Jumat, 26 April, 2024

Sekjen PDIP Tanggapi ‘Curhat’ SBY ke Marzuki Alie Soal Megawati

“Dalam politik kami diajarkan moralitas politik yaitu satunya kata dan perbuatan“

MONITOR, Jakarta – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (Sekjen PDIP), Hasto Kristiyanto, turut menanggapi ‘curhat’ Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada mantan Sekjen Partai Demokrat Marzuki Alie terkait Presiden RI ke-5 yang juga Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Hasto pun mengambil semboyan bahasa Sansekerta ‘Satyameva Jayate’ yang bermakna ‘Hanya Kebenaran Yang Berjaya’ saat menanggapi hal tersebut.

Hasto menjelaskan, kebijaksanaan itu mungkin sama dengan kebijaksanaan masyarakat Indonesia yang selalu percaya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa dengan pernyataan seperti ‘Tangan Tuhan Bekerja’ bahkan lewat cara yang kadang tak disangka manusia itu sendiri. 

Hasto mengungkapkan, mungkin itu pula yang kini dirasakan masyarakat Indonesia ketika seorang Marzuki Alie menyampaikan kisah pengakuan SBY yang telah membuat Megawati Soekarnoputri ‘dua kali kecolongan’, yakni pada 2004, ketika maju sebagai calon presiden.

- Advertisement -

Padahal, menurut Hasto, pada 2004 itu publik masih segar mengingat bahwa SBY yang bertindak seakan-akan sebagai sosok yang dizalimi.

“Dalam politik kami diajarkan moralitas politik yaitu satunya kata dan perbuatan. Apa yang disampaikan oleh Marzuki Alie tersebut menjadi bukti bagaimana hukum moralitas sederhana dalam politik itu tidak terpenuhi dalam sosok Pak SBY. Terbukti bahwa sejak awal Pak SBY memang memiliki desain pencitraan tersendiri termasuk istilah ‘kecolongan dua kali’ sebagai cermin moralitas ersebut. Jadi kini rakyat bisa menilai bahwa apa yang dulu dituduhkan oleh Pak SBY telah dizolimi oleh Bu Mega, ternyata kebenaran sejarah membuktikan bahwa Pak SBY menzolimi dirinya sendiri demi politik pencitraan,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (17/2/2021).

Hasto pun jadi teringat sebuah kisah yang disampaikan oleh Almarhum Cornelis Lay, yakni sebelum SBY ditetapkan sebagai Menko Polhukam di Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, saat itu ada elite partai yang memertanyakan keterkaitan SBY sebagai menantu Letjen TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo yang dipersepsikan berbeda dengan Presiden RI Pertama Soekarno atau Bung Karno dan juga terkait dengan serangan ke Kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 silam.

Namun, Hasto mengatakan, sikap Megawati yang lebih mengedepankan rekonsiliasi nasional dan semangat persatuan menyampaikan bahwa ia mengangkat SBY sebagai Menko Polhukam bukan karena menantu Sarwo Edhie Wibowo, tapi karena SBY adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI).

“Ada ‘Indonesia’ dalam TNI sehingga saya tidak melihat dia (SBY) menantu siapa. Kapan bangsa Indonesia ini maju kalau hanya melihat masa lalu? Mari kita melihat ke depan. Karena itulah menghujat Pak Harto pun saya larang. Saya tidak ingin bangsa Indonesia punya sejarah kelam, memuja Presiden ketika berkuasa, dan menghujatnya ketika tidak berkuasa,” katanya mengutip pernyataan Megawati.

“Begitu kata Ibu Megawati penuh sikap kenegarawanan sebagaimana disampaikan Prof Cornelis kepada saya,” ujar Hasto melanjutkan.

Jadi, Hasto menilai, apa yang disampaikan Marzuki Alie itu bagian dari dialektika bagi kebenaran sejarah itu. 

“Dengan pernyataan Pak Marzuki itu, saya juga menjadi paham, mengapa Blok Cepu yang merupakan wilayah kerja Pertamina, paska Pilpres 2004, lalu diberikan kepada Exxon Mobil. Nah kalau terhadap hal ini, rakyat dan bangsa Indonesia yang kecolongan,” ungkapnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER