MONITOR, Jakarta – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menganalogikan partai politik (parpol) dalam sistem demokrasi itu seperti sebuah warung makan. Jika masakannya enak, maka akan dinikmati orang, warung tersebut akan terus berjalan. Sebaliknya, jika tidak enak maka akan bangkrut dan bubar, orang tidak ada satu yang mampir untuk makan.
“Jadi saya menganalogikan parpol di dalam sistem demokrasi itu seperti sebuah warung. Kalau masakannya enak dan dinikmati orang, terus berjalan,” kata Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia saat menjadi narasumber dalam webinar ‘Partai Politik dan Tantangan Demokrasi Terkini yang diselenggarakan Moya Institute, Kamis (11/2/2021).
Nah, untuk menghasilkan produk terbaik, menurutnya parpol harus memiliki pemikiran dan cita-cita besar. Masalahnya, ide besar bisa saja kalah dengan ide kecil yang dimarketkan dengan keuangan besar.
“Parpol sekarang citranya jelek, dulu dibentuk melawan penjajah, sekarang dianggap mesin uang, mesin kekuasaan,” katanya.
Meski begitu, dia mengungkapkan Partai Gelora siap menjadi wadah untuk menampung beragam aspirasi dan ide-ide besar untuk kemajuan bangsa. Terlebih, Partai Gelora menurutnya adalah jawaban dari tantangan zaman itu sendiri.
Fahri menyampaikan, ada 3 cara untuk menjaga demokrasi di Indonesia. Pertama, berkomitmen pada narasi demokrasi. Kedua, penguatan institusi yang terus menerus dan; ketiga, Leadership.
“Parpol sebagai salah satu pilar penting dalam demokrasi justru saat ini mendapat tantangan berat khusunya di kalangan generasi muda yang tidak tertarik terhadap partai politik. Padahal jumlah komposisi pemilih muda khususnya kamum milenial di 2024 sudah dominan,” ujarnya.
Diplomat senior Prof. Imron Cotan yang hadir dalam diskusi tersebut, mengaku optimistis parpol baru akan memberikan harapan baru untuk demokrasi dan kebangsaan Indonesia. Syaratnya, parpol baru nanti harus memiliki gagasan baru.
“Partai baru membawa harapan baru dengan gagasan baru untuk semangat zaman menuju cita-cita nasional,” ujar Imron .
Mengenai parpol baru, Imron teringat dengan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), dia tertarik dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Gelora, Mahfuz Sidik tentang kombinasi perjuangan kebangsaan dengan keumatan.
“Kebangsaan dan keumatan itu sama, karena mayoritas kita Islam. Jadi aspirasi kebangsaan dan keumatan itu tidak saling berkontradiksi,” sebutnya.
Sementara itu, politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Faldo Maldini mengatakan tantangan parpol saat ini adalah bagaimana memiliki produk yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat. Dia membayangkan, jika parpol itu sebuah angkutan aplikasi, yang langsung bisa membantu rakyat.
“Jadi Pemilu itu hanya bazarnya lah, intinya bagaimana bisa menjelaskan problem masyarakat yang ingin diselesaikan oleh produk parpol,” pungkasnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia Djayadi Hanan menyatakan, bahwa data BPS 2020 menunjukkan bahwa usia pemilih muda adalah yang dominan dan kecenderungan yang kuat sebagai pengguna internet dan sosial media.
“Sekarang banyak anak muda yang ingin berbuat baik, menjadi relawan, ingin menciptakan perubahan. Mereka sukses walau tak pernah ikut organisasi. Tapi mereka masih menjaga jarak dengan parpol,” papar Djayadi Hanan.