MONITOR, Jakarta – Sejak awal Januari 2020, akreditasi bagi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) sudah dilakukan oleh lembaga independen. Hal itu sejalan dengan amanat regulasi, Peraturan Menteri Agama (PMA) No 8 tahun 2018 tentang Akreditasi PPIU.
Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Nizar mengatakan bahwa pihaknya sudah menerbitkan 21 SK Lembaga Akreditasi PPIU yang tersebar di beberapa daerah.
“Akreditasi itu mandatori, wajib dilakukan. Sehingga harus dilaksanakan oleh lembaga akreditasi independen,” tegas Nizar saat berbicara pada Diskusi dan Silaturahim Forum Lembaga Akreditasi Penyelengara Perjalanan Ibadah Umrah (LA PPIU) di Yogyakarta, Kamis (03/09).
Selain Dirjen PHU, hadir sebagai narasumber, Ketua Forum LA PPIU Khairullah Ghazali dan Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim. Hadir juga secara daring, Direktur Akreditasi Inspeksi dan Lembaga Sertifikasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) Triningsih Herlinawati.
Diskusi ini digelar secara online dan offline dan diikuti lembaga akreditasi dari berbagai daerah. Ikut juga, Kakanwil Kemenag DIY Edhi Gunawan.
Nizar menjelaskan sejarah dilakukannya akreditasi oleh lembaga independen. Menurutnya, hingga akhir 2017, akreditasi PPIU masih dilakukan internal Kemenag sehingga dipertanyakan kapasitas dan objektivitasnya. Untuk itu, Nizar mendorong agar akreditasi dilakukan lembaga independen.
Upaya ke sana diawali dengan MoU bersama KAN. Proses terus berjalan hingga hari ini sudah terbit 21 SK Lembaga Akreditasi PPIU.
“Lembaga akreditasi independen ini dihadirkan untuk memberikan jaminan kualitas layanan PPIU. Jadi implikasinya kembali ke PPIU sebagai pelaku usaha. Kalau sudah mendapat akreditasi A misalnya, maka kepercayaan publik akan meningkat. Jadi ini penting dan berkontribusi terhadap jaminan penyelenggaraan,” jelas Nizar.
“Ke depan, pembinaan Kemenag akan dilakukan berbasis akreditasi yang dilakukan lembaga independen,” sambungnya.
Berjalan sejak awal Januari 2020, Nizar tidak menutup mata ada sejumlah hal yang perlu dievaluasi seiring sejumlah persoalan yang muncul. Untuk itu, Kemenag akan mengundang para pihak, baik LA maupun Asosiasi PPIU untuk duduk bersama agar ada kesamaan persepsi.
Nizar misalnya menyebut dua hal yang perlu disiapkan ke depan, standar penyusunan borang dan harga referensi. Mantan Kakanwil DIY ini menilai perlu ada kesepakatan antara LA, Kemenag, PPIU terkait cara menyusun borang agar terstandar. Pedoman menyusun borang akan membantu para pihak, sehingga dokumennya menjadi terstandar. Pedoman ini akan dimuat dalam laman Ditjen PHU sehingga mudah diakses PPIU.
“Jadi perlu menyusun bersama borang akreditasi PPIU dengan mengacu,” tegasnya.
Terkait biaya, Kemenag juga merencanakan akan menyusun harga referensi akreditasi. Proses penyusunannya akan melibatkan LA dan Asosiasi PPIU.
“Soal biaya, kita rembug bareng. Susun harga referensi akreditasi. Harga referensi ini disusun sebagai acuan. Ini penting agar bisa jadi rujukan bersama,” ujar Nizar.
Nizar menambahkan bahwa pihaknya sudah membahas dengan Kementerian Pariwisata. Ke depan, PPIU dan BWP cukup satu akreditasi. Kalau sudah akreditasi PPIU, maka tidak perlu sertifikasi BPW.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Alreditasi Inspeksi dan Lembaga Sertifikasi KAN, Triningsih Herlinawati. Dia menggarisbawahi perlunya akreditasi PPIU untuk memberikan keamanan bagi umat dalam beribadah umrah sehingga mereka bisa terlayani dengan baik. Sebab, ada jaminan keamanan sejak pendaftaran, investasi pembiayaan, hingga pelaksanaan ibadah. “Ini ujung dari kegiatan sertifikasi atau akreditasi PPIU,” ucapnya.
Menurut Triningsih, PPIU masuk dalam kategori usaha dengan kategori risiko tinggi. Sehingga, harus memenuhi tiga syarat, yaitu: Nomor Induk Berusaha (NIB), izin operasional, dan sertifikat standar. Artinya, standarnya harus tersertifikasi. “Di sinilah urgensi LA PPIU,” ujarnya.
Triningsih melihat, ke depan perlu ada kesepahaman dan kesamaan perspektif antara Kemenag, PPIU, dan LA PPIU dalam pelaksanaan akreditasi. Para pihak harus berada dalam pemahamab yang sama bahwa kareditasi akan memberi tambah bagi PPIU, bisa dilaksanakan secara objektif oleh LA, dan hasilnya bisa dilakukan dasar Kemenag melakukan pembinaan.
“Kemenag perlu beri arahan ke LA PPIU agar prosesnya bisa memberi added value ke PPIU, sekaligus tidak menjadi beban. KAN akan selalu support untuk bisa menjembatani dari berbagai pihak agar keberadaan akreditasi bisa efektif,” tandasnya.
Ketua Forum LA PPIU Khairullah Ghazali sebelumnya mengangkat sejumlah tantangan dalam proses akreditasi yang berlangsung delapan bulan terakhir. LA menyoroti masalah manajemen PPIU yang umumnya menggunakan pendekatan keluarga. LA PPIU berupaya mendorong mereka agar menjadi lebih profesional.
Khairul juga menyoroti beberapa persyaratan yang menurut PPIU memberatkan, misalnya WTP. Namun, persyaratan itu sudah diatur dalam regulasi.
“LA PPIU akan membantu Kemenag memberi jaminan ke jemaah agar mereka nyaman beribadah umrah,” tegasnya.
Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim menyampaikan bahwa pertemuan perdana Forum LA PPIU dengan Kemenag menjadi media menggali ide untuk perbaikan pelaksanaan akreditasi ke depan. Apalagi, saat ini pihaknya tengah menyusun regulasi.
“Diskusi ini akan dilanjutkan dalam rangkain pembahasan berikutnya, termasuk masalah borang dan harga referensi yang digulirkan Pak Dirjen. Kami sedang mempersiapkan regulasinya,” tutup Arfi.