Jumat, 22 November, 2024

Soroti Kasus Asabri, Guru Besar Unpad: Kok Bisa Masuk Audit BPK?

MONITOR, Jakarta – Kontroversi kasus PT Asabri masih berlangsung. Kali ini peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam mengaudit keuangan dalam kasus ini disorot.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Prof I Gde Pantja Astawa, mempertanyakan keterlibatan BPK yang melakukan audit sehingga menyimpulkan kerugian keuangan negara Rp 22,78 triliun. Menurutnya, hal itu tidak tepat karena kasus Asabri bukanlah persoalan kerugian keuangan negara.

“Dari sisi mana dikatakan sebagai keuangan negara. Atas dasar apa BPK masuk mengaudit, kalau dana Asabri ini berasal dari iuran anggota TNI-Polri? Apa tepat yang diperiksa BPK itu keuangan negara?” tanya Prof Gde saat dihubungi wartawan.

Ia menjelaskan, bahwa bentuk hukum dari Asabri ini adalah sebagai sebuah perseroan terbatas (PT), sehingga tunduk pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dalam pengelolaannya memiliki Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) tersendiri.

- Advertisement -

Dikatakannnya, sebagai sebuah PT, ada prinsip-prinsip yang berlaku di dalam pengelolaan keuangan Asabri. Bila core atau inti bisnisnya adalah bermain dalam saham yang fluktuatif, tentu saja itu merupakan kebijakan perusahaan dan tidak terkait pada kerugian keuangan negara.

Menurutnya, saham ataupun reksadana yang fluktuatif, itu belum dapat dipastikan nilainya karena terus bergerak naik dan turun. Hal ini tentu saja bertentangan dengan pengertian kerugian keuangan negara, yakni kekurangan uang, barang dan surat berharga yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.

“Namanya saham ini kan fluktuatif, bagaimana kita bisa memastikan itu kerugian keuangan negara? Ini satu hal yang ganjil menurut saya,” ujar Prof Gde.

Selanjutnya, Prof Gde menegaskan, bahwa BPK tidak boleh secara sepihak melakukan audit. Orang atau pihak yang diaudit, haruslah dimintai konfirmasi bila terjadi dugaan penyimpangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

“Itu prinsip lho! Kalau berkenaan dengan keuangan negara. Tapi, ini kan gak ada urusannya dengan keuangan negara. Saya menilai ngawur ini BPK, kalau yang diaudit itu berkenaan dengan jual beli saham dan reksadana,” ucapnya.

Kemudian, Prof Gde menjelaskan bahwa PT Asabri ini selain berada di bawah UU PT, juga tunduk pada UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang bila terdapat sebuah kasus, maka ada penyelesaiannya tersendiri.

“Apa urusannya dengan korupsi gitu lho? Pasar modal itu ada penyelesaiannya tersendiri, meskipun dalam UU Pasar Modal ada klausul pidana, tapi larinya bukan ke korupsi. Kita harus objektif melihat ini,” kata Gde.

“Jadi ini sesuatu yang debatable audit BPK ini, apalagi sudah dipublikasi dan menjadi kontroversial ini,” imbuhnya.

Ditanya dampak yang terjadi bila di kemudian hari audit BPK ini terbukti tidak benar dan Terdakwa Kasus Asabri, Heru Hidayat sudah terlanjur divonis mati?

Dijawab Prof Gde, ia melihatnya sebagai sebuah penegakan hukum yang kejam.

“Itulah bahayanya hukuman mati, hati-hati! Bahwa di kemudian hari orang ini ternyata terbukti tidak bersalah, tapi orang terlanjur mati. Ini suatu penegakan hukum yang kejam betul, zalim namanya,” tegasnya.

Namun demikian lanjutnya, yang terpenting menurut Gde dalam kasus Asabri ini, bila merujuk pada UU PT dan Pasar Modal, adalah pemulihan. Ia pun mempertanyakan orientasi penegakan hukum di Indonesia, yang menurutnya masih sebatas menindak saja, namun lemah dalam upaya recovery.

“Ini yang lebih penting gitu lho! Bagaimana kalau memang betul terjadi kerugian keuangan negara, yang penting itu recovery dan pengembalian yang utuh. Sehingga para nasabah di PT Asabri ini tidak merasa dikorbankan,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER