Jumat, 6 Desember, 2024

Dikukuhkan Jadi Guru Besar UPH, Prof. Agus Budianto Soroti Kesiapan Masyarakat Menghadapi Hukum Pidana 2023

MONITOR, Jakarta – Universitas Pelita Harapan (UPH) terus gencar mencetak guru besar baru dalam berbagai bidang ilmu. Salah satunya adalah Prof. Dr. Agus Budianto, S.H., M.Hum., Ketua Program Studi (Kaprodi) Magister Hukum (MH) UPH, yang resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum pada Kamis, 27 Juli 2023. Pengangkatan ini dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tertanggal 1 Mei 2023.

Dalam acara pengukuhan, Prof. Agus menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Lex Dura Sed Ita Scripta: Menakar Kesiapan Menghadapi Hukum Pidana 2023”. Penelitiannya menyoroti kesiapan masyarakat terhadap penerapan UU No. 1 Tahun 2023 yang akan berlaku pada Januari 2025. Prof. Agus menjelaskan bahwa topik ini dipilih berdasarkan empat kerangka pemikiran, yaitu sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih belum sempurna, tingginya tingkat kejahatan di Indonesia, tata kelola lembaga pemasyarakatan di Indonesia, dan kekerasan kelompok yang terstruktur masif serta sistematis telah menjadi budaya di Indonesia.

“Keempat pemikiran ini menjadi dasar uraian dalam orasi ilmiah saya, bahwa seberat apa pun tantangan yang dihadapi, hukum harus tetap ditegakkan (Lex Dura Sed Ita Scripta). Tantangan tidak hanya bersumber dari aspek geografis dan sosiologis, tetapi juga terkait dengan pandangan terhadap hukum pidana ke depan, terutama dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal ini mendorong kita untuk mengevaluasi kesiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi perubahan hukum tersebut,” jelas Prof. Agus.

Lebih lanjut, Prof. Agus juga menjelaskan bahwa untuk menakar kesiapan masyarakat, ia mencermati tiga hal, yaitu hukum yang hidup, pola klasifikasi pidana, dan judicial pardon. “Tindak pidana berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2023, asas ini kemudian diperluas dengan memasukkan pengertian “hukum yang hidup” di dalam masyarakat, sebagaimana berbunyi: ‘Pasal 1 (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini’,” jelas Prof. Agus yang juga berprofesi sebagai Tenaga Ahli di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

- Advertisement -

Ia menambahkan bahwa maksud dari pembentuk undang-undang adalah untuk mengakui dan memasukkan living law sebagai bagian dari hukum nasional. Namun, perlu diingat bahwa adat-istiadat tersebut sudah lahir, tumbuh dan berkembang jauh sebelum KUHP 1945 dan KUHP 2023. Justru, jika KUHP 2023 diterapkan pada budaya adat istiadat, hal itu bisa menyebabkan terbentuknya tindak pidana baru. Dengan kata lain, seseorang dapat dianggap bersalah jika dari sudut pandang adat istiadat atau masyarakat, perbuatannya dianggap salah. Orang yang dianggap bersalah atas perbuatannya ini dapat dikenakan tindak pidana.

Hal kedua yang ia cermati adalah pola klasifikasi pidana yang ada dalam KUHP 2023. Pidana denda merupakan jumlah uang yang wajib dibayarkan oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Pidana denda ini dapat menjadi pengganti pidana penjara jika memenuhi beberapa persyaratan sesuai kategori yang ada. “Dalam UU No. 1 Tahun 2023, pemerintah mulai mengubah konsep pemidanaan dari teori gabungan (de verenigings) menjadi lebih menekankan pada model pemasyarakatan dan pembinaan, dengan menerapkan teori pemidanaan talionis. Teori pemidanaan talionis ini mewajibkan pelaku kejahatan membayar ganti rugi atas perbuatannya dalam bentuk pidana denda. Dalam praktiknya, penting untuk mencari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana dengan besar pidana denda yang harus dibayarkan oleh terpidana. Oleh karena itu, ancaman dari tindak pidana harus dipertimbangkan secara seksama agar denda yang dijatuhkan sesuai dengan tingkat kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku,” jelas Prof. Agus.

Aspek ketiga yaitu terkait Judicial Pardon (pemaafan hakim), yang berarti bahwa meskipun seorang terdakwa sudah terbukti bersalah, majelis hakim tidak dijatuhi pidana (dispensa de pena). Ketika membahas mengenai potensi penerapan konsep Judicial Pardon sebagai salah-satu alternatif putusan perkara pidana di Indonesia, tentu saja tidak bisa lepas dari hukum acara pidana yang menjadi pelaksananya. Untuk itu, Prof. Agus menekankan pentingnya dilakukan harmonisasi antara KUHP 2023 dengan RKUHAP sehingga konsep Judicial Pardon dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya.

Selain itu, Prof. Agus juga mencermati bahwa Judicial Pardon yang diatur dalam Pasal 54 Ayat (1) dan Pasal 54 Ayat (2) dapat menjadi godaan bagi pihak yang berperkara untuk mempengaruhi oknum pengadilan.

“Institusi pengadilan yang memiliki kewenangan dalam memeriksa dan memutuskan perkara berpotensi mengalami pelanggaran etika. Sebagai dalih untuk demi menegakkan Judicial Pardon, hal ini justru dapat digunakan sebagai senjata ampuh untuk memuluskan terjadinya penyimpangan. Hakim mungkin saja tergoda untuk melakukan tindakan yang mencederai independensinya, seperti menerima suap atau melakukan tindakan tidak etis lainnya,” ujarnya.

Merespons paparan orasi ilmiah Prof. Agus, Dr. H. Arsul Sani, S.H., M.Si., Pr. M, selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) mengatakan, “Atas nama DPR dan MPR bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI, kami mengucapkan selamat dan sukses kepada Prof. Agus. Secara pribadi, saya sangat bangga setelah 10 tahun bekerja bersama di DPR, pada hari ini beliau mencapai gelar akademik tertingginya. Berbicara mengenai UU No. 1 Tahun 2023, UU ini sangat dipengaruhi oleh konfigurasi masyarakat sosial kita, karena negara kita menganut sistem kebhinekaan. Untuk itu, kami memiliki tenaga ahli yang dapat membantu menengahi aspirasi masyarakat seperti Prof. Agus,” tutur Dr. Arsul Sani dalam sambutannya.

Sambutan juga disampaikan oleh Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M. Eng., Sc., selaku Rektor UPH. Rektor mengungkapkan, “Dikukuhkannya Prof. Agus menambahkan kebanggaan bagi Fakultas Hukum UPH yang telah banyak menghasilkan guru besar. UPH berkomitmen untuk terus berupaya menjadi center of excellence yang berkontribusi bagi bangsa. Prof Agus telah banyak berperan dan bekerja keras, tidak hanya di kampus, tapi juga di DPR. Kami bersyukur bahwa salah satu dosen kami adalah seorang profesor yang menjunjung tinggi nilai-nilai di universitas dan di masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, UPH akan selalu siap berkontribusi untuk perancangan UU di Indonesia,” jelas Rektor UPH.
Menutup paparannya, Prof. Agus menyampaikan harapannya untuk memberi kontribusi masukan bagi pembentukan KUHP 2023 yang dinilainya belum mengikuti “suasana kebatinan” masyarakat Indonesia.

“Hukum itu ada dan hidup bersama serta ikut berkembang dalam sejarah kehidupan manusia. Pembentukan hukum harus mengikuti perkembangan hukum dalam masyarakat. Hukum harus hadir sebagai social control sehingga tercipta ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat di situ ada hukum), bukan sebaliknya. Hukum dilahirkan oleh manusia dengan tujuan untuk menjamin kepentingan hak-hak manusia itu sendiri. Seberat apa pun hukumnya, harus ditegakkan!” tegas Prof. Agus.

Dengan kehadiran Prof. Dr. Agus Budianto, S.H., M.Hum sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum di UPH, membuktikan kualitas tenaga pendidik di UPH yang terus mendukung perkembangan keilmuan hukum agar semakin relevan dengan situasi kehidupan terkini.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER