Sabtu, 20 April, 2024

Menanti Kontestasi Efektif Pemulihan Ekonomi

Oleh: Rayya*

Di tengah harapan besar terjadinya pemulihan ekonomi, kini babak baru pandemi muncul seiring hadirnya varian baru dari Covid-19. Kehadiran varian Omicron membawa terjadinya kembali lonjakan kasus positif Covid-19 di beberapa daerah di Indonesia. Bank Indonesia (BI) menyebut bahwa krisis ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 secara global menjadi salah satu yang terburuk dalam perkembangan ekonomi di Indonesia.

Ini karena beratnya beban negara dalam mencari solusi titik keseimbangan untuk memutus mata rantai penularan virus sekaligus menjaga proses pemulihan ekonomi. Kondisi ini membuat dua kerja besar yakni memutus rantai penyebaran virus dan menjaga ekonomi Indonesia agar tetap tumbuh. Sungguh tak dapat dimungkiri bahwa pemulihan ekonomi yang kini berlangsung setelah terkontraksi pada 2020 mendapat tantangan baru dari penyebaran varian Omicron. 

Jika melihat data perkembangan, perekonomian Indonesia 2021 telah mengalami pemulihan yang ditopang oleh stimulus kebijakan, vaksinasi, dan relaksasi restriksi mobilitas. Akan tetapi, lonjakan kasus Covid-19 akibat Varian Omicron berpotensi kembali menimbulkan adanya pemberlakuan containment measures yang dapat berimplikasi pada tertahannya konsumsi dan produksi.

- Advertisement -

Seiring berjalannya waktu, perlahan tetapi pasti resesi ekonomi yang terjadi secara global itu berangsur-angsur mulai bisa diatasi dan ditangani dengan baik.Pemulihan ekonomi berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan banyak orang. Kita melihat bagaimana pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dari raksasa ekonomi dunia, seperti Amerika Serikat yang mengalami pertumbuhan 5,7% pada 2021. Ekonomi Tiongkok tumbuh melesat hingga 8,1%, sedangkan ekonomi Jepang diperkirakan akan mencapai 1,8%-2,36% pada 2021. Adapun ekonomi dari negara-negara maju yang tergabung ke dalam kelompok Uni Eropa diramalkan akan berada di kisaran angka 5,1%-5,5%. Tanda-tanda positif dari perbaikan dan pemulihan ekonomi telah mulai terlihat kembali di Indonesia. 

Dari hasil Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini, PDB Indonesia di 2021 sudah kembali ke jalur ekspansif, yaitu mencapai 3,69%. Angka ini lebih baik jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di 2020 yang mengalami kontraksi sebesar minus 2,07%. Artinya, dalam kurun waktu setahun terakhir ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 5,62%. Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang positif itu juga dialami beberapa negara anggota ASEAN lainnya. Ekonomi Singapura tumbuh meyakinkan di 2021 sehingga melesat sampai 7,2%. 

Untuk Malaysia diperkirakan mencapai 6,7% setelah terkontraksi sebesar 5,8% di 2020. Ekonomi Filipina tumbuh sebesar 5,6%, setelah pertumbuhan negatif 9,5% di 2020. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi Vietnam yang pada 2020 mencapai 2,9%, justru mengalami penurunan menjadi 2,58% di 2021. Bahkan, ekonomi Thailand diramalkan hanya akan tumbuh sekitar 1% saja di 2021, setelah mengalami kontraksi sebesar 6,1% di 2020. Membaca data ini tentu kita harus melakukan evaluasi bersama terkait langkah kebijakan ekonomi pada fase selanjutnya.

Efektivitas Kebijakan

Keberhasilan kebijakan moneter yang bersifat ekspansif yang dilakukan semua bank sentral mengalirkan likuiditas yang melimpah ke pasar sehingga mampu mempertahankan daya beli masyarakat maupun kegiatan investasi. Begitu juga dengan kebijakan fiskal yang sangat akomodatif dan responsif mampu mendorong dunia usaha mampu mempertahankan kegiatan usahanya di tengah menurunnya permintaan. 

Pemerintah harus mampu menjaga stabilitas sistem keuangan global maupun regional sehingga mencegah terjadinya krisis ekonomi maupun likuiditas global yang pernah terjadi beberapa dekade sebelumnya, seperti yang terjadi pada krisis 1998 dan 2008. Keberhasilan pemulihan ekonomi tersebut juga tidak terlepas dengan keberhasilan pembuatan vaksin covid-19 yang diikuti dengan program vaksinasi global. 

Vaksinasi global sangat diharapkan demi menciptakan herd immunity global yang memperkuat imunitas masyarakat dan pada akhirnya menahan serangan covid-19 ke level yang parah. Pada sisi lain, program vaksinasi tersebut juga berhasil membuat keseimbangan baru dalam mengatasi krisis kesehatan sehingga mampu mendorong pemulihan ekonomi bergerak lebih cepat. 

Pemerintah harus dapat mendorong efisiensi kebijakan fiskal dalam wujud berbagai insentif pajak serta penyediaan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) selama 2020 dan 2021 yang jumlahnya mendekati Rp1.400 triliun, memberikan dampak besar terhadap penguatan sektor usaha dan penanganan krisis kesehatan. Ketiga, kebijakan mikro prudensial dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupa kebijakan restrukturisasi kredit juga mampu menyelamatkan ribuan debitur dan pelaku usaha dari ancaman kebangkrutan.. 

Sejak triwulan II 2021 membaiknya pertumbuhan ekonomi positif sudah terlihat sampai dengan triwulan IV 2021. Indikator makro dan mikro memberikan sinyal pemulihan ekonomi berada jalur cepat; pertama, data prompt manufacturing index yang dikeluarkan Bank Indonesia menunjukkan angkanya telah mencapai 50,17%. . Industri pengolahan yang mengalami kenaikan tertinggi di antaranya makanan dan minuman, tembakau, logam dasar besi dan baja, tekstil, alat angkut, serta mesin dan peralatan. Hal ini menunjukkan jika tingkat konsumsi masyarakat telah memperlihatkan peningkatan. 

Untuk menuju pemulihan ekonomi yang telah kembali pada jalur ekspansif ini harus terus dijaga momentumnya agar kita bisa menuju kebangkitan ekonomi, yaitu dengan mempertahankan pertumbuhan ekonomi minimal 5% dalam jangka panjang. Kerugian dan berbagai dampak negatif dari pandemi covid-19 terhadap sektor ekonomi yang sudah terjadi harus kita bayar kembali dengan membangkitkan ekonomi seperti keadaan sebelum pandemi terjadi..

Rasional Keuangan

Di tengah perkembangan sektor keuangan Indonesia yang terus menunjukkan laju positif, peran perbankan nasional sebagai lembaga intermediasi keuangan tak lepas dari sejumlah tantangan besar. Angka penyaluran kredit yang masih relatif rendah terhadap PDB menjadi salah satu tantangan penting yang harus dihadapi. Pada tahun 2020, penyaluran kredit terhadap PDB sebesar 36,66%, jauh lebih rendah dibandingkan kinerja penyaluran kredit perbankan di Thailand, Malaysia, dan Singapura yang masing-masing sebesar 160%, 134%, dan 133% (World Bank, 2020). 

Selain itu, tantangan lain juga datang dari tingginya biaya transaksi dan efisiensi di sektor perbankan. Hal itu terlihat dari tingginya cost of fund melalui suku bunga kredit yang rata-rata sebesar 9,7%. Meskipun suku bunga pinjaman dalam tren menurun, namun suku bunga pinjaman masih relatif tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan. Di samping itu, tantangan lainnya yang juga dihadapi oleh perbankan nasional ialah masih rendahnya tingkat literasi keuangan Indonesia yang hanya berkisar 38,03%. Demikian dengan tingkat inklusi yang masih berada pada kisaran 61,7%. Sehingga, salah satu dampak negatif dari rendahnya literasi dan inklusi keuangan tersebut adalah maraknya praktik ilegal di industri jasa keuangan yang merugikan masyarakat.

Sebagai satu sumber penyedia dana bagi perekonomian, industri jasa keuangan memegang peranan penting sebagai salah satu engine of growth. Oleh sebab itu, industri jasa keuangan harus terus berbenah, baik dalam menghadapi arus perubahan zaman maupun dalam rangka meningkatkan peran dalam perekonomian.

Urgensi penguatan kebijakan dan regulasi di industri jasa keuangan juga penting dilakukan karena pesatnya perkembangan digitalisasi yang berdampak pada industri jasa satu dekade terakhir. Pesatnya perkembangan teknologi saat ini mutlak perlu diimbangi oleh pengaturan dan kebijakan yang relevan. Jika tidak, perkembangan yang terjadi secara masif tersebut akan menimbulkan disrupsi bagi industri jasa keuangan yang akhirnya akan berdampak pada kerugian konsumen dan stabilitas sektor keuangan.

*Penulis merupakan Peneliti dan Dosen Universitas Negeri Gorontalo

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER