MONITOR, Jakarta – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan pembangkit listrik chevron seharusnya dikembalikan ke negara. Ya, itu harusnya dilakukan seiring akan diambil alihnya operasi Wilayah Kerja (WK) Blok Rokan mulai 9 Agustus 2021 PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Hulu Rokan (PHR).
“Pengembalian WK Blok Rokan itu ternyata tidak secara menyeluruh, ada beberapa teknologi dan asset yang tidak sepenuhnya dikembalikan kepada bangsa ini, di antaranya teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Pembangkit Listrik. Chevron Pasifik Indonesia (CPI) masih belum bersedia memberikan satu formula dari empat formula EOR, yang selama ini digunakan dalam eksplorasi dan ekspoitasi minyak di Blok Rokan,” kata Fahmy melalui keterangan tertulis yang diterima MONITOR di Jakarta, Senin (8/2).
Menurutnya, pembangkit listrik Cogen yang kini dikelola oleh PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN), yang merupakan anak perusahaan CPI. Pembangkit Cogen memasok keperluan listrik dan uap di WK Rokan dengan kapasitas listrik 300 MW dan uap 3.140 MMBTU. PT MCTN, yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh Chevron Standar Limited (CSL), berkontrak dengan CPI untuk menyediakan listrik dan uap dengan mengoperasikan PLTG Cogen.
“Kontrak itu akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya kontrak CPI di Blok Rokan. Semua komponen biaya investasi dan biaya operasi PLTGU Cogen dibayar oleh CPI melalui pembayaran bulanan selama masa kontrak. Namun, Pemerintah telah mengganti biaya investasi pembangunan Aset Cogen, biaya operasi dan pemeliharaan, dan nilai finansial dari pemegang saham selama masa kontrak yang diperhitungkan dalam skema Cost of Recovery (CoR),” imbuhnya.
“Dengan habisnya masa kontrak CPI di WK Rokan, PLTGU Cogen seharusnya dikembalikan kepada negara. Alasannya, biaya pembangunan (investment expenditures) dan biaya operasional (operational expenditures) pembangkit itu sudah sepenuhnya diganti oleh negara kepada CPI. Regime contract yang digunakan CPI di WK Rokan adalah CoR, negara melalui APBN mengganti semua biaya investasi dan biaya operasional dalam pengelolaan Blok Rokan, termasuk pembangunan dan pengoperasian PLTGU Cogen,” tambah Fahmy.
Lebih-lebih lanjut Fahmy, pembangkit listrik itu sudah dioperasikan selama 20 tahun, yang menurut perhitungan nilai buku sudah habis atau tinggal nilai residu. Tidak ada alasan bagi PT MCTN untuk tidak mengembalikan PLTGU Cogen kepada negara, lalu negara menyerahkan pengelolaan berikutnya kepada PLN. Apalagi PLN juga sudah berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan listrik di WK Blok Rokan. Bahkan PLN sudah menandatangani Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dan Uap (SPJBTLU) dengan PT PHR.
“Kalau bersikeras tidak mengembalikan PLTGU Cogen kepada negara, PT MCTN tidak dapat menjual listriknya lantaran kebutuhan listrik Blok Rokan ke depan dipasok oleh PLN. PT MCTN juga tidak dapat menjual listrik, baik kepada konsumen industri maupun pelanggan rumah tangga. Dengan demikian, PLTGU Cogen, yang tidak dikembalikan kepada negara, berpotensi menjadi barang rongsokan,” tutup Fahmy.
MONITOR, Nganjuk - Setelah mengunjungi Daerah Irigasi Siman di pagi hari, Menteri Pekerjaan Umum (PU)…
MONITOR, Jakarta - Timnas Futsal Putri Indonesia berhasil meraih kemenangan gemilang atas Myanmar dengan skor…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal memastikan berita dibukanya lowongan kerja Pendamping…
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menyambut terpilihnya calon pimpinan KPK dan…
MONITOR, Jakarta - Isu kemiskinan dan kelaparan menjadi isu yang sama-sama diserukan oleh Ketua DPR…
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo meminta Pemerintah untuk…