Pakar Hukum Pidana sekaligus Pengamat Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih
MONITOR, Jakarta – Pakar Hukum Pidana sekaligus Pengamat Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih menilai pemblokiran 800 Sub Rekening Efek (SRE) yang memicu silang pendapat antara manajemen PT Asuransi Jiwa WanaArtha (WanaArtha Life) dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak perlu terjadi.
Apabila, sambung dia, kedua belah pihak mengedepankan serta menghormati aspek hukum yang berlaku di Indonesia.
Yenti menegaskan, jika benar pihak Kejaksaan menyita aset berupa SRE milik Benny Tjokrosaputro (BenTjok) yang saat ini tengah menjalani sidang atas kasus dugaan mega korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero), maka pihak manajemen dan nasabah WanaArtha harus Iebih dulu menunggu hasil keputusan sidang.
“Tapi kalau WanaArtha punya bukti bahwa itu bukan uang Bentjok, silahkan ditempuh untuk menyampaikan dalilnya. Cuma saya pikir Jaksa Kejagung menyita aset itu berdasarkan fakta dan tidak mungkin Kejagung asal bicara,” kata Yenti kepada wartawan di Jakarta, Selasa (29/9).
Di tengah polemik penyitaan aset yang diduga milik Bentjok ini, Yenti berpandangan, sudah seharusnya pihak Kejaksaan melibatkan jajaran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memastikan keabsahan pemilik aset dan aset-aset yang dijadikan barang bukti dalam kasus Jiwasraya.
Selain memastikan keabsahan pemilik aset, pelibatan PPATK di dalam pembuktian aset ini juga dilakukan demi memberikan fakta kepada nasabah WanaArtha yang belakangan diketahui banyak melakukan aksi protes tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya.
Kendati demikian, Yenti pun mengaku heran ketika manajemen WanaArtha belum juga memenuhi panggilan Kejaksaan untuk membuktikan kepemilikan SRE yang disita untuk kasus Jiwasraya.
“Kesempatan sudah diberikan tapi mereka tidak datang, terus menuntut mekanisme. Aturan hukumnya kalau diminta datang, ya datang. Kalau tidak datang dianggap klaimnya Kejaksaan Agung benar, karena dia (WanaArtha) nggak datang. Kan sudah diupayakan mediasinya,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, sejak dilakukan pemblokiran pada akhir Desember 2019 silam, sebenarnya Kejagung telah memberi kesempatan kepada manajemen WanaArtha untuk memberikan klariflkasi hingga akhir Februari 2020. Kesempatan klariflkasi ini diberikan untuk mengantisipasi jika terdapat kekeliruan dalam proses penyitaan.
Namun hingga batas waktu yang diberikan, pihak Kejaksaan menyatakan bahwa manajemen WanaArtha belum juga datang untuk memberikan klariflkasi.
Sementara dalam keterangan resminya manajemen WanaArtha mengklaim bahwa aset yang disita Kejaksaan Agung bukanlah milik Benny Tjokro, melainkan rekening dan uang milik nasabah WanaArtha.
Pihak WanaArtha melalui Daniel Halim sebagai Direktur Keuangan WanaArtha Life secara resmi telah memberikan keterangan sekurang-kurangnya 4 kali kepada Kejaksaan Agung selama penyelidikan kasus Jiwasraya.
MONITOR, Jakarta - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menyambut dengan penuh semangat dan apresiasi atas…
MONITOR, Ciputat - Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dan Pemerintah Kabupaten Pandeglang resmi menandatangani perjanjian…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama kembali akan menyalurkan bantuan Program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP…
MONITOR, Jakarta - Di tengah berbagai masalah yang tengah menghimpit kehidupan masyarakat, temuan beras premium…
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta menanggapi isu pengelolaan data pribadi…
MONITOR, Sumut - Kementerian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) berkolaborasi dengan 21 kolaborator kementerian/lembaga…