Jumat, 19 April, 2024

Nasib Perempuan dan Anak di Pusaran Penggusuran Wadas

Oleh: Maya Muizatil Luthfillah

Penggusuran merupakan sebuah kejadian dimana warga diusir dan lahannya dirampas secara paksa dengan dalih pembangunan. Pada umumnya, warga yang mengalami penggusuran harus bertarung melawan perusahaan besar dan pemilik modal yang menggugat hak atas lahan di meja pengadilan. Bahkan, warga seringkali bentrok dengan aparat hukum ketika perusahaan meggunakan aparat hukum negara seperti polisi dan satuan polisi pamong praja (Satpol PP) untuk menghancurkan rumah-rumah warga dan mengusir mereka dari rumahnya. Apalagi, tak jarang mereka membawa alat konstruksi berat untuk menghancurkan rumah mereka.

Seperti penggusuran yang terjadi pada Selasa (8/2) lalu tepatnya di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah Nomor 509/41/2018, desa tersebut ditetapkan sebagai lokasi penambangan batuan andesit material pembangunan proyek strategis nasional (PSN) yakni Bendungan Bener. Pertambangan tersebut juga akan menempati lahan seluas 145 hektare di Desa Wadas dengan tambahan 8,64 hektare lahan sebagai akses jalan menuju proyek.

Menanggapi hal tersebut, Pengurus Besar (PB) Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri) menyesalkan tragedi kekerasan yang terjadi oleh aparat yang seharusnya mengamankan tapi malah justru membuat keributan. Bahkan, cenderung menindak masyarakat secara represif.

- Advertisement -

Jika kita lihat, kondisi georgrafis desa tersebut memiliki luas tanah kering mencapai 381.820 hektare dan tanah sawah seluas 24.000 hektare. Desa Wadas memiliki wilayah berupa dataran perbukitan dan lembah, dengan ketinggian 213-258 mdpl. Disana masyarakat memanfaatkan tanah kering sebagai lahan perkebunan dengan hasil produksi berupa kayu dan pepohonan.

Diantara beberapa persoalan yang menjadi hal yang genting dalam penggusuran tersebut yakni perempuan yang tidak memiliki sumber daya lain untuk dapat bertahan hidup. Sehingga ketika ia kehilangan tanah, maka ia akan kehilangan tempat berlindung untuk dia merasa aman.

Bagi perempuan, hidup tanpa rumah bisa menjadi malapetaka. Ia akan merasa tidak aman ketika ia hendak mengakses kebutuhan sanitasi. Belum lagi ialah yang harus mengurus dan memastikan anggota keluarganya mendapatkan makanan untuk dapat bertahan hidup.

Terlebih saat penggusuran terjadi, tak jarang perempuan mendapatkan kekerasan verbal hingga fisik, hal ini dilakukan untuk mengintimidasi perempuan dan menimbulkan rasa takut agar perempuan goyah dan pergi meninggalkan serta menyerahkan rumahnya untuk dihancurkan. Selain itu, terhambatnya sekolah anak bisa juga karena orang tua yang juga korban penggusuran tidak dapat lagi membiayai anaknya sekolah. Hal ini jelas sangat merugikan anak dan terlanggar haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Dampak dari adanya penggusuran anak-anak yang bertahan di lahan reruntuhan dengan tenda yang tidak layak akan memperburuk keadaan anak-anak. Bukan hanya sekedar memberikan dampak psikologi bagi anak seperti kehilangan keceriaan, tetapi dapat memberikan dampak kesehatan bagi anak. Biasanya penyakit yang muncul adalah ISPA dan gangguan pencernaan. Akumulasi dari dampak penggusuran ini terhadap anak-anak sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, ini yang sering luput dari perhatian pemerintah ketika melakukan penggusuran.

Bila tidak diatasi, dampak psikologi ini bisa bertambah parah atau akan terus ada pada anak-anak hingga dewasa nanti. Ini seperti bom waktu yang akan membentuk karakter dan kepribadian yang kurang baik bagi anak-anak. Biasanya penanganan terhadap korban penggusuran salah satu fokusnya adalah memastikan kondisi anak menjadi tidak lebih buruk saat digusur seperti diprioritaskan untuk mendapat shelter/penampungan sementara yang baik. Anak-anak juga mendapat pendidikan sementara dan permainan-permainan dengan difasilitasi oleh pendamping untuk mengurangi dampak stress dan trauma healing, disamping pemberdayaan lainnya.

Korban penggusuran yang rentan selain anak-anak adalah perempuan khususnya kaum ibu. Perempuan seringkali menanggung beban dan dampak yang paling berat dalam menghadapi penggusuran paksa. Hal ini terkait dengan peran, sumbangan dan komitmen perempuan terhadap keberlangsungan hidup keluarganya. Perempuan menjadi rentan karena ketika penggusuran seringkali menggunakan kekerasan dan upaya paksa sehingga perempuan sering menjadi korban. Tak jarang juga ketika terjadi penggusuran kaum ibu melakukan aksi menghadang petugas penggusuran dan terjadi bentrok. Saat penggusuran pun biasanya kaum ibu harus menjaga barang-barang miliknya beserta anak-anaknya disaat yang sama kaum laki-laki sibuk menghadang petugas penggusuran atau membereskan barang-barang.

Tentunya, pembangunan akan selalu membutuhkan buruh murah untuk menopang kehidupan kelas menengah. Namun sayangnya, kondisi buruh murah sengaja dipelihara. Selain itu juga, kenyataannya daerah-daerah yang dikatakan kumuh memiliki sejarah yang panjang bahkan daerah ini sudah ada sejak zaman penjajahan.

Jika memang benar penggusuran ini untuk membangun Bendungan Bener untuk keperluan masyarakat, kenapa kita tidak mulai dengan memastikan kesehatan dan lingkungan tempat ia tinggal itu bebas penyakit dan aman untuk keluarga? Apakah bisa dipastikan tidak ada pergerakan secara represif yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun aparat kepolisian dalam menjaga keamanan disana?

Bagi kami, isu penggusuran bukan hanya sekedar membangun Bendungan semata. Penggusuran adalah isu perempuan yang melanggar hak asasi manusia terutama perempuan untuk hidup layak, aman dan nyaman, dan tidak dengan penggusuran.

*Penulis Adalah Ketua Pengurus Besar (PB) Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri)

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER