MONITOR, JAKARTA – Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencium ada kepentingan-kepentingan tertentu di balik rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dugaan itu semakin menguat lantaran agenda revisi dilakukan secara diam-diam tanpa melalui proses legislasi yang baik dan benar.
Peneliti Formappi, Lucius Karus, mengungkapkan bahwa agenda revisi UU yang dilakukan secara terselubung itu menjadi modus utama pembahasan legislasi yang kontroversial belakangan ini.
“Saya melihat, agenda revisi UU BPK secara diam-diam ini lebih condong untuk mengamankan kepentingan elite semata, sementara kepentingan rakyat justru dipinggirkan,” ungkapnya di Jakarta, Jumat (20/11/2020).
Berdasarkan informasi yang beredar, Lucius menyampaikan, Ketua BPK Agung Firman Sampurna dan Wakil Ketua Agus Joko Pramono menjadi inisiator revisi UU BPK itu. Bahkan, menurut Lucius, keduanya sudah bertemu Badan Legislasi (Baleg) DPR di Hotel Mulia Jakarta agar memasukkan agenda revisi UU BPK ke dalam agenda Baleg DPR.
Adapun empat poin usulan revisi yakni batas usia menjadi anggota BPK ditulis 70 tahun, periodisasi dua kali seperti tertuang dalam UU BPK dihilangkan, anggota BPK dipilih secara collective collegial dan BPK boleh mengelola anggaran sendiri.
Lucius menilai, usulan revisi UU BPK ini akan semakin merusak citra DPR karena DPR akan dianggap konsisten membentuk UU kontroversial yang justru menjadi biang kekacauan tata kelola pemerintahan.
Bahkan, lanjut Lucius, politik legislasi DPR akan dinilai sebagai kedok untuk merusak tata kelola serta menjauhkan legislasi dari kepentingan publik atau rakyat.
“Sudah beberapa UU disahkan DPR periode ini yang kehadirannya selalu disambut kontroversi. Kontroversi lebih karena RUU yang disahkan DPR dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat,” ujarnya.
Karena itu, Lucius menentang keras revisi UU BPK ini. Pasalnya, agenda revisi ini sangat kental dengan kepentingan sepihak saja. Padahal, menurut Lucius, jika ingin merevisi, DPR harus melakukan proses sejak awal dengan membuka ruang diskusi untuk melihat persoalan-persoalan terkait kelembagaan BPK.
Lucius mengatakan, persoalan-persoalan itu harus disepakati terlebih dahulu sebelum memutuskan bagaimana pengaturan yang tepat. Untuk itu, Lucius menegaskan, strategi penyusunan agenda revisi diam-diam menjadi modus utama pembahasan legislasi yang kontroversial belakangan ini.
“Dan karena sudah ada fenomena UU BPK mau direvisi atas inisiatif sepihak BPK dan dilakukan diam-diam, saya kira sudah harus ditolak sejak awal niat itu,” katanya.
Lucius menilai, agenda revisi UU BPK ini hampir pasti tidak bertujuan untuk membenahi BPK tetapi justru mau merusak lembaga auditor negara itu.
“Ini (revisi UU BPK), memang agenda pribadi. Itu yang lebih kelihatan. Dan karena pribadi maka kuncinya ada pada transaksi. Hanya transaksi yang bisa menjelaskan kepentingan pribadi ini bisa diterima oleh DPR dan Pemerintah,” ungkapnya.
Karena revisi ini kental dengan agenda pribadi, Lucius menambakan, maka potensi usulan itu akan merusak BPK ke depannya menjadi sangat terbuka.
“Kalau revisi ini disetujui, maka BPK bukan hanya akan menampung jompo saja, tetapi sekaligus memperlihatkan ke depan BPK yang akan kian tumpul dan tidak independen,” ujarnya.