MONITOR, Jakarta – Anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf bersikeras mempertahankan nomenklatur “Larangan Minuman Beralkohol” dalam draf RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol).
Pandangan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) membahas RUU Minol di Badan Legislasi DPR RI, Rabu (14/7/2021).
“Kami berpendapat, judul tetap dengan nomenklatur Larangan Minuman Beralkohol. Meskipun demikian, produk hukum ini tidak akan kaku terhadap unsur yang sifatnya budaya maupun ritus keagamaan. RUU Larangan Minol akan memperhatikan aspek sensitif secara cermat dan bijaksana,” terangnya.
Ketua DPP PKS ini mengungkapkan kendati pengendalian telah dilakukan melalui sejumlah regulasi dan aksi, namun dalam realitasnya peredaran minuman beralkohol di lapangan relatif bebas sehingga menimbulkan ekses negatif di masyarakat. Di sisi lain, Indonesia juga belum memiliki regulasi spesifik yang mengatur soal larangan minuman beralkohol.
“Jika dengan regulasi pengaturan minol eksisting pemerintah justru belum bisa meredam ekses dari minuman beralkohol, tetapi sebaliknya diatribusi dengan RUU yang cenderung bebas, maka sudah seharusnya kita menggunakan regulasi yang lebih ketat, yaitu larangan dengan tetap mengecualikan hal-hal yang sepatutnya dikecualikan,” tegasnya.
Dari sisi ekonomi, demikian politisi dapil Jateng 1 ini melanjutkan, biaya sosial yang menjadi beban pemerintah dalam menangani korban akibat dampak minol jauh lebih besar bila dibandingkan dengan penerimaan cukai dari minol, imbuhnya.
Pandangan Bukhori senada dengan studi yang dilakukan oleh Montarat Thavorncharoensap pada 2009 menyebutkan beban ekonomi dari minuman beralkohol adalah 0,45 persen hingga 5,44 persen dari PDB.
Jika menerapkan angka yang dipakai Amerika Serikat yakni 1,66 persen, sementara PDB Indonesia pada 2020 adalah Rp 15.434 Triliun, maka dengan mengalikan PDB Indonesia dengan 1,66 persen akan didapat beban ekonominya sebesar Rp 256 Triliun.
Sementara, jika angka terendah yang dipakai adalah 0,45%, maka beban ekonominya senilai Rp 69 Triliun. Ironisnya, angka terendah ini tetap lebih tinggi dibandingkan penerimaan negara dari cukai minol yang hanya Rp7,14 Triliun.