Minggu, 28 April, 2024

Allahu Akbar, Selain Allah Tidak ‘Besar’

Oleh: Dinno Brasco*

Di balik setiap kekayaan besar, ada kejahatan” (Mario Puzo, The Godfather)

“Sungguh, tak mampu sesaat pun aku mensyukuri setiap nikmat-Mu wahai Tuhanku” (Do’a Arafah Sayyidina Husain, Cucu Nabi Muhammad Saw)

Alhamdulillah hari berkah dan suci diawali dengan sruput secangkir kopi. Hari Raya Idul Adha tahun ini membersamai antum, kita semua. Berkah dan memberkahi anak-anak bangsa tentunya, berbagi dan membagi-bagi sesuatu.

- Advertisement -

Di Masjid, Mushola, dan juga pagi ini bocil-bocil, kaum Muslimin dan Muslimat di seluruh dunia mengumandangkan takbir dan tahmid. Sebagai manusia, sebagai hamba kita gelorakan pujian syukur kita kepada Allah Ta’ala. Memuja dan memuji Akbar-Nya Allah dengan berdo’a dan bersujud, meratakan dahi kita di atas tanah, sadar sebagai makhluk yang juga tidak akbar. Tidak bebas dari kehancuran dan kejatuhan sebagai takdirnya.

Ada jutaan jama’ah haji dari seluruh dunia bergerak dan berhimpun di padang Arafah. Sebuah puncak dari seluruh rangkaian ritual ibadah haji. Mereka dari berbagai bangsa, pelosok penjuru dunia, dari Indonesia, ada juga dari kaum muslimin Korea dan India Bang Haji! Mereka mengakui, berbaiat suci kepada illahi.

“Lihatlah hamba-Ku yang rukuk dan sujud karena-Ku, yang bertakbir dan bertahmid memuji-Ku.”
Atmosfer pertobatan, ketaatan dan kepatuhan yang keren ini diperlihatkan Allah kepada para malaikat yang dahulu pernah mempertanyakan penciptaan manusia.

Jama’ah haji yang wukuf di Arafah dibanggakan Allah Ta’ala di Arasy yang Agung.
Arafah ialah sebuah pengakuan, sebuah janji untuk mengabdi senantiasa hanya kepada Allah semata, Allah yang Akbar dengan segenap kecintaan. Dan untuk itu, kita letakkan di altar kurban, sesuatu yang paling kita sukai, kita cintai, baik berwujud anak, keluarga, kekayaan besar, jabatan, kekuasaan, tahta maupun nama.

Pasca ibadah kurban, jama’ah haji mencukur rambutnya, mengakhiri masa ihram. kemudian bertahallul. Dosa-dosa berguguran sebagaimana helai rambut yang berjatuhan.”Labbayka Allahuma Labbayka. Labbayka la syarika laka Labbayk. Innnal hamda wan ni’mata laka wal mulk. La syarika lak”. Segala puji dan nikmat adalah milik-Mu Ya Allah, segala kuasa adalah milik-Mu. Ya Allah, tidak ada satu pun dari nikmat dan anugerah-Mu yang kami dustakan.

Kita yang di Tanah Air, tentunya dengan rendah hati menghaturkan; semoga menjadi haji yang mabrur. Haji mabrur ialah berhati mulia, ada perubahan kepribadian, menjelma insan yang berlari, mendekat kepada Allah, dan bisa menjadi manusia yang rahmatan lil’alamin. Menjadi obor penerang di tengah kegelapan masyarakat, bangsa dan negara. Mantap!

HARI MULIA, IDUL KURBAN
Ibadah Haji biasanya juga disebut Hari Raya Kurban (Idul Adha).
Ada warna warni masalah besar yang sangat luar biasa, saat ini bangsa Indonesia dilanda krisis semangat pengorbanan. Padahal negeri ini didirikan berdasarkan Pancasila. Inti Pancasila ialah gotong-royong. Yang terjadi ialah semangat untuk mengambil, bukan semangat memberi dan berbagi. Bahkan yang gila bin edan, yang diambil bukan miliknya. Inilah para garong, dan koruptor yang merajalela. Walah-walah!

Marilah kita belajar dari figur utama Nabi Ibrahim dan putra tercintanya. To world, you could be one person. But to one person, you could be the whole world. Ia memberi teladan segalanya, contoh untuk ‘menyembelih anaknya sendiri.’ Cinta kepada anak, harus sesuai dengan cinta Allah dan sesama manusia. Jangan sampai kontradiksi.

Kisah abadi Nabi Ibrahim menginspirasi kita semua, untuk tidak serakah, pelit bin medit dan korup. Sebuah jalan hidup yang kita jalani saat ini. Sembelihlah! Bebaskan diri kita dari kanker ganas itu!

Okelah! Selama ini, bukankah kita menduga bahwa kenyataan adalah tujuan hidup kita sehingga untuk itu kita bisa berbuat apa saja. Hantam sana, hantam sini. Ambil sana, ambil sini. Kita habiskan waktu kita untuk menumpuk butir-butir harta kekayaan, kedudukan dan jabatan. Kita rampas hak orang lain. Kita hancurkan kehidupan bangsa dan negara dengan kejahatan nyata ala Kapitalis. Semuanya demi kekayaan. Lalu, apa itu bisa memuaskan haus dan dahaga kita?

Simpan saja jawaban itu secara personal dan gerombolan ya!


Hari raya Idul Adha kembali datang menyapa kita. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan semua anugerah. Sungguh, setiap kali ada nikmat, tersimpan juga kewajiban berbuat kepada sesama umat, sesama anak bangsa.

Kisah sejati Nabi Ibrahim mengajarkan generasi kekinian untuk tahu bagaimana ia bergerak dengan kepasrahan dan ketulusan yang mendalam perihal ujian demi ujian. Sebagaimana kisah pengorbanan putra tercintanya, Nabi Ismail yang akan ‘disembelih’.

Pada Idul Adha, di seluruh penjuru bumi ini, di setiap tempat yang di huni kaum Muslimin dan Muslimat, ibadah kurban diselenggarakan.
Hari ini, semua orang tersenyum bahagia; membagi dan dibagi, dibahagiakan oleh sesama kepada sesama di jalan cinta.

Kita belajar, berusaha untuk memahami, mengerti dan merasakan apa yang dialami sebagai sesama hamba Allah. Sebuah empati dan simpati, peradaban manusiawi yang dicita-citakan para Nabi dan wali.

Dalam hari mulia Idul Adha, kita semua mesti belajar arti pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, pengorbanan yang sejati.
Dalam ajaran Nabi, bukanlah daging atau darah hewan yang dikorbankan itu, yang sampai pada Allah melainkan cinta kepada-Nya. Inilah contoh pengorbanan Nabi Ibrahim, yang mendahulukan kehendak Allah di atas kehendak diri sendiri. Ia mendahulukan kehendak Allah. Semua karena cinta kepada Tuhan-Nya.

Terbuktilah Nabi Ibrahim dan keluarganya menjadi sang sejarah. Masa lalu yang dijelmakan di masa kini dan masa depan.

Jejak-jejaknya merahimi jiwa anak-anak manusia di lintas negara dan benua. Seperti yang dibahasakan oleh budayawan kondang, Emha Ainun Nadjib;

Ismail hamba yang membisikan firman-Mu Ya Rabbi
Bahwa dewasa tidaklah ditandai kegagahan diri
Melainkan rela menyaring dan menyeleksi
Agar secara jernih berkenalan dengan yang inti.

Bagi kita generasi terkini yang suka ngopi, bergerak, rebahan dan gadget, pasrah bagi Nabi Ismail adalah upaya untuk memilih bagaimananya caranya menjalani hidup. Menjadi manusia besar adalah memahami bagaimana sampai pada Allah Yang Maha Akbar. Kok jadi teringat film Bollywood judulnya Mayor (2022) yang berkisah anak manusia yang keren, menjalani untaian hidupnya demi kemanusiaan, bangsa dan negara, bukan bagaimana ia meninggal. Tapi caranya ia hidup. Ampunnn!

Sang Nabiyullah Ibrahim ‘alaihisalam yang kisahnya kita teladani pada idul Qurban digelari khalilullah, kekasih Allah karena kebiasaannya berbagi. Tak pernah ia memperoleh nikmat, kecuali kemudian sujud mensyukuri kebesaran Sang Pemberinya.

Dari Nabiyullah Ibrahim, kita belajar. Dari kekasihnya juga kita belajar. Dari Nabiyullah Ismail, kita belajar cara menjalani kehidupan di era kekinian yang ngeri-ngeri sedap guys!


Tradisi kurban sesungguhnya telah dimulai sejak awal sejarah manusia. Kenang, kenanglah kisah Kabil dan Habil, kedua putra Nabi Adam.

Sesungguhnya untuk siapa sebenarnya kurban di hari idul Adha? Untuk Allah, diri dan kerabat dekat, atau orang lain? Orang-orang sholeh mengatakan dalam ibadah kurban, tercermin bahwa kita hanya bisa mendekatkan diri dengan Tuhan bila kita melayani, khidmat kehidupan sesama. Itulah jalan tercepat menuju Allah.

Ibadah kurban menuntun kita merasakan kerasnya kehidupan orang lain. Ibadah kurban menanamkan nilai pengorbanan. Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan keluarganya memberi teladan terbaik tentang berkurban dengan sepenuh cinta. Karena cinta adalah sharing, saling berbagi!

Almarhum Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif berkata,“Sekiranya saya telah membaca karya Ali Syariati ini sebelum menunaikan ibadah haji, tentu perjalanan spiritual saya akan lebih berkualitas”.

Adalah pemikir Islam Ali Syariati, dalam bukunya Haji, menyampaikan,“Kini engkau akan berperan sebagai Ibrahim. Ia membawa anaknya Ismail untuk dikorbankan. Siapa atau apa yang menjadi Ismailmu? Jabatan, kehormatan, atau profesimukah? Kekayaan, uang, ladang pertanian, mobil, cinta, keluarga, pengetahuan, kelas sosial, seni, pakaian, ataukah nama? Bagaimana aku mengetahuinya?

Engkau sendiri yang mengetahuinya. Siapa pun dan apa pun engkau harus membawanya untuk dikorbankan, tetapi aku dapat memberimu petunjuk.
Yang harus kau korbankan adalah segala sesuatu yang melemahkan imanmu, yang menahanmu melakukan ‘perjalanan’, yang membuatmu enggan memikul tanggung jawab, yang menyebabkanmu bersikap egoistis, yang membuatmu dapat mendengarkan pesan dan mengakui kebenaran dari Tuhan, yang memaksamu untuk ‘melarikan diri’ dari kebenaran, yang menyebabkanmu berkilah demi kesenangan, yang membuatmu buta dan tuli.” Ngeri banget!

AKHIRUL KALAM
Inti manusia seperti kita ini bro masih memiliki nafsu cinta uang dan segala pesona dunia. Akar segala kejahatan di muka bumi ini bermula dari hasrat primitif manusia yang tak terkontrol. Dalam bahasa sang sufi Maulana Jalaluddin Rumi disebut “ibu dari semua berhala”.

Ada virus keangkuhan, keserakahan, kesewenangan, korupsi, kebohongan, kekerasan, kebencian, kemunafikan, dan segala wujud egoisme dari jiwa angkara manusia seperti kita ini, saat ini. Berlakulah hukum rimba, homo homini lopus, manusia serakah saling memangsa satu sama lain seperti dalam aksi film John Wick jilid 1-4 dan film Serigala Terakhir.

“Bayangkanlah dirimu berada di puncak kehormatan, penuh dengan kebanggaan dan hanya ada ‘satu hal’ yang demi hal itu engkau menyerahkan apa pun dan mengorbankan kecintaan lain demi meraih cintanya. Itulah Ismailmu!

Ismailmu bisa berwujud manusia, objek, pangkat, kekayaan, jabatan, atau bahkan ‘kelemahan’. Namun bagi Ibrahim maka kurban itu adalah anaknya. Sembelihlah hewan kurbanmu. Sembelih pulalah “Ismail” dalam diri kita!

Ala kulli hal, sekali lagi dalam Idul Adha ini kita kembali belajar kepatuhan dan kesabaran sebagai manusia dan hamba, sebagai manusia, kata Mas Fahruddin Faiz sang filsuf.

Marilah kita syukuri segudang nikmat tak terkira dari Allah yang kita rasakan hingga kini. Percayalah, Allah Yang Maha Akbar selalu menganugerahkan ketenteraman dan ketenangan kepada kita.

Hanya kepada Yang Akbar kita menyembah, karena selain Allah tak ada yang Akbar. Inilah tradisi Nabi Ibrahim. Inilah sunnah Rasulullah Saw. Inilah jalan hidup kita semua.

Semuanya tidak berarti, kecuali Allah Tuhan yang sejati. Bawalah kami keharibaan-Mu Allah, sehingga dapat mempersembahkan semua kekayaan-Mu yang kami miliki untuk membesarkan asma-Mu. Allahu Akbar!

Terima kasih sudah berkenan membaca.
Kiranya nanti kita kopdar dan bertemu dalam rindu sesapan kopi!

*Penulis Buku Indonesia dalam Secangkir Kopi (2021)

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER