Sabtu, 27 April, 2024

Kompetisi Klan Politik di Tanah Jawara

Oleh: Imron Wasi*

Setelah lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 1998 silam, tampaknya telah membawa implikasi yang besar bagi dinamika politik domestik dan regional. Salah satu hal yang paling kentara yaitu munculnya kebijakan politik yang mengatur tata kelola pemerintahan, yang semula bersifat sentralisasi berubah menjadi desentralisasi. Kebijakan desentralisasi ini menghasilkan keleluasaan bagi daerah untuk mengelola daerahnya secara mandiri sesuai peraturan perundang-undangan, termasuk dalam memilih pemimpin politik dalam kompetisi elektoral seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Setelah transisi politik ini bergulir, secara administratif pada umumnya telah ada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun, secara komposisi aktor politik tidak ada transformasi besar, melainkan figur-figur politik ini secara adaptif mampu bertahan dalam mengupayakan status quo yang selama ini telah dimilikinya saat rezim Orde. Bahkan, secara mutakhir justru para elite politik domestik memiliki kebebasan yang tidak bisa dikontrol oleh satu kekuatan politik tertentu, kecuali tidak akan lepas dari bayang-bayang para kapital. Sehingga, para elite politik ini bisa mencari keuntungan melalui skema perburuan rente (rent-seeking). Para elite politik yang ada di tingkat nasional ini bisa menjalin upaya kerja sama atau membangun konsensus politik dengan para elite politik di daerah. Dengan kata lain, konsensus politik yang tercipta ini tentunya berkelindan terhadap sumber daya alam dan kekuasaan. Tak ayal, sumber daya alam kerap dieksploitasi demi meraih keuntungan bagi individu maupun kelompoknya, dan mengabaikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Hal ini sesuatu yang tidak bisa dinafikan, di mana para aktor politik ini akan mencari dan mendulang suara elektoral tentunya membutuhkan kekuatan material yang besar, karena biaya politik di Indonesia juga tinggi. Pada saat yang sama, para elite politik lokal saat rezim Orde Baru tidak memiliki arena politik yang besar dalam menentukan pengambilan keputusan politik, kini memiliki daya tawar politik. Saat ini, dengan kewenangan yang dimiliki, para elite lokal juga turut membangun basis dan kekuatan politik melalui pembangunan politik yang bersifat patronase. Biasanya, para elite lokal ini akan memasuki berbagai organisasi maupun institusi pemerintahan, yang dimulai dari eksekutif daerah dan legislatif (nasional dan subnasional). Dalam bahasa lain, kebijakan desentralisasi ini bisa disebut sebagai bentuk kelembagaan atas lokalisasi kekuasaan (Harriss, Stokke, dan Tornquist, 2004: 3).

- Advertisement -

Membangun Kekuatan

Dalam upaya mempertahankan status quo, para elite politik, terutama elite politik nasional maupun elite politik lokal cenderung akan berupaya mengamankan kekuasaannya dengan mengikutsertakan anggota klan politik dalam kompetisi elektoral. Menjelang kontestasi elektoral 2024 mendatang, seperti pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah tentunya menjadi ajang proyeksi bagi para klan politik untuk mendorong dan menampilkan anggota klan politik untuk bergabung dan berlaga secara demokratis. Pemilu dan pemilukada menjadi arena politik dan prasyarat utama bagi para elite politik yang hendak membangun kekuatan politik yang holistik, tanpa adanya kekuatan politik yang superior tentunya akan mengancam posisi para klan politik. Sebab, jika tidak ada anggota klan yang merepresentasikannya dalam lembaga pemerintahan, baik di pusat maupun daerah akan ada potensi terisolasinya klan politik dalam panggung ekonomi, terutama akan terkikisnya peluang mereka untuk meraih kekayaan. Hal ini menjadi salah satu indikator melemahnya kekuatan politik klan politik.

Dengan demikian, agar memperoleh sesuatu yang lebih besar dan tidak terisolasi dari panggung ekonomi-politik, klan politik mendorong anggota klan untuk berlaga pada Pemilu 2024 mendatang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah merilis para kandidat yang akan berlaga pada pemilihan legislatif, terutama daftar calon sementara (DSC) pada Jum’at (18/8/2023). Dalam hal ini, ada sebanyak 9.919 bakal calon yang akan ikut kompetisi dalam arena politik praktis. Di samping itu, dari data tersebut, sebagian memiliki afiliasi politik dengan para elite politik dan klan politik tertentu. Sebagaimana hasil riset yang telah dilakukan oleh ICW dan Tempo menemukan bahwa dari daftar calon sementara tersebut ada sekitar 150 orang yang memiliki hubungan kekerabatan yang mencakup orang tua, anak, cucu, suami-istri, saudara kandung dan keponakan. Selain itu, proses elektoral dalam pemilukada juga tak lepas dari pandangan para elite politik. Sementara itu, dinamika politik ihwal kompetisi politik lokal juga menjadi diskursus publik, karena ada wacana akan  digelar lebih awal dari jadwal yang sudah ditentukan. Sebagai suatu keputusan politik, desentralisasi yang diharapkan mampu membawa perubahan dan mengikis berbagai kesenjangan, justru menambah babak baru dalam aspek kepemimpinan daerah.

Dalam kaitan ini, secara faktual dalam arena politik lokal banyak para elite lokal yang mendominasi wilayah. Para klan politik ini mendominasi arena politik dan secara genuine kepemimpinan daerah juga ada upaya ‘mewariskan’ kekuasaannya. Akibatnya, hal ini bisa menimbulkan atau memfasilitasi para aktor yang mencoba mengakumulasi ekonomi melalui serangkaian keputusan politik yang menguntungkan para elite politik, termasuk para predator politik lokal. Berlaganya para anggota klan politik dalam kontestasi pemilihan legislatif dan eksekutif daerah ini menjadi medan awal untuk menjaga keamanan material para klan politik, termasuk menutup struktur peluang politik bagi masyarakat sipil lainnya. Dengan demikian, desentralisasi dan munculnya dinasti politik tidak bisa dinafikan, terutama secara faktual sudah berkelindan di Indonesia dan mudah ditemukan di berbagai wilayah, bahkan dalam satu wilayah provinsi, misalnya, di daerah tingkat kabupaten/kota sudah ada kekuatan antarklan yang mendominasi. Sehingga, hal ini mengakibatkan tertutupnya struktur peluang politik masyarakat sipil atau seperti yang telah disebut di awal fenomena ini dapat disebut sebagai ‘lokalisasi kekuasaan’.  Namun demikian, tampaknya bukan sekadar di Indonesia, melainkan di wilayah Asia Tenggara lainnya seperti Thailand. Sebab, meminjam istilah dari perspektif Hadiz (2022), di Thailand, desentralisasi telah menopang kepentingan kekuatan predator lokal.

Peta Persaingan

Selain itu, proses politik menjelang Pemilu 2024 mendatang juga menjadi kompetisi politik yang mempertemukan anggota klan politik yang akan berlaga, salah satunya di daerah pemilihan Banten 1 yang terdiri atas Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Di daerah pemilihan ini, akan ditemukan 3 kekuatan politik besar yang akan berlaga, di luar kandidat lainnya, yakni, klan Natakusumah, klan Jayabaya, dan klan Atut. Dalam kaitan ini, berdasarkan literatur yang ada, tampaknya ketiga kekuatan politik ini pernah menjalin interaksi yang baik, termasuk dalam relasi sosial, politik, maupun ekonomi. Kendati demikian, bagi para kandidat di luar klan ini tentunya cukup sukar untuk mengalahkan kekuatan politik ini karena klan politik telah memiliki kekuatan modal kultural, sosial, dan jejaring organisasi maupun birokrasi. Kompetisi antarklan politik ini tampak muncul dalam arena politik di Dapil Banten 1, misalnya, klan politik Atut, ada Adde Rosi Khoerunnisa yang maju menjadi caleg dari Partai Golkar sekaligus istri dari eks Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy – dan Andika Hazrumy ini merupakan anak dari Ratu Atut.

Kemudian, dari klan politik Natakusumah ada ayah dan anak yang ikutserta berlaga dalam kompetisi politik 2024 ini, terdiri atas Achmad Dimyati Natakusumah sebagai salah satu aktor utama dalam politik di tanah ‘jawara’ ini. Ia dikenal sebagai eks Bupati Pandeglang, yang kini sedang menjabat sebagai anggota DPR RI dari F-Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) dan pada Pemilu 2024 ini dirinya akan ikut proses elektoral ini. Kemudian, klan politik ini juga mendorong kembali putranya, Rizki Aulia Natakusumah yang merupakan anggota DPR RI dari Partai Demokrat. Sebagai petahana, ia juga akan berlaga kembali untuk memenangkan kompetisi elektoral ini, termasuk putri dari klan politik yang sama, yakni Risya Azzahra Rahimah Natakusumah yang akan maju melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebelumnya, pada Pemilu 2019, Risya maju melalui Partai Nasdem dan sebagai aktor politik yang relatif baru masuk panggung politik praktis, raihan suara pada Pileg 2019 secara akumulasi perolehan suara tidak terlalu mengecewakan. Meskipun, harus kandas dari kompetitor lainnya.

Pada Pemilu 2024 mendatang, tampaknya dengan modal perolehan suara pada proses elektoral sebelumnya, ia mencoba memilih partai politik yang bisa membawa dirinya meraih kemenangan, terlebih kultur politik di dapil ini juga sangat kentara dengan kekuatan partai politik yang berbasiskan Islam. Secara faktual, klan politik Natakusumah akan menghadapi kompetisi yang setara, terutama Rizki Aulia Natakusumah yang berasal dari Partai Demokrat secara inheren akan vis a vis dengan klan politik Jayabaya, yaitu Iti Octavia Jayabaya dari Partai Demokrat. Sebab, dalam sistem proporsional terbuka, persaingan caleg di internal partai politik menjadi kompetisi yang tidak terelakkan.

Dua klan politik ini memiliki basis politik teritorial masing-masing yang bisa dikonversi menjadi suara pada Pemilu 2024. Sebagaimana yang telah diulas di atas, klan politik terakhir yang memiliki kekuatan politik superior, seperti klan Jayabaya juga mendorong putra dan putrinya maju dalam Pileg 2024, terdiri atas Iti Octavia Jayabaya dari Partai Demokrat. Figur politik ini telah memiliki kekuatan politik, karena sebagai eks Bupati Lebak yang telah menjabat selama dua periode dan memiliki trah politik. Sebelum ada peralihan kekuasaan dari Bupati kepada Pj Kepala Daerah, tentunya mobilitas politiknya masih bisa digunakan, termasuk secara implisit bisa melakukan ‘endorsment’ politik, terutama suaminya yang akan maju menjadi anggota DPD RI. Modal politik ini menjadi sangat substansial dalam rangka menciptakan elektabilitas dan akseptabilitas publik terhadap klan politik ini.

Sementara itu, M. Hasbi Asyidiki Jayabaya dari PDI Perjuangan juga akan maju dalam Pileg 2024. Kasak-kusuk mengenai figur politik ini juga menjadi diskursus publik, karena dikabarkan bahwa Hasbi Jayabaya keluar dari partai berlambang banteng ini. Namun, kabar politik ini telah ditampik oleh dirinya, bahwa informasi ini tidak benar. Sebagai anggota DPR RI atau petahana, seharusnya ia memiliki kans politik meraih nomor urut pertama dalam nomor urut caleg dari PDI Perjuangan. Akan tetapi, ia justru berada di nomor urut yang di luar prospek awal. Menilik daftar calon sementara (DCS) yang telah dirilis Komisi Pemilihan Umum, ia berada pada nomor urut 4. Sesuatu yang tidak lazim di tengah kekuatan politik teritorial yang dimiliki klan politik Jayabaya. Nomor urut ‘topi’ di internal PDI P ini diduduki oleh Sejarawan, Bonnie Triyana. Meskipun, dalam sistem proporsional terbuka, perolehan suara terbanyaklah yang bisa memenangkan kompetisi. Dan yang terakhir ada Vivi Sumantri Jayabaya yang maju melalui Partai Perindo.

Dalam hal ini, ditilik pada Pemilu 2019 yang lalu pada daerah pemilihan Banten 1, partai politik yang berbasis nasionalis cenderung memiliki kans besar untuk meraih kemenangan, yang terdiri dari Partai Golkar, PDI-P, Gerindra, dan Demokrat. Selebihnya, seperti partai politik yang berbasiskan Islam hanya PKS dan PPP. Namun demikian, peta politik ini bisa berubah, tergantung pendulum politik, terutama efek ekor jas dari kandidat potensial capres-cawapres yang turut memengaruhi arah dukungan publik. Apalagi PKB yang berbasiskan Islam juga telah mengusung ketua umumnya menjadi cawapres dari Anies Baswedan. Hal ini tentu bisa memengaruhi konfigurasi politik pada Pemilu 2024 mendatang. Padahal, wilayah Banten ini sangat kentara sekali dengan corak keislamannya. Namun, pilihan politik yang mengutamakan identitas keagamaan tidak menjadi preferensi utama, justru partai politik nasionalis berkuasa.

Sebelumnya, pada Pemilu 1955 di Banten, Masjumi memperoleh suara tertinggi dengan raihan suara sebanyak 224.000, diikuti PNI 104.000, Nahdlatul Ulama 84.000 dan PKI 9.000 (Litbang Kompas, 2023). Dengan demikian, pencapaian suara antara 1955 dan 2019 ini berbeda, karena kondisi politik mutakhir di Banten.

*Penulis Adalah Peneliti dan Manager Riset dan Advokasi Publik Netfid Indonesia

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER