Oleh: Dinno Brasco (Penulis Buku “Indonesia Dalam Secangkir Kopi” 2021)
“Marilah kita mencoba, berusaha menangkap api Islam itu, sebab hanya orang yang menangkap api Islam adalah mukmin”
–Bung Karno
The two most important days in your life.
Are the day you were born and the day you find out why
–Denzel Washington, Film The Equalizer
MUKADIMAH
Duduklah sejenak bersamaku Bung di senja ini, bersama menyesap kopi Nusantara. Kita coba renungi wabah pandemi yang pernah terjadi, menyebar di mana-mana, menembus batas negara dan benua. Virus covid-19 sekian lama menimbulkan kecemasan, kegelisahan dan ketakutan. Titiknya adalah kematian. Wabah yang menggerus hati semua anak bangsa kita di penjuru dunia. Ya Tuhan!
Saya dan kawan ngopi yang sedari senja menikmati hari, kini sudah kembali ke rumah. Dengan peringatan hari lahir dan wafatnya Bung Karno di bulan Juni ini, saya kirimkan do’a terbaik, puja-puji dan tak lupa membuka buku-buku yang berkisah perihal Putra Sang Fajar di perpustakaan pribadi.
Bung Karno panggilan akrabnya, ia adalah bapak bangsa, pemersatu rakyat, konsolidator kemerdekaan, bukan hanya di benua Asia, tapi juga di benua Afrika dan Amerika Latin. Bung Karno bukan hanya milik Indonesia. Namun, ia sudah milik masyakat dunia. Merahnya ajaran, perjuangan dan pemikirannya telah mengubah dunia yang pernah dicengkeram penindasan asing. Ia memberikan sumbangsih kepada peradaban manusia sebagai manusia teladan dari pembebasan bangsa-bangsa. Ia dipuja layaknya dewa, dihujat seperti bandit, sebagaimana yang disampaikan Cindy Adams dalam bukunya Penyambung Lidah Rakyat.
Bung Karno akan selalu ada di hati rakyat Indonesia. Kisahnya penuh makna, selalu didamba dan dikenang bangsa-bangsa sebagai legacy, warisan kemanusiaan. Untuk itu, saya menulis fragmen penting perihal Bung Karno sebagai anak manusia, sebagai pendiri bangsa, sebagai pemikir Muslim terkemuka dengan Api Islam-nya. Jika antum, saudara-saudari, para penikmat kopi sekalian sejalan dan setuju dengan saya, pasanglah sabuk pengaman dan marilah kita mulai bersama. Ampunnn!
SIAPAKAH BUNG KARNO?
Tentunya kita pernah nonton film yang keren berjudul Long Walk to Freedom, mengisahkan perjalanan dan perjuangan Nelson Mandela, tokoh pejuang dari Afrika Selatan. Menariknya ada pepatah dari bumi Afrika yaitu,“Berjalanlah sebagaimana seorang pria”. Mengingatkan kita semua tentang seorang pria di bumi Indonesia tercinta, kebanggaan bersama yakni Soekarno.
Begitulah Bung Karno, hidupnya untuk rakyat kecil, untuk kaum marhaen, melawan penjajah dan penjarah yang menindas manusia. Hamba Tuhan yang lahir dari tengah-tengah orang kecil, berjuang untuk membebaskan orang kecil, dan ketika berkuasa menjalankan pemerintahannya demi kepentingan orang kecil juga. Hidupnya dipancangkan melawan imperialisme global.
Jalan hidupnya untuk semua anak bangsa. Mereka yang diperjuangkan Bung Karno dari awal hingga detik-detik terakhir wafatnya. Kaum Marhaen masa lalu, masa kini dan masa depan, semua manusia yang tertindas, yang bernasib malang harus terus diperjuangkan. Itulah tantangan besar pemimpin bangsa saat ini, Presiden Joko Widodo dan Presiden RI 2024.
Dahulu rakyat Indonesia pernah berteriak,“Hidup Soekarno, Hidup Soekarno!” Dipuja setinggi langit di angkasa. Ia bahkan menjadi obyek fanatisme dalam kadar yang tidak biasa. Siapa yang bisa mengingkari gaung istilah “Hidup mati untuk Soekarno”, yang kemudian oleh penggerak NU, Kiai Wahab Chasbullah,“diluruskan” kepada santrinya menjadi “Hidup dan mati untuk Allah bersama Soekarno.” Hal ini agar tidak menimbulkan salah paham ummat. Luar biasa Kiai!
Dalam buku Dunia dalam Genggaman Bung Karno (2019), kita bisa melihat bersama, kebesaran namanya. Pemimpin suatu negara dunia ketiga, yang keberadaannya tidak pernah dilirik, dipandang sebelah mata, menjadi diperhitungkan. Keakraban Bung Karno dengan pemimpin-pemimpin besar, seperti John F. Kennedy, Nikita Khruschev, Nehru dan Mao Zedong menjadi sejarah nyata bahwa Bung Karno adalah pemimpin besar dan menjadi panutan tokoh-tokoh revolusi negara-negara dunia ketiga. Dunia mengenalnya sebagai pemimpin kelas kakap. Memang ngeri!
Puspa ragam gambar, foto, dan poster Bung Karno dipasang dan dipajang di kos-kosan mahasiswa, tembok-tembok, warung kopi, organisasi pemuda, partai politik, kafe sampai di gedung pencakar langit ibu kota. Bahkan Che Ghuevara dari Kuba pernah cium tangan karena begitu sangat kagum dan takzim kepadanya. Bung Karno masih selalu dikenang, tetap terpatri di hati rakyat dan diziarahi anak-anak negeri di era kekinian.
MENGGERAKKAN ISLAM
Hannah Arendt, pemikir besar abad ke-20 pernah berucap,“karakteristik utama kehidupan khas manusia ialah selalu penuh dengan peristiwa-peristiwa yang pada akhirnya bisa disampaikan dengan sebuah cerita.” Dalam konteks ini adalah kisah Bung Karno kita mulai. Nah, ini ceritanya.
Bung Karno pernah disekap di penjara Sukamiskin di Bandung tahun 1931. Penjara sempit dengan cahaya yang menyusup masuk dari lubang angin yang tinggi. Ia banyak merenung, banyak hal yang dipikirkannya, menjelma menjadi pergolakan batiniah, khususnya tentang nasib rakyatnya, perjuangannya dan nasib dirinya sendiri. Akhirnya, ia sampai pada pertapaan religius yakni sebuah kesimpulan bahwa Tuhan sangat berperan dalam semua kejadian itu.
Dalam sebuah buku yang saya baca tipis-tipis lebih dari 10 tahun yang lalu, Bung Karno menuliskan bagaimana ia menengahdahkan kepala di penjara serba gelap tersebut. Ia melihat uraian benang cahaya teruntai lurus dari lubang angin, cahaya menyerbu wajahnya. Wajahnya yang sudah kosong, ikhlas dan dipenuhi Tuhan.
Saat itu, Bung Karno bercerita, ia menangis tersedu-sedu. Hanya kepada Tuhan ia menghamba dan memohon pertolongan. Garis suci keimanan memenuhi ruang jiwa, raga dan pikirannya saat itu. Sebuah kualitas yang dalam pandangan kita mendapat janji surga karenanya. Tuhan adalah tujuan Bung Karno, takkan pernah takut kepada selain-Nya. Allahu Akbar! Selain Allah tidak ada yang Akbar, termasuk gangster penjajah bangsanya.
Kita sebagai pencinta kopi tentunya mafhum, Bung Karno sejak mula hingga akhir hidupnya adalah homo religion yang tulen. Air matanya adalah air mata anak manusia yang menyatu dengan semesta melalui kekosongan jiwanya. Airmata yang tak pernah berdusta. Tangis pemimpin besar yang senggukannya dimiliki oleh seluruh rakyat yang dipimpinnya.
Ketika bulan Ramadhan tahun ini, setiap tengah malam saya buka-buka buku yang direkomendasikan Bung Karno yakni karya L. Stoddard. Alhamdulillah, saya punya dua bukunya. Satu berjudul Dunia Baru Islam (1968). Buku ini sangat menarik, berkisah sejarah dunia Islam dan disertakan bab khusus Islam Indonesia oleh ayahandanya Ibu Megawati Soekarno Putri.
Buku kedua, berjudul Pasang Naik Kulit Berwarna (1966), sejarawan ini berkata,“gelora perjuangan yang dihebatkan oleh tokoh Sukarno itu tentulah tidak memungkinkan pemerintah Belanda tinggal diam. Belanda menganggap pemimpin yang brillian dan berpandangan luas ini laksana musuhnya yang nomor satu, malahan lebih berbahaya dari tindakan kekerasan yang dilakukan PKI tahun 1926, dua tahun sebelum memuncaknya tuntutan Sukarno akan kemerdekaan negerinya ini”. Sebuah negeri kaya raya yang dijajah ras kulit putih,”kata Stoddard.
Itulah figur Bung Karno, pemimpin rakyat, dambaan dan panutan kaum milenial seperti kita semua dalam meneruskan cita-cita bangsa.
Sang Proklamator, Bung Karno secara jelas menyatakan betapa pentingnya agama dan nilai-nilai ketuhanan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dengan kerendahan hati, Bung Karno memaparkan sila pertama Pancasila yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa,” sesungguhnya bangsa ini adalah bangsa yang mengimani keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pandangan Bung Karno, sebuah bangsa yang tidak mengimani dan menyembah Tuhan, takkan bertahan lama sebagaimana peradaban dunia yang jatuh dan roboh ditelan zaman.
Kita hidup berbangsa memegang sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dan diakhiri sila kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Pancasila sangat sesuai dengan ajaran Islam dan nilai universal agama-agama lainnya di bumi Nusantara.“Pancasila bukan hanya sejalan dengan ajaran Islam, melainkan justru dipandang sebagai esensi nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, prinsip musyawarah, dan keadilan sosial adalah intisari ajaran Islam,”ucap Syekh Ahmad Thayyeb, Grand Syekh Al-Azhar, Mesir.
Sebuah negara seperti Indonesia tidak hanya membutuhkan perubahan struktur kebangsaan, tetapi juga memerlukan transformasi spiritual yang menjadi bintang penuntun warga bangsa dalam meniti hari demi hari. Sifat kebaikan, toleransi, cinta sesama, dan welas asih adalah ajaran agama yang harus diamalkan. Dalam transformasi ini, seperti disampaikan Karen Armstrong dalam The Great Transformation (2006), urusan agama atau ketuhanan tidak berhenti pada apa yang kita percayai saja, lebih dari itu terletak pada apa yang kita perbuat dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan hal di atas, Pancasila sebagai panduan etis yang berasal dari nilai-nilai agama wajib kita amalkan dalam tindakan nyata. Konsekuensi logisnya, semua pengamal Pancasila layak mendapatkan label religious man, yakni manusia yang agamis dan disayang Tuhan. Janganlah kita menjadi bangsa yang ‘ateis’ yang dipastikan mengalami keruntuhan dan kejatuhan moral, lenyap tenggelam dari permukaan bumi, sirna ilang kertaning bumi, demikian kata Bung Karno. Apa yang diimani Bung Karno merujuk kepada pelbagai sejarah bangsa-bangsa dalam peradaban manusia yang hancur karena melawan perintah Tuhan, Raja Diraja ummat manusia.
Berkat pikiran berharga dari Bung Karno dan para pendiri bangsa, Indonesia bukan jadi negara agama “religious state”, namun agama mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter negara-bangsa. Agama Islam adalah bagian yang tak terpisahkan dari Republik ini. Pemerintah mengakui, mengayomi, dan menjamin seluruh pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing dengan aman dan hikmat.
Bung Karno sebagai Muslim dan pemimpin negara, dengan rendah hati menghormati umat agama lain. Ia tidak menganak-emaskan pemeluk agama tertentu, karena semua pernah berjuang, berkorban demi kemerdekaan bangsa. Ia tak pernah menganaktirikan pemeluk agama lain. Walaupun kita tahu, mayoritas warga bangsa beragama Islam. Sejarah mencatat dengan baik, Bung Karno sebagai seorang yang ber-Tuhan selalu dalam pidatonya menyampaikan nilai-nilai ke-Islaman yang progresif, Islam is progres.
Bung Karno sebagai libertador (sang pembebas) dan seorang Mukmin sejati senantiasa mengajarkan umat Islam suatu pemikiran dan amaliah ummat untuk maju bergerak membangun bangsa. Ia menyebutnya dengan rethinking of Islam dan menggali api Islam untuk menggapai matahari yaitu the glory of Islam. Ia menghendaki agar umat Islam, bahkan dunia Islam memahami agama Islam secara terbuka dan berkemajuan. Ayandanya Ibu Megawati Soekarno Putri juga menegaskan agar pikiran ummat Islam terbuka dan tidak terjebak masa lalu. “Ini zaman pesawat terbang, bukan zaman onta,” ucap Bung Karno.
Ia menyampaikan secara terang benderang kepada umat Islam agar memerdekan akal pikirannya. Jangan sampai umat Islam terbelenggu pemikirannya. Sebab, belenggu akal berdampak terhadap kemunduran, kebekuan, dan kejumudan sebuah bangsa. Bung Karno dalam pidato pembentukan dasar negara Pancasila 1 Juni 1945 mengatakan, bahwa kita harus menghindari cara beragama yang kaku dan sempit, yakni egoisme agama. Beragama yang kaku dan sempit yang menolak kemajuan. Ia mengajak kepada umat Islam untuk melakukan introspeksi dan evaluasi dalam menghadapi tantangan zaman.
Situasi terkini, saat ini kita masih menghadapi umat Islam yang kolot dan jumud dengan gampangnya menuduh sesama ummat Islam sebagai orang kafir, mudahnya mengafirkan sains-teknologi yang dibuat oleh non-Muslim. Di mata dan pikiran Bung Karno, Islam adalah agama cinta yang dinamis, akomodatif, rasional, dan memuliakan ilmu pengetahuan.
Dulu dan saat ini juga terjadi banyak propaganda hitam yang menyerang Bung Karno sebagai komunis, tidak ber-Tuhan atau ateis, serta label-label yang sangat memprihatinkan. Padahal kita tahu dalam buku-buku dikisahkan, bagaimana Bung Karno muda waktu berusia 15 tahun sudah belajar Islam di bawah bimbingan tokoh pergerakan Islam yakni HOS Cokroaminoto di Surabaya. Ia belajar ajaran Islam secara menyeluruh saat mengalami masa pahit yaitu hukuman pembuangan di Ende, Flores dan Bengkulu. Ia hanya menyembah Tuhan dengan melakukan shalat lima waktu, hikmat dan rajin bersujud lahir dan batin kepada Tuhannya.“Dapatkah orang seperti itu menjadi komunis, ateis?” kata Bung Karno.
Yang terpenting juga, ia menggerakkan firman-firman Tuhan, yakni berbuat baik kepada manusia, bangsanya, dan dunia sepanjang hidupnya. Bung Karno senantiasa menggerakkan Islam yang dikontekstualisasikan di Tanah Airnya. Itulah dedikasikan hidup Bung Karno.
Ia adalah orang beriman, a religious man. Agama Islam di mata Bung Karno berfungsi sebagai the sacred canopy (teras pelindung suci) atau nomos (menciptakan keteraturan hidup) yang membuat manusia Indonesia terbebas dari chaos atau anomi yang serba kacau dan sarat penyimpangan sosial. Islam yang digerakkan Bung Karno adalah bukan abu, tapi mengambil api Islam untuk menerangi dan merubah keadaaan bangsa menuju nation-state of Indonesia.
Dulu ada pertanyaan dan kritik keras kepada Bung Karno, bahwa Pancasila yang ia temukan, digalinya kurang dalam. Kalau ia menggali terus pasti menemukan Islam. Bung Karno menjawab, Pancasila yang ia gali sangat dalam dan mendalam, dipersembahkan untuk bangsa. Kemudian dasar negara Pancasila ‘distempel’ oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, dibarengi dengan salat tahajud, puasa, zikir, dan lainnya.
Saya kira kurang pas dan kurang tepat, kalau saat ini ada yang menuduh Soekarno adalah PKI, tokoh komunis, anti-Islam, anti-agama, dan sekuler. Yang jelas Bung Karno adalah pecinta Rasulullah Saw, Nabi kita semua yang penuh cinta kasih. Ia takzim kepada Sang Rasul, saat ibadah haji dan berziarah ke pusaranya, ia merangkak melepaskan tanda-tanda kebesarannya sebagai Presiden dan hatinya luluh, bersimpuh merendah di hadapan Sang Rasul.
Bung Karno merebahkan sayap-sayap ketenarannya sebagai pemimpin besar revolusi yang menginspirasi negara-negara Asia dan Afrika untuk melawan penjajahan Barat. Ternyata Bung Karno, hanyalah debu di depan Sang Rasul, itulah adanya dan nyatanya, sebagaimana ucapan sang sufi Maulana Rumi,“Aku hanyalah debu tanah di kaki Muhammad Sang Terpilih.”
Islam bagi Bung Karno adalah api revolusi, agama revolusioner untuk membebaskan penjajahan. Islam is center of revolution, jika tuntutan zaman memang menghendaki. Islam yang dibawa oleh Sang Rasul bagi Bung Karno adalah api revolusi. Energi pergerakan dan daya juang perlawanan terhadap penindasan. Rasulullah SAW menurutnya adalah seorang revolusioner, hadir untuk merobohkan bangunan hitam sosial, politik, dan ekonomi di Semenanjung Arab yang kacau balau dan barbar.
Jazirah Arab adalah sebuah kawasan keras, liar, dengan masyarakat yang gemar berperang. Penuh anarki, teror dan tribalisme. Bahkan, bayi-bayi perempuan yang baru lahir dengan tega dikubur hidup-hidup. Sebuah era jahiliah yang saat ini juga masih terjadi di era kekinian, ideologi ISIS dan teroris misalnya. Sobat ngopi bisa nonton film baru judulnya Rebel (2023), sesekali nonton Drajor, B;ack Knight.
Pointnya adalah jika umat manusia di era abad ke-21 ingin menemukan api revolusi melalui Islam, lihatlah kepada sejarah kehidupan Sang Rasul. Seluruh lekak-lekuk perjuangan para Nabi, mengilhami Bung Karno. Akhirnya, ia pun melabuhkan cintanya kepada Sang Rasul panutan utama. Hai orang-orang yang berselimut, bangunlah! Lalu berilah peringatan! Agungkan Tuhanmu! Bersihkanlah pakaianmu! Dan tinggalkanlah perbuatan dosa! (QS. Al-Muddatsir [74]:1-5).
Bung Karno sebagai seorang Muslim, sudah menempatkan Sang Rasul sebagai role model dalam bergerak, teladan cara hidup dan mati, pahlawan yang membebaskan bangsanya dari penjajahan berabad-abad lamanya.
Lalu akan berbuat apa, kita sebagai anak-anak bangsa di era digital? Dari mana kita mulai guys?
Tinta emas sejarah mencatat tanggal 24 April 1960, Universitas al-Azhar al-Syarif di Kairo memberikan gelar doctor honoris causa dalam filsafat pada Presiden Soekarno. Prof. Dr. Mahmud Syaltut, rektor Al-Azhar berkata,“Universitas al-Azhar pada hari ini menyambut Paduka Yang Mulia selaku salah seorang pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam. Menyambut seorang pejuang yang telah berkecimpung dalam perjuangan untuk membebaskan tanah airnya, rela berkorban demi keluhuran bangsanya, tanpa mempedulikan segala akibat, baik penjara, pengasingan maupun pahit getir penderitaan dalam membela bangsa, menegakkan kemerdekaan dan mempertahankan kejayaan hidup.”
Sebuah anugerah gelar doktor sangat layak diberikan kepada Bung Karno oleh lembaga pendidikan Islam yang paling terhormat sepanjang sejarah Islam. Al-Azhar menyebut Bung Karno sebagai pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam. Bahkan ia pernah dianugerahi penghargaan oleh tokoh-tokoh agung dari Vatikan.“Aku orang Islam hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi dari Vatikan. Presiden Irlandia saja mengeluh padaku bahwa dia hanya memperoleh satu medali,” kata Bung Karno.
Bangsa Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara di Jazirah Arab yang tidak seberagam Indonesia. Bung Karno ingin jadi pemimpin untuk semua golongan, agama, dan suku. Kita ingin mendirikan satu negara “semua buat semua”, bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun kaya. Tetapi kita ingin mendirikan negara “semua untuk semua”. Itulah pikiran Api Islam Bung Karno yang begitu mengesankan.
Tarzie Vittachi menulis The Fall of Soekarno (1967) bercerita tentang seorang jurnalis Barat tahun 1960-an, yang pernah bertanya kepada Bung Karno. Ia menjawab dengan keren, sebuah teriakan, “Akan aku katakan kepadamu apa yang harus aku banggakan. Dalam dua puluh tahun aku telah membuat negeri 70.000 pulau ini, dari Sabang sampai Merauke, yang membentang lebih luas daripada Amerika Serikat, yang tersusun dari orang-orang, dari warisan budaya yang berbeda dengan beragam tuntutan dan kebutuhan, menjadi SATU BANGSA!”
Meresapi perjalanan hidup Bung Karno itu sangat penting. Ya, sesungguhnya untuk kita semua, untuk generasi milenial nasionalis,”Saya tidak tahu akan diberi umur sampai berapa oleh Tuhan. Tetapi permohonanku kepada-Nya ialah supaya hidup saya bermanfaat. Berguna bagi sesama manusia. Harapan ini saya panjatkan pada tiap sembahyang,” ucap Bung Karno.
Hal di atas mengingatkan kita, sejarawan kontemporer Yuval Noah Harari saat menulis Sapiens (2011) dan Homo Deus (2016). Ia memperingatkan kita semua bahwa kehidupan manusia semakin absurd ketika dirinya tetap tidak tahu “Kita menginginkan apa?” Bahkan, yang lebih ekstrem, manusia sebagai Homo Sapiens itu menjelma sebagai “Hewan yang menjelma Tuhan”, terjadi penambahan secara drastis perihal kekuasaan dalam diri manusia. Manusia telah mampu mengurangi kelaparan, wabah, dan perang. Ironisnya, manusia tak pernah puas dan tidak tahu yang diinginkannya. Kekuasaan tidak tahu untuk tujuan apa?
Belajarlah dari Bung Karno! Ia dan para pendiri bangsa lainnya dengan karya besar bernama Pancasila, tak lain adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa, Tuhannya semua makhluk. Jangan abai dan jangan sampai generasi muda milenial yang terputus dengan sejarah pendiri bangsa, dan menjadi generasi a-historis yang tidak kenal siapa Bung Karno, Bung Hatta, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Tan Malaka, Jenderal Soedirman, KH. Ahmad Dahlan dan lain sebagainya. Jangan sampai yang kita tahunya hanya Black Pink, Suju, BTS, Lee Min Ho, Gong Yoo, Won Bin, Shi Won, Shah Rukh Khan, Erdogan, Donald Trumph, serta Kim Jong Un. Ngga bahaya ta?
AKHIRUL KALAM
Ala kulli hal, dari perjalanan hidup Bung Karno kita semua bisa belajar, bisa tahu, dan sadar diri terhadap apa yang terjadi di negeri ini. Kita harus berniat dan bertekad mengisi kemerdekaan dengan segala passion. Menjadi pemimpin, generasi penerus dan inovator, bukan hanya jadi konsumen dari produk-produk asing semata.
Dalam buku berjudul Indonesia Merdeka, yang disusun berdarah-darah oleh Bung Karno, ada hal penting yang ia sampaikan, “Kenang-kenanglah pesan seorang pejuang nasional di Digul yang terdapat pada sebuah batu nisan di tempat pembuangannya, yang jauh dari sanak keluarganya”. Kata-kata itu ditulis di atas batu nisan yang sangat sederhana, tercantum syair yang mengharukan hati, ditulis saat detik-detik terakhir hidupnya, “De Toors, Onstoken In Den Nacht, Reik Ik Voorts, Aan Het Nageslacht.” Artinya: Obor yang kunyalakan di malam gelap ini, kuserahkan kepada generasi kemudian.
Generasi kemudian itu adalah kita semua dari Sabang sampai Merauke. Generasi milenial nasionalis yang berzikir menyiasati angin. Ada tantangan wabah hoaks, kebencian, era kemarahan, dan kemurkaan terhadap sesama atas nama identitas, ras, martabat, dan agama yang saat ini melanda dari India sampai Amerika, menyebar di lintas benua termasuk Tanah Air kita.
Bung Karno harus kita teladani jejak langkahnya dalam menjawab prahara di bumi manusia. Tentunya dengan sayap-sayap cinta. Seperti nyanyian indah dan merdu John Lenon,”all you need is love.” Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan, ucap Bung Karno.
Dengan demikian, Bung Karno mewasiatkan kepada seluruh anak bangsa untuk menggali api Islam. Dan kita hanya bisa menggalinya jika kita benar-benar mengerti segala seluk-beluk daripada agama Islam itu, antara lain dengan cara naik di dalam world of the mind. Kita punya mind, alam pikiran, yang harus kita buka sepenuhnya.
Lihat dari atas, bagaimana sejarah umat-umat Islam terdahulu. Dan bagaimana jalan yang harus kita lewati sekarang ini. What is behind us, what is before us. Apa yang dialami di dalam alam sejarah dahulu, dan apa yang harus kita kerjakan untuk membangun satu future, hari kemudian yang gilang-gemilang.Marilah kita mencoba, berusaha menangkap api Islam itu, sebab hanya orang yang menangkap api Islam adalah mukmin.”
Sebagaimana pitutur Maha guru,”Marilah kita kenang kembali Bung Karno sang pemimpin Islam yang diakui dunia Seorang Muslim yang besar karena pengabdiannya kepada sesama umat manusia. Hidupnya disingkat dengan tiga hal; Berpikir, berdzikir, dan beramal shaleh. Mengabdi kepada Tuhan berkorban pada manusia, berjuang demi bangsa dan dunia yang damai.”
Ya Allah, syukur kami bagi-Mu
dengan hadirnya Bung Karno dan para pendiri bangsa. Beliau-beliau memang keren dan top banget!
Barokallahu fiikum. Sruput dulu Bang Haji.[]