Jumat, 22 November, 2024

Pembangunan berbasis Pancasila sebagai Solusi Permasalahan Bangsa dan Dunia

MONITOR, Jakarta – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS memberikan orasi ilmiah pada acara wisuda sarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tahun akademik 2021/2022 yang digelar secara hybrid dari Gedung Olah Raga (GOR) Kampus B UNJ pada Rabu (30/3/2022).

Pada kesempatan tersebut, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu memparkan makalah bertema “Pembangunan Berbasis Pancasila, Teknologi Industri 4.0, dan Ekonomi Hijau menuju Indonesia Emas 2045” yang mengupas secara mendalam dinamika ekonomi politik global, arah dan status pembangunan nasional, Pancasila sebagai Ideologi Dunia, dan Peta Jalan Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045.

Kapitalisme dan Ketimpangan Ekonomi

Menurut Prof Rokhmin, secara makroekonomi, Kapitalisme memang berhasil memacu pertumbuhan ekonomi global rata-rata 3,5 persen per tahun. Sehingga, mampu meningkatkan PDB Dunia dari sekitar 0,45 trilyun dolar AS pada tahun 1753 menjadi 90 trilyun dolar AS pada 2015 (Sach, 2015). Kapitalisme pun sukses menciptakan ekosistem kondusif bagi inovasi IPTEK yang telah melahirkan empat gelombang Revolusi Industri.

- Advertisement -

“Sejak tahun 2000, dunia memasuki Revolusi Industri Keempat yang berbasis pada teknologi digital seperti Artificial Intelligence, Internet of Things, Big Data, Blockchain, Cloud Computing, Augmented Reality dan Virtual Reality (METAVERSE), dan robotics, juga new materials, nanoteknologi, dan bioteknologi (Schwab, 2015),” tuturnya.

Pesatnya kemajuan IPTEK telah membuat ekonomi dunia semakin berkembang, produktif, efisien, dan kompetitif. Kehidupan keseharian manusia pun semakin sehat, mudah, murah, cepat, dan nyaman. Namun, hingga kini baru sebagian kecil negara-bangsa di dunia yang sudah maju dan makmur (high-income country) dengan GNI (Gross National Income) per kapita diatas 12.695 dolar AS.

Dari 194 negara-negara anggota PBB, baru 55 negara (28%) yang telah maju dan makmur, 103 negara (53%) berstatus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income country) dengan GNI per kapita antara 1.046 – 12.695 dolar AS, dan 36 negara (19%) masih miskin (poor country) dengan GNI per kapita lebih kecil dari 1.046 dolar AS. Pada 2021, GNI per kapita Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS (World Bank, 2021).

“Yang lebih menyedihkan, saat ini sekitar 1 milyar (14%) penduduk dunia masih fakir (miskin absolut) dengan pengeluaran kurang dari 1,25 dolar AS per hari, dan sekitar 3 milyar warga dunia (41%) masih miskin dengan pengeluaran kurang dari 2 dolar AS per hari,” terang Prof Rokhmin.

Dunia Kapitalistik dimana kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang, juga telah membuat semakin terkonsentrasinya kekuatan politik pada sekelompok elit yang menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

“Ketika ketimpangan ekonomi dan kosentrasi kekuasaan politik semakin tajam, maka rasa saling percaya di tengah kehidupan masyarakat memudar. Sebaliknya, fragmentasi sosial dan kebencian akan memuncak yang berujung pada konflik bersenjata alias perang. Dalam dekade terakhir, krisis geopolitik pun semakin meruncing di berbagai belahan dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah, Amerika Latin, Semenanjung Korea, dan Laut Cina Selatan. Dan, Invasi Rusia ke Ukraina yang sampai sekarang belum kunjung damai,” ujarnya.

Status Pembangunan Indonesia

Rokhmin Dahuri mengungkapkan bahwa sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan. “Contohnya, kalau pada 1945 – 1955 sekitar 70 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen. Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen. Sayang, karena pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 persen atau sekitar 27,6 juta orang (BPS, 2021),” tuturnya.

Ukuran ekonomi atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia saat ini ungkap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu mencapai 1,1 trilyun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia (World Bank, 2021). Namun, bila PDB sebesar itu dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 274 juta orang, maka per Maret 2021 GNI (Gross National Income) atau Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS per kapita.

“Artinya, hingga saat ini (sudah 76 tahun merdeka), status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country). Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI per kapita diatas 12.695 dolar AS, yang merupakan Cita-Cita Kemerdekaan NKRI 1945,” ujarnya.

Sementara itu, tingkat kemajuan bangsa Indonesia, yang diukur atas dasar kapasitas IPTEK (UNESCO, 2014), pun sampai sekarang masih berada di kelas-3 (technology-adaptor country), belum sebagai negara maju (technologyinnovator country) atau kelas-1 dimana Technology-adaptor country adalah negara yang sekitar 70% kebutuhan teknologinya berasal dari impor, bukan dari hasil karya (inovasi) bangsa sendiri. Sebaliknya, negara maju (technologyinnovator country) adalah negara yang lebih dari 70% kebutuhan teknologinya dipenuhi oleh hasil karya bangsanya sendiri, bukan dari impor.

“Makanya kita dukung sikap tegas Pak Jokowi yang menolak impor untuk pengadaan barang dan jasa yang kita bisa memproduksinya sendiri,” tegas Rokhmin Dahuri.

Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan. Mulai dari masih tingginya angka kemiskinan, ketimpangan kelompok penduduk kaya vs miskin, disparitas pembangunan antar wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia).

Dengan garis kemiskinan sebesar Rp 472.525/orang/bulan, per Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 27 juta orang atau 10,2% jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2021). Tetapi, atas dasar garis kemiskinan internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan, jumlah orang miskin Indonesia mencapai 100 juta orang atau 37% jumlah penduduk (Bank Dunia, 2021).

“Dalam hal ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin), Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 45% total kekayaan negara. Yang terburuk adalah Rusia, dimana satu persen orang terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 58,2% kekayaan negara. Disusul Thailand, sekitar 54,6% (Oxfarm International, 2021),” ungkapnya.

Permasalahan bangsa lainnya yang tak kalah rumit adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur). Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19% Ironisnya, dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis.

Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan SDA dan lingkungan terparah di dunia (UNEP, WWF; 2020). Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA, tetapi belum mampu keluar dari middle-income trap dan menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat. Pada tataran praksis, penyebab itu karena kita belum punya Rencana Pembangunan Nasional yang holistik, tepat, dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan.

“Sejak awal era Reformasi, setiap ganti presiden, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota; kebijakan dan program nya berganti pula. Jadi, kita ibarat membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian pocopoco’. Tidak ada kemajuan pembangunan yang akumulatif dan berkelanjutan,” katanya.

Peta Jalan Indonesia Emas

Menurut Prof Rokhmin, untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan GNI per kapita sekitar 23.000 dolar AS dan PDB sebesar 7 trilyun dolar AS (ekonomi terbesar kelima di dunia) (Bappenas, 2019), Indonesia seyogyanya mengimplementasikan Peta Jalan Pembangunan Bangsa dimana ada 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045.

Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 23.000 dolar AS. Target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2022 – 2045 rata-rata sebesar 6,5% per tahun (Bappenas, 2019). Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technologyinnovator country). Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021). Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya matapencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarga nya (zero poverty).

Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3. Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat. Ketujuh, IPM mesti diatas 80. Kedelapan, kualitas lingkungan hidup tergolong baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan sosialekonomi harus berkelanjutan (sustainable).

“Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan tujuh kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan; (4) peningkatan kedaulatan/ketahanan pangan, energi, dan farmasi; (5) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital; (6) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif, dan atraktif; dan (7) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan,” terang Duta Besar Kehormatan Jeju Island Korea Selatan itu.

Transformasi Struktur Ekonomi

Transformasi struktural ekonomi mencakup enam elemen (proses) berikut. Pertama, dari dominasi kegiatan eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable). Kedua, dari dominasi sektor impor dan konsumsi ke dominasi sektor investasi, produksi, dan ekspor. Ketiga, modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Keempat, revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Makanan Minuman, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya. Kelima, pengembangan industri manufakturing baru, seperti mobil listrik, EBT (Energi Baru Terbarukan), Semikonduktor, Baterai, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan Industri 4.0. Keenam, kelima proses pembangunan ekonomi tersebut mesti berbasis pada Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0).

Di bidang lingkungan hidup, pertama adalah bahwa RTRW harus diimplementasikan secara serius dan konsisten di tingkat nasional, provinsi hingga ke Kabupaten/Kota. Kedua, pemanfaatan SDA terbarukan (seperti hutan, perikanan, dan lahan pertanian) harus dikerjakan secara optimal, tidak melampaui potensi produksi lestarinya, dan ramah lingkungan. Ketiga, eksploitasi SDA tidak terbarukan (seperi minyak, gas, batubara, mineral, dan bahan tambang) mesti dilakukan secara ramah lingkungan, didahului dengan studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), pemantauan lingkungan, dan pengelolaan lingkungan.

Keempat, pengendalian pencemaran dengan tidak membuang limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) ke lingkungan (seperti lahan darat, danau, sungai, dan laut). Limbah B3 harus diolah (treated) dahulu di instalasi pengolahan limbah B3, sampai netral (tidak berbahaya). Untuk limbah non-B3 boleh dibuang ke lingkungan, tetapi jumlah (laju) pembuangannya tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan alam untuk menetralisirnya.

Kelima, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) baik pada tingkat gen, spesies maupun ekosistem. Keenam, dalam mengubah (memodifikasi) bentang alam (landscape atau seascape), infrastruktur, gedung, kawasan pemukiman, kawasan industri. kawasan pertanian, dan ekosistem buatan manusia (man-made ecosystems) lainnya; kita mesti mengerjakannya berdasarkan prinsip dan prosedur ‘design and construction with nature’ atau sesuai dengan kondisi, struktur, karakteristik, dan dinamika lingkungan alam setempat. Ketujuh, mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya.

“Di bidang sosial-budaya, kita mesti meningkatkan kinerja sektor Pendidikan supaya semua anak, remaja, dan orang dewasa mampu menyelesaikan pendidikannya, dari jenjang PAUD, SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi dengan kualitas Pendidikan yang terbaik, a world-class education,” tandas Prof Rokhmin.

Kapasitas riset dan inovasi mulai sekarang juga harus ditingkatkan hingga seperti di negara-negara maju dan makmur. Pasalnya, kapasitas riset dan inovasi sangat menentukan produktivitas dan daya saing suatu bangsa. “Terakhir adalah perbaikan etos kerja dan akhlak bangsa melalui Pendidikan agama, budipekerti, contoh teladan dari orang tua dan tokoh masyarakat, dan penciptaan sistem sosial yang kondusif bagi tumbuh kembangnya insan-insan Indonesia yang beretos kerja unggul, berkahlak mulia, dan beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing,” tambahnya.

Di bidang politik-hukum-keamanan, pertama yang mesti dibenahi adalah tata kelola pemerintahan yang hingga kini belum mencapai kinerja sebagaimana di negara-negara maju dan makmur. Praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) bukannya membaik, malah kian merajalela. Maka, prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) termasuk transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan melayani publik (rakyat) mesti dilaksanakan di setiap unit kerja pemerintah, dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota sampai desa.

“Hukum sungguh-sungguh harus ditegakkan secara tegas, keras, adil, tanpa pandang bulu, dan berwibawa. Jaminan rasa aman dan keadilan harus benar-benar hadir di tengah kehidupan masyarakat kita. Sistem sosial budaya dan polhukam harus menciptakan masyarakat meritokrasi, yakni sistem kehidupan sosial yang memberikan penghargaan dan kepercayaan kepada setiap warga negara yang kompeten, beretos kerja unggul, berakhlak mulia, dan berprestasi untuk menduduki jabatan tinggi dan terhormat di pemerintahan, perusahaan swasta, dan Lembaga-lembaga lainnya,” katanya.

“Stop praktik PILKADA, PILEG, PILPRES, dan PEMILU yang selama ini sangat dipenuhi oleh politik uang (money politics), yang mengakibatkan biaya sangat tinggi. Sehingga, ujungnya lebih dari 70 persen Kepala Daerah terjerat kasus korupsi. Yang lebih mencemaskan, di tingkat nasional, kini negara dikuasai oleh oligarki (kerjasama elit politik dan konglomerat jahat) untuk merampok kekayaan negara dan ‘menjual negara’ ke pihak asing. Kini saatnya kita menyudahi demokrasi liberal dengan ‘one man, one vote’ nya. Dan, kemudian menerapkan demokrasi yang berlandaskan pada hikmah dan kebijksanaan melalui permusywaratan/perwakilan (Sila-4 Pancasila),” tegas Rokhmin Dahuri.

Kemudian kekuatan pertahanan nasional yang meliputi SDM, alusista, infrastruktur, dan anggaran harus ditingkatkan supaya berwibawa dan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. “Dengan kekuatan ekonomi, IPTEK, dan Hankam yang tangguh, berkelaas dunia; kita akan mampu melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, sekaligus turut menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Semua kebijakan dan program pembangunan di bidang ekonomi, lingkungan hidup, sosial-budaya, dan polhukam diatas haruslah berdasarkan pada Pancasila, sebagai pengganti sistem Kapitalisme,” tandas Rokhmin Dahuri.

Ekonomi Hijau

Lahirnya paradigma Green Economy,sejak akhir 1980-an sejatinya merupakan response dan koreksi atas kegagalan paradigma ekonomi konvensional (Kapitalisme) seperti saya uraikan diatas. Menurut UNEP (2011) “Green Economy is one that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities” (Ekonomi Hijau adalah sistem ekonomi yang menghasilkan perbaikan kesejahteraan manusia serta pemerataan sosial, dan secara simultan mengurangi risiko (kerusakan) lingkungan dan kelangkaan ekologis).

“Secara lebih operasional, Green Economy dapat kita maknai sebagai sistem ekonomi yang dibangun dan digerakkan oleh aktivitas manusia (produksi, transportasi, distribusi, dan konsumsi) yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon) atau tanpa karbon (zero-carbon emission), tanpa membuang limbah atau sedikit limbah (zero or low-waste), menggunakan SDA secara efisien dan tidak melampui kemampuan pulihnya, dan secara sosial hasilnya (pertumbuhan ekonomi atau kesejehteraan nya) dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia secara adil (socially inclusive) dan berkelanjutan (sustainable),” katanya.

Ekonomi Digital

Sejak awal abad-21 (tahun 2000) dunia mengalami perubahan yang super cepat dengan lahirnya berbagai jenis teknologi yang berbasis pada teknologi digital, IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligent), Big Data, Blockchain, Cloud Computing, 3-D Printing, Augmented Realiyty dan Virtual Reality (METAVERSE), automasi, robotics, new materials, biotekonolgi, dan nanoteknologi.

“Tahun 2000 juga disebut sebagai awal dari Revolusi Industri Keempat (Industry 4.0) yang melahirkan berbagai jenis teknologi baru tersebut (Schwab, 2016). Beragam teknologi baru itu telah dan akan menimbulkan perubahan dan disrupsi di hampir semua aspek (bidang) kehidupan manusia. Disrupsi adalah terjadinya perubahan dalam suatu aspek kehidupan yang sangat fundamental dan berlangsung super cepat,” katanya.

Sebagai negara yang bergerak ke arah digitalisasi atau disebut juga sebagai tranformasi digital di berbagai sektor pembangunan, Indonesia juga mengalami era disrupsi ini. Adalah hal yan lumrah, bahwa disrupsi itu selalu menghadirkan pihak-pihak yang menang dan diuntungkan (winners) dengan adanya disrupsi tersebut, dan ada pihak-pihak yang kalah (lossers). Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang sangat luas dan memiliki jumlah penduduk usia produktif yang tinggi. Oleh karena itu, pengaruh dan dampak disrupsi sangat beragam.

Memang perubahan-perubahan kerena transformasi digital belum banyak dipahami saat ini. Namun, apabila dapat diantisipasi dengan lebih baik, cepat, dan sigap, Indonesia dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraa rakyat, baik di wilayah barat, tengah, maupun timur.

“Untuk itu, selain di aspek rantai pasok (supply chain) seperti Gojek, Gofood, dan Hallodoc, penemuan dan aplikasi inovasi teknologi digital juga harus dilaksanakan di sub-sistem eskplorasi, produksi, dan manufacturing (pengolahan) di semua sektor pembangunan, seperti Kelautan dan Perikanan, Pertanian, Kehutanan, ESDM (Energid an Sumber Daya Mineral), Industri Manufaktur, dan Pariwisata. Supaya produktivitas, produksi, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan (sustainability) dari semua sektor itu dapat meningkat secara ramah lingkungan berkelanjutan (sustainable),” harapnya.

Ideologi Pancasila

Untuk mencegah dunia dari kehancuran, maka masyarakat dunia harus memperbaiki Sistem Kapitlisme secara fundamental atau mencari alternatif paradigma pembangunan yang mampu mengatasi sejumlah permasalahan kemanusiaan diatas. Karena, paradigma pembangunan utama lainnya, Komunisme telah mati sejak 1989 bersamaan dengan runtuhnya Emporium Uni Soviet, maka Pancasila dapat menjadi paradigm alternatif menuju dunia yang lebih baik, sejahtera, berkeadilan, damai, dan berkelanjutan. Dalam perspektif Pancasila, manusia dan alam semesta adalah makhluk ciptaan Tuhan YME. Selain homo sapiens dan homo economicus (makhluk ekonomi), manusia juga homo religiosa (makhluk beragama).

“Manusia tidak hanya tersusun oleh jasad-fisik (jasmani), tetapi juga oleh ruh (rohani). Maka, kepuasan dan kebahagiaan insan Pancasilais tidak hanya berupa terpenuhinya kebutuhan jasmani, harta, jabatan, popularitas, dan atribut-atribut duniawi lainnya, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan spiritual. Seorang Pancasilais juga mengimani bahwa kehidupan di dunia ini sifatnya hanya sementara. Setelah kematian, manusia akan meninggalkan dunia yang fana menuju kehidupan akhirat yang sebenarnya dan abadi,” jelas Rokhmin Dahuri.

Dengan world view diatas, maka seorang Pancasilais dalam menjalankan kehidupan, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat (bangsa) kata Rokhmin Dahuri pasti akan dilandasi dengan keimanan dan niat ikhlas karena Tuhan YME. Berperilaku adil dan beradab baik untuk bangsanya sendiri maupun masyarakat dunia.

“Bila Indonesia mampu menjadi negara-bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat serta berperan aktif dan signifikan dalam menjaga perdamaian dunia sesuai nilai-nilai Pancasila, maka ia akan menjadi a role model, dan Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi dunia adalah sebuah keniscayaan,” tegas Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2019-2024 itu.

Peran Perguruan Tinggi

Rokhmin Dahuri yang juga Guru Besar Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu juga mengatakan bahwa pada dasarnya, peran PT (Perguruan Tinggi) di dalam mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 adalah berupa: (1) lulusan yang unggul, (2) hasil penelitian (invensi dan inovasi) yang berguna bagi pembangunan ekonomi dan kehidupan bangsa Indonesia serta umat manusia, dan (3) perbaikan dan pengembangan kapasitas, etos kerja, dan akhlak masyarakat dan aparat pemerintah (ASN).

“Melalui kegiatan Tri DARMA nya, yakni: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat. Di era dunia yang highly interconnected dan borderless, bercirikan VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, dan Ambiguous), Pemanasan Global dan kerusakan lingkungan yang kian masif dan meluas, dan ketimpangan sosial-ekonomi (kaya vs miskin) yang semakin melebar; PT dan segenap alumninya juga dituntut untuk berkontribusi signifikan untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, maju, sejahtera, adil, aman, damai, dan berkelanjutan,” katanya.

Profil alumni PT yang unggul dan insya Allah hidupnya sukses serta bahagia adalah mereka yang memiliki karakter (ciri): (1) kompeten pada bidang IPTEK (PRODI) yang ditempuh selama kuliahnya; (2) memiliki kemampuan analisis, sintesis, kritis, kreatif, inovatif, dan problem solving; (3) menguasai dan terampil teknologi digital (menggunakan komputer, HP, dan gadget lainnya); (4) memiliki soft skills (seperti dapat memelihara dan memompa motivasi diri, bisa bekerjasama, teamwork, disiplin, dan leadership);(5) menguasai sedikitnya satu Bahasa asing (seperti Inggris, Arab, atau Mandarin); (6) memiliki jiwa wirausaha (entrepreneurship); (7) berakhlak mulia (jujur, amanah, fathonah/visioner, tabligh, berempati, kanaah, sabar, dan bersyukur); dan (8) beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.

Hasil penelitian dari PT mestinya menghasilkan: (1) informasi ilmiah sebagai dasar bagi pihak pemerintah, swasta (industri) maupun masyarakat dalam menyusun perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan atau bisnis; (2) invensi (prototipe) yang siap untuk dihilirisasi (scalled up) menjadi inovasi teknologi maupun non-teknologi; (3) publikasi ilimiah di jurnal ternama (terbaik) pada bidang ilmunya, baik di tingkat nasional maupun internasional; dan (4) semakin meningkatkan Iman dan Taqwa (IMTAQ) para peneliti dan manusia menurut agama masing-masing.

Adapun Pengabdian pada Masyarakat yang dilakukan oleh PT harus diarahkan untuk membantu masyarakat dan pemerintah setempat supaya lebih memiliki kompetensi dan kapasitas pembangunan serta berusaha (berbisnis), beretos kerja unggul, berakhlak mulia, dan beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing sesuai koridor Pancasila.

“Apabila TRI DARMA dan peran Mondial (global) yang saya uraikan diatas dapat dilaksanakan secara benar dan baik, maka UNJ menjadi a World-Class University dan para alumninya menjadi insan-insan yang sukses serta bahagia hidup di dunia dan akhirat adalah sebuah kebiscayaan, dalam waktu yang tidak lama (2035),” unkapnya.

Ke depan, Rokhmin Dahuri berharap UNJ mesti membuka PRODI (Program Studi) dan Fakultas baru yang relevan dengan IPTEK dan expertise (keahlian) yang dibutuhkan untuk pembangunan bangsa dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas, paling lambat pada 2045.

“Program Studi atau Fakultas baru itu antara lain adalah: Nano-Bioteknologi; Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Digital/Informasi; Material Baru (New Materials); Kelautan dan Kemaritiman; Pangan dan Kesehatan; Energi Baru dan Terbarukan; dan Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Lingkungan, terutama yang terkait dengan Perubahan Iklim dan Bencana Alam. Coastal and Ocean Engineering, Energi Kelautan, Teknik Perkapalan, Manajemen Pelabuhan dan Logistik Maritim, Pariwisata Bahari, dan Industry 4.0 Maritim. Sebagai PT yang berasal dari IKIP, UNJ bisa membuka PRODI dan Fakultas baru di bidang kemaritiman diatas melalui jalur Pendidikan untuk para mahasiswa calon guru maupun untuk para mahasiswa untuk profesi non-guru,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER