Oleh: Abdul Mukti Ro’uf
Dosen dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama IAIN Pontianak
Tiba-tiba secara cepat kilat, tersebarlah narasi kumandang azan versus gonggongan anjing. Roy Suryo dengan sangat antusias mengadukan Menteri Agama ke kepolisian soal penistaan agama berdasar atas rekaman video pasca editing dengan frame: Gus Men telah membandingkan antara suara azan dengan gonggongan anjing. Berita inilah yang terus memviral sepanjang pekan.
Singkat cerita: Gus Men tertuduh oleh jama’ah nitizen yang secara ideologi dan geneologi mudah dipetakan baik dari sisi ideologi keagamaan maupun kontestasi politik mengingat Roy Suryo sebagai aktor politik partai tertentu, setidaknya partai oposisi dari pemerintah berkuasa. Lumayan, dapat dukungan dari gelombang protes para netizen. Tujuan Roy Suryo mudah diduga: bersifat politis, diakui atau tidak diakui.
Tentu saja, sepanjang media sosial berada dalam genggaman kita, sepanjang itu pula perbincangan publik akan mempengaruhi dengan sangat cepat pikiran dan tindakan kita atas peristiwa yang tengah viral.
Terkadang, syaraf kita tidak lagi bertekad untuk menelaah secara mendalam. Budaya komentar tidak lagi berasaskan pada argumen yang saling mencerahkan satu sama lain. Melainkan (dan ini yang sering terjadi), berdasar pada urusan yang lebih pendek: pragmatisme politik dalam balutan emosi keagamaan yang dalam konteks Indonesia masih membekas sejak kontestasi politik sejak tahun 2019.
Memang, tidak semua komentar nitizen dimaksudkan untuk tujuan politik. Tetapi, kritik-kritik yang steril dari tujuan politik dapat dikapitalisasi oleh para pengkondisi politik sebagai energi tambahan. Ini mirip dengan kasus penistaan agama yang dituduhkan ke Ahok yang dapat dikapitalisasi untuk tujuan kontestasi politik Pilkada Jakarta dan berlanjut ke kontestasi Pilpres 2019.
Konstruksi Narasi
Apakah mungkin, seorang Menteri Agama yang santri tulen berniat membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing? Jika menjawabnya berdasar rekaman video hasil editan itu, menjadi multi tafsir. Dan tafsir, dalam kajian tafsir apapun, bersifat subjektif. Tidak ada tafsir yang objektif. Tafsir atau komentar dalam kajian keilmuan sekalipun selalu menyimpan dimensi kontestasinya sendiri. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tafsir atau komentar atas pro kontra pernyataan Gus Men memiliki dimensi kontestasi tertentu.
Seluruh aksi “menyerang” dan sebaliknya, aksi “membela” dalam jagat dunia maya atas peristiwa tersebut akan mudah dipahami dan bermuara sebagai ‘peristiwa politik keagamaan”. Mengapa? Karena substansi pernyataan itu akan selalu debatable baik dalam diskursus logika maupun hukum.
Jika kita beralih diskusinya pada ranah hukum, selalu akan memiliki dimensi politiknya sendiri. Misalnya, jika aduan Roy Surya tidak direspons oleh kepolisian, atau paling jauh dalam proses pengadilan, Roy Suryo dikalahkan, akan kembali pada argumen kelompok oposisi: “pemerintah telah membukam suara-suara kritis” dan seterusnya. Sehingga, rumus sosial yang mengatakan: “Jika seseorang sudah menyimpan rasa benci, dia benar pun tetap salah, apalagi salah. Sebaliknya, jika seseorang sudah menyimpan rasa cinta, dia salah, tetap dibenarkan, apalagi benar”. Rumus ini biasa berlaku dalam kultur masyarakat yang tingkat rasionalitas dan kesdaran hukumnya masih relatif rendah seperti di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Narasi yang dikembangkan oleh kelompok netizen penyerang Gus Men, akan bertahan pada argumen penistaan agama dan akan menghindar dari perdebatan soal, “tasybih”, “tamtsil”, “qiyas”. Pokonya, salah ya salah. Para netizen pada umumnya tidak menyukai penjelasan yang “njlimet” apalagi mengajukan argumen fiqh dan usl Fiqh dimana rata2 para komentator di dunia Maya tidak terekam jejak keilmuannya. Konstruksi Narasi yang dibangun hanya satu: habisi! Inilah syaraf Berkelahi yang tengah kita saksikan di dunia baru, dunia tanpa batas, dunia tanpa editor, dunia tanpa otoritas.
Terhadap pertanyaan, mungkinkan Seorang Menteri Agama yang santri tulen bersengaja membandingkan suara azan dan suara anjing. Jawaban saya: TIDAK MUNGKIN. Tetapi jawaban ini akan segera diposisikan sebagai “kubu sebelah” oleh “kubu sebelah”. Kenapa demikian, karena seluruh konstruksi narasi memang didesain (setidaknya ini analisa saya), untuk menciptakan keadaan oposiosional. Memang sejak awal sudah terbangun motif dan narasi like-dislike dengan berbagai peristiwa yang mengiringinya.
Motif harmoni dalam bingkai NKRI yang tengah diperjuangkan Gus Men memang tidak mudah. Dalam diri mayoritas, masih tersimpan “kuasa mayoritas” yang dalam batas tertentu harus secara terus menerus didialogkan.
Doktrin tentang Islam sebagai rahmat semesta, dalam prakteknya masih menemui jalan terjal. Gus Men telah berani melintasi jalan terjal itu. Saya meyakini bahwa dalam diri Gus Men tersimpan energi untuk menebarkan Islam yang ramah kemanusiaan meski harus menuai badai kritik nitizen.
MONITOR, Nganjuk - Setelah mengunjungi Daerah Irigasi Siman di pagi hari, Menteri Pekerjaan Umum (PU)…
MONITOR, Jakarta - Timnas Futsal Putri Indonesia berhasil meraih kemenangan gemilang atas Myanmar dengan skor…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal memastikan berita dibukanya lowongan kerja Pendamping…
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menyambut terpilihnya calon pimpinan KPK dan…
MONITOR, Jakarta - Isu kemiskinan dan kelaparan menjadi isu yang sama-sama diserukan oleh Ketua DPR…
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo meminta Pemerintah untuk…