MONITOR, Jakarta – Keberadaan organisasi keagamaan Khilafatul Muslimin yang belakangan mencuat mengejutkan banyak pihak. Padahal eksistensi organisasi yang juga bergerak di bidang pendidikan ini telah berlangsung sejak 24 tahun lalu. Dibutuhkan aktivasi seluruh unit aparatur negara untuk menangkal gerakan radikal dan intoleransi di Indonesia.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Abdul Halim, menyebutkan Khilafatul Muslimin yang belakangan mencuat setelah berdiri sejak 24 tahun silam menunjukkan belum optimalnya aparatur negara khususnya di level unit terbawah.
Padahal, kata Halim, secara harfiyah penamaan Khilafatul Muslimin menjadi indikator awal untuk mencegah perkembangan kelompok ini lebih luas.
“Coba kita lihat dari segi penamaan organisasi ini saja seyogianya sudah harus menjadi pertanyaan. Saya kira ini menjadi pelajaran penting kita semua, agar aparatur negara di unit bawah seperti Kepala Desa, Camat, Polri serta tokoh-tokoh masyarakat dan agar lebih sensitif dalam melihat gejala di tengah-tengah masyarakat,” ujar Halim di Jakarta, Sabtu (18/6/2022).
Menurut dia, keberadaan Khilafatul Muslimin yang berdiri sejak tahun 1997 menunjukkan sensitivitas masyarakat atas kelompok yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945 ini belum optimal. Padahal, kata Doktor Hukum Islam ini, keberadaan sejumlah peraturan perundang-undangan telah tersedia. “Ada UU Ormas, UU Pesantren dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Ini pekerjaan rumah bersama, sosialisasi dan pemberian pemahaman ke masyarakat di akar rumput agar lebih diintensifkan,” saran Halim.
Halim juga menyebutkan, sosialisasi empat pilar yang menjadi ikon MPR sejak era kepemimpinan Ketua MPR Taufiq Kiemas agar dimodifikasi dengan kebutuhan dan segmentasi masyarakat. “Empat pilar yang digagas oleh Ketua MPR era Taufiq Kiemas berada di jalur yang benar. Saat ini dibutuhkan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan segmentasi masyarakat khususnya di akar rumput,” sebut Halim.
Di samping itu, Halim menyebutkan kerja kolaborasi untuk memberi edukasi kepada masyarakat dapat melibatkan masyarakat sipil khususnya organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya. Langkah tersebut, menurut Halim, akan efektif mencegah keberadaan kelompok yang bertentangan dengan hukum dasar bernegara itu.
“Upaya preemtif dan preventif harus diutamakan untuk mencegah ekses yang lebih besar di bawah. Kolaborasi aparatur negara di unit terbawah bersama seluruh komponen akan lebih efektif, tidak terkecuali pihak perguruan tinggi, seperti UPN Veteran Jakarta sebagai kampus bela negara,” tegas Halim.