Sabtu, 20 April, 2024

Dosen di Lingkungan PTKI Harus Punya Mimpi Jadi Profesor

MONITOR, Jakarta – Semua dosen di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam harus berani memiliki mimpi untuk menjadi guru besar. Sebab, dengan bermimpi menjadi guru besar maka produktivitas keilmuan, melakukan penelitian, penulisan artikel, dan karya-karya intelektual lainnya akan menjadi penyemangat baginya. Pesan ini disampaikan Kepala Subdirektorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI, Dr. Suwendi, M.Ag, dalam webinar online tadarus Litapdimas ke-17 dengan mengangkat tema “Jurnal Internasional Bereputasi dan Kiat Menjadi Profesor” pada Selasa, 25 Agustus 2020.

“Kalau tidak berani bermimpi menjadi guru besar, maka perlu dipertimbangkan kembali. Dengan bermimpi menjadi guru besar, energi kita akan mengarahkan pada hal-hal yang lebih produktif. Tidak hanya sekedar mengajar, tetapi meneliti dan menulis serta menghasilkan yang produktif akan menjadi kesehariannya,” ujar Suwendi mengawali diskusi yang dimoderatori Kasi Publikasi Ilmiah Drs. Iwan Yusuf, M.Si.

Suwendi mengatakan topik tersebut sangat penting dan harus diangkat, mengingat jumlah guru besar di PTKI saat ini masih butuh perhatian bersama. Berdasarkan data yang ada, jumlah guru besar secara akumulatif di lingkungan PTKI sebanyak 508 orang dari 40.124 dosen, baik di PTKIN maupun di PTKIS.

Kepada peserta webinar, Suwendi juga mengungkapkan Direktorat PTKI khususnya untuk rumpun ilmu keagamaan, sudah membangun Moraref (Ministry of Religious Affairs Refference) yaitu sebuah portal indeks yang ke depannya akan menjadi akreditasi jurnal yang berbasis keagamaan.

- Advertisement -

“Diharapkan, ini akan menjadi salah satu instrumen agar dosen PTKI mencapai ke tingkat guru besar yaitu jurnal-jurnal yang sudah terhimpun di Moraref itu. Saat ini draft Peraturan Menteri Agama tentang jabatan fungsional dosen PTK sudah disusun. Insya Allah, pada waktunya akan didiskusikan,” tutur Suwendi.

Terkait tema tadarus kali ini, Prof. Dr. Wasilah Sahabuddin, S.T., M,T dari UIN Alauddin Makassar mengatakan proses pengajuan gelar guru besar tidaklah mudah. Kepada peserta webinar, ia menceritakan lika-liku perjuangan yang harus dilewatinya saat mengajukan gelar akademik tertinggi itu. Salah satu syarat yang harus dipenuhi yakni memiliki publikasi jurnal internasional bereputasi, minimal empat jurnal. Ini sesuai ketentuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Pengajuan guru besar, semuanya disarankan baik jurnal internasional ataupun jurnal nasional. Adapun jurnal internasional bereputasi, ini diwajibkan,” kata Wasilah memaparkan presentasi.

Menurutnya publikasi adalah agenda penting bagi kalangan akademisi, bukan hanya sebagai prasyarat melainkan menjadi bukti utama originalitas penelitian yang pernah dilakukan sekaligus menjadi rekam jejak seorang peneliti dalam melakukan risetnya. Selain itu, peneliti bisa membangun jejaring dengan pihak-pihak luar yang terlibat dalam penelitiannya.

Wasilah pun mengungkapkan, proses pengajuan gelar guru besar lumayan mudah. Di Kementerian Agama, pengajuan ini dimulai dari dosen, lalu jurusan, ke prodi, pengajuan ke jurusan ke fakultas, ke Perguruan Tinggi dan kementerian, yang semuanya melalui online. “Ini sekarang sistemnya mudah, hanya dilakukan review yang membutuhkan 60 hari kerja, dan proses pengajuannya hanya 4-5 hari,” terangnya.

Senada dengan Prof. Wasilah, Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang Prof. Dr. Martin Kustanti, M.Pd menyatakan bahwa menjadi guru besar tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi bukan hal mustahil bagi siapa saja yang ingin mendapatkan jabatan tertinggi ini.

Terkait penulisan artikel di jurnal internasional bereputasi, Martin Kustanti mengingatkan pokok-pokok penting yang harus diperhatikan seperti judul penelitian, abstrak dan latar belakang.

“Yang membuat tulisan kita ditolak biasanya karena beberapa faktor, pertama adalah pada saat mensubmit jurnal, dilihat dari judul, lalu abstrak dan latar belakangnya, ini menjadi satu catatan bagi mereka (reviewer) untuk diterima, diperbaiki atau ditolak,” ujar Martin Kustanti.

Ia menambahkan, peneliti harus menampilkan novelty atau unsur kebaruan dalam temuan penelitian yang akan diangkatnya, agar berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumnya.

“Apa keunikan baru yang akan kita teliti nanti. Nah ini yang harus kita berikan pada pembaca. Lihat grand theory yang kita lakukan, kita jadikan sitasi sebagai rujukan tulisan berikutnya,” ungkapnya.

Sementara itu, Prof. Dr. M. Nur Rianto Al Arif M.Si dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengungkapkan sejumlah permasalahan publikasi ilmiah di Indonesia. Mulai dari rendahnya budaya riset dan menulis di perguruan tinggi. Suasana akademik kampus yang kurang kondusif untuk melakukan riset dan publikasi, kemudian terbatasnya akses rujukan pada jurnal-jurnal internasional bereputasi, akses pada pangkalan data lintas negara yang terbatas, dan keterbatasan akses fasilitas laboratorium bagi dosen eksakta.

Ketika sedang mencari data penelitian, ia pun mengingatkan agar jangan hanya untuk satu topik penelitian saja. Hal ini bertujuan untuk memperbanyak karya ilmiah, dan jangan tergantung pada hibah ketika melakukan penelitian atau pengabdian masyarakat.

Selanjutnya, Arif meminta peserta agar merencanakan karir sedari awal ketika telah memilih karir sebagai dosen dan bermimpi mengejar gelar guru besar.

“Rencanakan kapan mau lanjut pendidikan ke jenjang lebih tinggi (jika belum S3). Rajin menulis (terutama di jurnal) tetap berproses, jangan mencari cara instan. Lakukan kolaborasi dengan banyak peneliti dengan memperluas networking penelitian,” ujarnya.

Terakhir, Senior editor Studia Islamika UIN Jakarta, Prof. Dr. H. Oman Fathurahman, M.Hum selaku pembahas diskusi mengatakan tak dapat dipungkiri banyak orang yang berambisi memiliki artikel tanpa terlibat dalam prosesnya secara langsung. Fakta ini diutarakan Oman sesuai dengan pengalaman yang pernah dialaminya. Padahal, kata dia, kegiatan riset adalah bagian terpenting yang harus dijalani untuk mendapatkan sebuah artikel.

“Artikel adalah hasil, riset itu adalah prosesnya. Ini tidak bisa dipisahkan. Tapi jangan langsung punya artikel, yang terpenting adalah prosesnya,” imbuh Oman Fathurahman.

Untuk penulisan artikel, Oman menekankan bahwa menulis struktur artikel tidak seperti khutbah Jum’at, melainkan harus berbasis riset. Oman pun menekankan bahwa penulisan artikel adalah ekosistem yang tidak bisa berdiri sendiri. Dengan adanya artikel berbasis riset, kadang juga tidak bisa menjadi guru besar kalau tidak diterbitkan di jurnal bereputasi internasional.

“Itu semuanya ekosistem yang harus dijalani,” tandas Oman.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER