ENERGI

Kebutuhan Biofuel Tak Bisa Hanya Bergantung dari Minyak Kelapa Sawit

MONITOR, Jakarta – Usaha pemerintah dalam mewujudkan pengembangan energi bersih salah satunya dilakukan dengan mengembangkan kerangka kebijakan biofuel di Indonesia. Namun, saat ini pengembangan biofuel masih dominan berfokus pada biofuel berbahan dasar minyak kelapa sawit. Menjadikan komoditas ini sebagai sumber utama pengembangan biofuel patut juga mempertimbangkan efektivitasnya dan relevansinya dalam mendukung upaya diversifikasi energi.

Untuk itu, Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) berkolaborasi dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) telah merilis podcast dengan judul Bicara Kebijakan Biofuel di Indonesia pada tanggal 4 Juli 2021. Podcast tersebut dipandu oleh Melina Gabriella (host podcast IESR Bicara Energi), dan dihadiri oleh dua narasumber, yaitu Julius Christian (Peneliti Bahan Bakar Bersih, IESR) dan Bisuk Abraham Sisungkunon (Peneliti Ekonomi Lingkungan, LPEM FEB UI).

Pemerintah telah menyatakan secara eksplisit bahwa mereka masih melihat kelapa sawit sebagai bahan baku utama biodiesel. Hal ini didukung dengan kebijakan biaya subsidi untuk pengadaan biofuel atau biodiesel juga berasal dari pungutan ekspor minyak kelapa sawit yang dipungut oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), di mana biaya subsidi yang datang dari pungutan ekspor tersebut peruntukanya sebagian besar untuk mensubsidi harga biodiesel yang adalah bagian dari biofuel.

Namun terdapat beberapa aspek kebijakan yang masih dapat disempurnakan dalam kebijakan biofuel yang saat ini berfokus pada kelapa sawit. Bisuk merasa perlu adanya perhitungan proyeksi kebutuhan biofuel di masa yang akan datang. ”Saya belum melihat fokus yang jelas terkait bauran energi seperti apa sih yang diharapkan oleh pemerintah, kira-kira sumber energi apa yang ingin dikedepankan oleh pemerintah,” ujar Bisuk. Dalam beberapa studi yang ditulis baik oleh IESR maupun LPEM FEB UI, bauran energi menjadi salah satu aspek yang penting dalam menyusun kerangka kebijakan biofuel. Maka dari itu, kedua narasumber menyatakan bahwa pengembangan sumber daya biofuel juga harus disertai dengan upaya diversifikasi sumber energinya.

Perhitungan proyeksi juga penting diutamakan karena adanya kebutuhan harmonisasi kebijakan energi seiring dengan hadirnya mobil listrik di Indonesia, yang dapat mengurangi permintaan bahan bakar minyak terutama bensin. “Kita butuh harmonisasi, berapa proyeksi yang kita harapkan akan memunculkan EV (mobil listrik), berapa akan memunculkan biodiesel, Kenapa saya katakan harus ada harmonisasi? Karena pemerintah juga sudah mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk investasi di biodiesel ini. Kita gamau juga semua dukungan pemerintah terhadap industri biodiesel yang sudah dikeluarkan dari 2015 ini, gone, kan gak mungkin kita mau seperti itu hanya gara-gara misalkan ada EV,” tambah Bisuk.

Di lain pihak, Julius menambahkan bahwa usaha harmonisasi tersebut telah dilakukan pemerintah. “Terkait perencanaan berapa banyak kendaraan listrik dan biodiesel, itu sebenarnya sudah diusahakan sama pemerintah, kemarin ada Grand Strategy Energi Nasional yang masih draft tapi sudah direncanakan, mereka mencoba membuat bagaimana plotnya supaya Indonesia tidak mengimpor BBM lagi, dan disitu ada bagiannya untuk kendaraan listrik dan biodiesel,” ujar Julius. Julius mengingatkan bahwa perencanaan mobil listrik perlu terus didorong mengingat potensi dampak positifnya yang lebih baik secara jangka panjang, serta dipertimbangkan juga dampaknya pada permintaan biofuel.

“Kendaraan listrik memiliki keunggulan dibanding bahan bakar nabati dalam efisiensi energi dan pengurangan polusi udara. Selain itu, rencana pemerintah menghentikan pembangunan PLTU juga akan membuat pengurangan emisi GRK dari kendaraan listrik menjadi lebih signifikan. Bahkan secara ekonomis, kendaraan listrik semakin bersaing di banyak negara, termasuk dalam segmen kendaraan berat terutama bus kota. Dengan potensi penurunan permintaan bahan bakar di masa depan, pengembangan industri BBN yang terlalu dipaksakan berpotensi menyebabkan stranded asset (aset terdampar,” tandas Julius.

Secara umum, proyeksi kebutuhan biofuel, terutama jika hanya dari kelapa sawit yang selama ini jadi komoditas utama Indonesia semata, tidak dapat menjamin kecukupan energi di Indonesia. Perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai sumber energi alternatif yang ideal sebagai upaya diversifikasi bauran energi. Diversifikasi sumber energi ini penting untuk menekan kemungkinan fluktuasi harga yang disebabkan oleh kemungkinan tidak seimbangnya permintaan dan supply sawit tersebut di masa mendatang.

Kedua narasumber setuju bahwa alternatif dari biofuel yang paling mungkin dikembangkan adalah minyak jelantah melihat sudah banyak teknologi yang dikembangkan untuk mengubah minyak jelantah menjadi sumber energi alternatif.

”Salah satu yang paling memungkinkan ya, minyak jelantah. Itu sudah tersedia banyak, tinggal dikumpulkan, dan potensinya cukup banyak, dan juga membantu meminimalisir peredaran minyak jelantah yang ilegal,” ungkap Julius.

Bisuk menambahkan, “Kemungkinan yang paling memungkinkan ya, minyak jelantah itu. Teknologi udah lumayan banyak berkembang mulai dari teknologi ‘tingkat kasar’ sampai teknologi yang cukup advance. Saya juga pernah ketemu di Kalimantan Tengah dulu ada wirausaha lokal, dia bikin minyak diesel dari minyak bekas indomie, kecap, minyak goreng dan lain-lain yang kadaluarsa, murni (dengan cara) tradisional. Jadi sebetulnya, teknologinya (sudah) cukup berkembang. Saya gak bisa bilang dalam hal substitute, tapi menurut saya kalo kita mau mencari alternatif nampaknya kemungkinan besar dalam jangka menengah itu ada di minyak jelantah.”.

Sedangkan untuk alternatif sumber biofuel dari tanaman lain, terdapat kendala besar yang tidak bisa dianggap remeh. Kendala tersebut adalah belum terindustrialisasinya tanaman alternatif lain yang setara industri kelapa sawit.

“Dari pemerintah juga sudah melakukan cukup banyak riset tentang tanaman apa saja yang bisa dipakai untuk menggantikan Tapi macam-macam tanaman itu kan belum di-industrialisasi seperti sawit, ya. Nah, itu kendala terberatnya. Bagaimana membuat tanaman yang belum menjadi industri besar seperti sawit, menjadi besar. Karena ketika kita ngomongin industri biofuel kan, butuh supply yang konstan dan jumlahnya bisa diperkirakan,” ujar Julius

Pemerintah perlu memberi dukungan lebih untuk pengembangan sumber tanaman alternatif. Hal ini akan memberikan manfaat berupa ketahanan sumber bahan baku biofuel yang lebih tinggi, tidak bergantung pada harga komoditas sawit, dan dampak tidak langsung seperti diversifikasi perkebunan yang bisa memberikan aspek keberlanjutan yang lebih baik bagi lingkungan (tidak ada monokultur).

Recent Posts

Tanggapi Usulan KPU dan Bawaslu Jadi Ad Hoc, DPR: Evaluasi Harus

MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menanggapi adanya usulan…

3 jam yang lalu

Gelar Rakor di Jeddah, Menag: Persiapkan Pelaksanaan Haji 2025

MONITOR, Jakarta - Menag Nasaruddin Umar hari ini, Minggu (24/11/2024), menggelar Rapat Koordinasi di Kantor…

5 jam yang lalu

Live Streaming Ipswich Town vs Manchester United, Sekarang!

MONITOR, Jakarta - Berikut jadwal sepakbola malam ini menyajikan laga menarik antara Ipswich Town bertemu…

13 jam yang lalu

KPK dan Kementerian Imipas Gelar Audiensi Pemberantasan Korupsi

MONITOR, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menjalin sinergi lintas sektor guna meningkatkan efektivitas…

16 jam yang lalu

Hadirkan Ajang Karbon Netral, Pelari Apresiasi Pertamina Eco RunFest 2024

MONITOR, Jakarta - Pertamina Eco RunFest 2024 yang berlangsung di Istora Senayan Jakarta pada Minggu…

18 jam yang lalu

Kemenag Beri Hadiah Total Rp125 Juta untuk Juara MTQ Internasional

MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) memberi penghargaan kepada lima qari, qariah, dan hafiz yang…

20 jam yang lalu