disorot lantaran memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c). “Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS (Standar Isi Siaran) memuat larangan mengenai:…(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Recent Posts

Jasa Marga Raih Dua Penghargaan pada Ajang Indonesia Most Trusted Companies Award 2024

MONITOR, Jakarta – PT Jasa Marga (Persero) Tbk. kembali menorehkan prestasi membanggakan dengan meraih dua…

15 menit yang lalu

Aktivis Cium Aroma Politis Pada Pemanggilan Suami Airin dan Ketua DPRD Banten oleh Kejati

MONITOR, Jakarta - Dipanggilnya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan Fahmi hakim ketua DPRD Provinsi…

1 jam yang lalu

Survei: Elektabilitas Atang-Annida Salip Dedie-Jenal di Pilkada Kota Bogor

MONITOR, Jakarta - Pemilih muda diperkirakan akan memainkan peran penting dalam menentukan hasil Pemilihan Kepala…

2 jam yang lalu

DPR Harap Semua Pimpinan KPK Terpilih Sinergi dan Solid; Jangan Ribut-ribut

MONITOR, Jakarta - Komisi III DPR RI telah menetapkan lima pimpinan KPK terpilih dan lima…

2 jam yang lalu

Menag: Guru Adalah Obor Penyinar Kegelapan

MONITOR, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa guru adalah pahlawan sejati. Hal tersebut…

3 jam yang lalu

Komisi IV DPR Dorong Kolaborasi Tingkatkan Produksi Susu Lokal

MONITOR, Pasuruan - Komisi IV DPR RI menyoroti permasalahan sektor persusuan nasional dalam kunjungan kerja…

3 jam yang lalu