Jumat, 26 April, 2024

Sanksi Kerumunan untuk Siapa?

Oleh: Muh Fitrah Yunus*

Semula saya membayangkan bahwa kerumunan yang terjadi saat Presiden Jokowi berkunjung ke Kalimantan Selatan yang dihiasi membagikan kotak berisi nasi adalah kerumunan pertama dan terakhir terjadi yang disebabkan oleh kehadiran pejabat nomor wahid negara ini.

Betapa tidak, saya saat itu mengambil kesimpulan bahwa kerumunan di Kalimantan Selatan terjadi secara spontan. Tanpa perhitungan yang matang mengakibatkan antusiasme masyarakat untuk bertemu presiden tak terelakkan. Sehingga semestinya ada evaluasi yang baik dan komprehensif atas kejadian tersebut agar tidak terjadi lagi di kunjungan-kunjungan Presiden Jokowi setelahnya.

Sayangnya, kesimpulan itu mungkin salah. Mungkin saja evaluasi itu sudah dilakukan, tapi karena dengan gencarnya vaksinasi, sehingga protokol kesehatan bagi para protokoler pemerintah, utamanya protokoler presiden yang ditugaskan saat kunjungan presiden ke daerah-daerah, sudah menganggap bahwa vaksinasi adalah senjata ampuh, dan Covid-19 sudah kalah.

- Advertisement -

Terulang

Kerumunan yang terjadi di Kalimantan Selatan yang disebabkan kehadiran Presiden Jokowi terulang kembali di Maumere, Nusa Tenggara Timur. Tidak tanggung-tanggung, ribuan masyarakat berkumpul menunggu kedatangan Presiden Jokowi yang akan meresmikan Bendungan Napun Gete di Kabupaten Sikka.

Hingga saat ini, kerumunan di Maumere melahirkan banyak perdebatan apakah Presiden Jokowi dalam hal ini bersalah dan melanggar protokol kesehatan yang dibuat dan dianjurkannya sendiri sebagai pejabat nomor wahid negara.

Banyak yang membandingkan kerumunan yang terjadi saat pernikahan anak Habib Rizieq Shihab dengan kerumunan yang terjadi karena kedatangan presiden di Kalimatan Selatan maupun di Maumere. Menurut mereka, keduanya mirip dan sama-sama melanggar protokol kesehatan. Bahkan, presiden adalah pejabat negara yang seharusnya memberikan teladan yang baik atas pentingnya protokol kesehatan, karena aturan dan himbauan menjaga protokol kesehatan juga lahir dari pemerintah sendiri.

Dicky Budiman, Epidimolog Griffith University, salah satu pakar yang menyayangkan kerumunan itu terjadi. Menurutnya, Presiden Jokowi harus memberikan contoh pentingnya protokol kesehatan Covid-19 5M (Kompas.com 25/02/2021)

Dicky juga mengingatkan bahwa keteladanan itu dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk pejabat publik. Bahkan, pejabat publiklah yang menjadi garda terdepan memberikan contoh yang baik kepada masyarakat agar masyarakat juga tak abai atas peraturan protokol kesehatan yang telah dibuat.

Untuk Siapa?

Dengan itu, publik bertanya, sebenarnya aturan dan sanksi protokol kesehatan itu untuk siapa? Jika memang hanya diperuntukkan bagi masyarakat kecil, maka semestinya peraturan itu dipertegas saja, bahwa hanya untuk rakyat kecil.

Jika aturan protokol kesehatan dan sanksi yang tertuang dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan itu dibuat untuk semua, bahkan bagi pejabat pemerintah bisa disanksi lebih berat jika melanggar, maka mari mengindahkan aturan dan sanksi tersebut bersama-sama. Penegakan sanksinya pun harus adil.

Selaku pemerintah, sudah tentu memiliki instrumen yang baik dan lengkap untuk mengantisipasi terjadinya kerumunan massa. Kunjungan-kunjungan presiden ke daerah-daerah harusnya sudah memiliki SOP maupun prosedur tetap (protap) terkait protokol kesehatan.

Biasanya, presiden sudah memberitahukan terkait kerumunan yang bisa saja terjadi, namun protokoler presiden di daerah tujuan bisa saja lupa, bahkan abai dengan himbauan itu. Jika instrumen protokoler sudah baik dan lengkap, maka kerumunan yang terjadi dengan segala sebab akan dapat diatasi juga dengan baik.

Evaluasi

Meski sudah terjadi yang kedua kali, evaluasi menyeluruh atas protokoler presiden harus dilakukan. Dari segala pengalaman yang dihadapi, yang menyebabkan terjadinya kerumunan, protokoler presiden di setiap kunjungan Presiden Jokowi sudah dapat mengantisipasi dengan baik titik-titik mana saja potensi terjadinya kerumunan. Jika potensinya ada di dekat bendungan, maka seminggu sebelumnya, yang bertugas sebagai protokoler sudah memberikan himbauan kepada masyarakat agar tidak membuat kerumunan. Bahkan, pada saat hari kunjungan dapat  dijaga ketat oleh aparat.

Edukasi dan sosialisasi secara terus menerus juga harus dilakukan, dan hal ini adalah tugas pemerintah, khususnya Gugus Tugas Covid-19. Jika seorang dr. Tirta mengatakan bahwa di luar pulau Jawa edukasi dan sosialisasi protokol kesehatan itu masih sangat kurang, maka hal itu harus menjadi perhatian serius pemerintah. Jangan hal itu hanya terlontar dalam sebuah perdebatan apakah kerumunan yang disebabkan kehadiran presiden salah atau tidak salah. Sementara, edukasi dan sosialisasinya tetap berjalan lambat.

Semoga tak terjadi lagi lah!

*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Trilogia Institute

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER