MONITOR, Jakarta – Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura memiliki masa retroaktif selama 18 tahun. Perjanjian ini sangat penting, mengingat dapat mencegah, memberantas, dan mempersempit ruang gerak pelarian pelaku tindak pidana yang bersifat lintas batas negara, seperti korupsi, narkotika, pencucian uang, dan terorisme.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly, menyatakan perjanjian ekstradisi dapat menjadikan ruang gerak para koruptor, bandar narkoba, hingga donatur terorisme sempit. Sebab mereka tidak dapat lagi bersembunyi ke Singapura.
“Saya yakin Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura,” ucap Yasonna Laoly dalam keterangannya, belum lama ini.
Ia berharap perjanjian tersebut dapat menjadi awal yang baik untuk penegakan hukum di negeri ini.
“Semoga langkah ini menjadi catatan sejarah yang baik baik penegakan hukum di Indonesia,” imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia-Singapura ini sudah mulai diupayakan pemerintah Indonesia sejak tahun 1998. Terbaru, penandatanganan dilakukan di Bintan, Kepulauan Riau, 25 Januari 2022, dan disaksikan Presiden Joko Widodo serta Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.