Jumat, 26 April, 2024

Jihad Santri di Era Medsos

Oleh: Hermansyah Kahir
(Belajar di Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Al-Amien Prenduan (2004-2006)

Tak dapat disangkal bahwa kehidupan saat ini tidak dapat dipisahkan dari teknologi informasi. Siapa pun yang mampu memanfaatkan teknologi dengan baik, ia akan mampu menggenggam dunia ini. Begitu pun sebaliknya, orang yang tidak mampu memanfaatkan teknologi akan tertinggal dan tergilas. 

Pengguna internet di Indonesia terus mengalami peningkatan pesat. Salah satu buktinya bisa dilihat dari semakin menjamurnya pengguna media sosial. Media sosial bagi sebagian besar orang sudah menjadi kebutuhan primer, lebih-lebih bagi generasi milenial yang kesehariannya tak bisa jauh-jauh dari media sosial.

Instragram, Facebook, YouTube, TikTok, dan WhatsAppmerupakan sederet media sosial yang paling sering digunakan oleh generasi milenial. Bagi yang sudah kecanduan media sosial, ia akan menghabiskan hari-harinya untuk mengakses berbagai informasi melalui media sosial. Bahkan, ia rela begadang hanya untuk berselancar di media sosial.

- Advertisement -

Meurujuk pada laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022. Jumlah tersebut meningkat 12,35% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang berkisar 170 juta orang (Dataindonesia.id, 24/2/2022).

Jihad Kekinian

Lantas, bagaimana hukumnya santri menggunakan media sosial yang sering kali berisi informasi yang justru menyesatkan? Media sosial merupakan sarana interaksi atau komunikasi antarsesama. Selama media sosial digunakan untuk kemaslahatan apalagi dakwah, tentu saja Islam membolehkannya. Dengan kata lain, selama media sosial tidak digunakan untuk menyebarkan informasi yang bertentangan dengan Islam, maka hukumnya boleh. Dalam konteks ini, santri sangat dianjurkan menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebaikan kepada publik.

Kehadiran santri di jagat maya menemukan momentumnya ketika produksi hoax, ujaran kebencian, dan hal-hal yang berbau pornografi semakin meningkat. Santri yang memiliki kelebihan di bidang ilmu agama harus masuk ke dunia media sosial untuk melawan berbagai konten negatif dengan cara memproduksi konten yang menyejukkan dan jauh dari informasi negatif. Menyebarkan berita negatif merupakan tindakan bodoh yang justru membahayakan diri sendiri.

Syaikh Hamad Al Kous menegaskan, jadikan medsos sebagai wasilah untuk menuju pada Allah dan negeri akhirat. Perhatikan lagi apa yang engkau share, sebarkanlah yang bermanfaat dan berharaplah pahala atas hal tersebut.

Di era teknologi informasi, santri harus mampu melakukan jihad-jihad kekinian, terutama di jagat maya. Doktrin Islam yang rahmatan lil alamin perlu disebarluaskan melalui media sosial dengan cara-cara yang baik tanpa harus mem-bully dan merendahkan orang lain.

Selain menjadi tempat penyebaran berita bohong, media sosial juga sering dijadikan sebagai media penyebaran paham-paham keislaman yang radikal, sehingga tak sedikit generasi milenial yang menjadi pengikut dari paham tersebut.

Hal lain yang mesti diwaspadai adalah fenomena ‘buzzer’ yang sering menyebarkan narasi-narasi menyesatkan di media sosial. Buzzer merupakan aktivitas yang dimanfaatkan dan dibayar oleh kelompok tertentu untuk membangun opini sesat di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, Islam dan beberapa tokoh juga tidak luput dari sasaran para buzzer.

Dalam pandangan Oka Putra (2022), perlu upaya nyata untuk membangun simpul kekuatan dalam membungkam para buzzer dalam melakukan penyesatan opini. Iklim demokrasi yang semakin panas dengan hadirnya buzzer kini bertambah panas dengan cara-cara kotor buzzer dalam menyerang Islam.

Dalam konteks merespons paham radikaslime dan berbagai opini menyesatkan para buzzer, santri perlu tampil di garda terdepan dalam mendakwahkan Islam yang santun dan penuh kedamaian. Santri harus menjadi pemersatu di tengah merebaknya permusushan, fitnah, dan adu domba yang dilancarkan para buzzer.

Santri tidak boleh gagap teknologi (gaptek) apalagi memanfaatkan media sosial untuk hal-hal negatif. Di era media sosial, santri harus mampu melakukan dakwah kekinian, menjadi perekat persatuan, dan menjadi penggerak perubahan di tengah-tengah masyarakat. Wallahu a’lam bish shawab.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER