Sabtu, 27 April, 2024

JPPI: Program Makan Siang Rawan Dikorupsi dan Bukan Perioritas Masalah Pendidikan

MONITOR, Jakarta – Meski belum dilantik dan diresmikan, siapa presiden terpilih, pemerintah tampaknya nekad untuk memulai program makan siang gratis yang digagas oleh pasangan Prabowo-Gibran. Akibatnya, pro kontra terjadi di masyarakat dalam menyikapi ini. Terkait dengan hal ini, JPPI menghimbau kepada pemerintah untuk tidak gegabah dalam implementasi program ini.

Pemerintah juga perlu memikirkan ulang, apakah harus dilaksanakan secepat ini? Pemerintah jangan hanya mengejar populisme, karena terikat dengan janji-janji kampanye, tetapi harus memikirkan dampaknya dan juga mana yang seharusnya menjadi skala perioritas yang mendesak harus diatasi dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan kita.

Karena itu, JPPI memberikan beberapa catatan terkait program makan siang gratis.

  1. Tujuan program ini masih belum jelas. Ini program sebenarnya tujuannya apa? Beragam kabar yang masih simpang-siur yang diterima masyarakat. Ada yang bilang untuk pencegahan stunting, pemenuhan gizi, tambahan makan siang, dan lain sebagainya. Jika untuk pencegahan stunting, jelas program ini tidak ada manfaatnya. Jika untuk program pencegahan stunting, maka peruntukannya adalah untuk ibu hamil dan anak hingga usia 2 tahun. Jika untuk pemenuhan gizi, apa artinya makan siang, jika anak-anak itu berangkat sekolah dengan perut kosong tidak sarapan, lalu malamnya makan mie atau seblak? Maka makan siang untuk pemenuhan gizi ini tidak ada artinya.
  2. Biaya pendidikan tambah mahal. Jika dipaksa untuk diimplementasikan, jelas akan jadi beban anggaran dan menambah utang negara. Akibatnya, tarif biaya pendidikan kian mahal dan tak terjangkau. Banyak Masyarakat menjerit soal biaya pendidikan dan belum terlaksananya program wajib belajar 12 tahun secara bebas biaya. Di sekolah negari saja masih banyak pungli, apalagi di sekolah swasta maka biaya sekolah kian tak terjangkau.
  3. Biaya makan siang rawan bocor yang mengakibatkan banyak Kepsek dan guru potensial masuk penjara. Kita harus menyadari, hingga kini sektor pendidikan maish masuk kategori 5 sektor terkorup di Indonesia. Maka, biaya makan siang yang jumlahnya sangat fantastis ini, bisa menjadi angin segar bagi para oknum di sektor pendidikan untuk melancarkan aksinya. Apalagi tidak jelas punya, siapa yang mengelola, siapa saja yang terlibat, bagaimana mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya? Dana BOS saja hingga kini masih bermasalah, apalagi ditambah lagi dengan dana makan siang. Jika terlalu gegabah hanya karena pencitraan, maka akan banyak kepala sekolah dan guru yang masuk penjara.
  4. Jika dipaksakan harus ada makan siang, maka anggaran makan siang harus di luar anggaran pendidikan. Saat ini anggaran pendidikan, yang jumlahnya 20 persen itu, sudah sangat terbebani dengan gaji guru dan belanja operasional pegawai. Akibatnya, tidak dapat banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan akses dan juga mendorong kualitas pendidikan lebih baik.
  5. Harus mendahulukan problem perioritas, dari pada pelunasan janji kampanye demi populisme. Mari kita tengok problem pendidikan di Indonesia terkini. Berdasarkan data BPS 2023, rata-rata lama sekolah nasional kita masih 8,7 tahun (artinya SMP saja tidak lulus). Sementara dari segi kualitas, berdasarkan skor PISA 2022, kemampuan literasi-numerasi pelajar Indonesia masuk dalam kategori salah satu negara dengan skor terendah dan di bawah standar minimum rata-rata di dunia. Artinya, SDM Indonesia sudah sangat ketinggalan dari negara-negara luar, bahkan kita tertinggal jauh dari negara-negara tetangga. Apakah ini bisa diselesaikan dengan makan siang? Jelas tidak.
- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER