MONITOR, Jakarta – Anggota Banggar DPR RI, Sukamta, menyatakan bahwa Pemerintah melakukan akal bulus dalam memberikan bantuan dana dengan total Rp 152 triliun ke sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terdampak pandemi Covid-19. Faktanya, kata Sukamta, pemerintah memberikan Rp 128,13 trilliun untuk membayar utang pemerintah dan BUMN, sisanya Rp 22,27 triliun dalam bentuk penyertaan modal.
“Pemerintah beralasan bahwa bantuan dana diberikan kepada BUMN akibat dari Covid-19 yang membuat BUMN kesulitan likuiditas. Namun fakta-fakta menunjukan bahwa utang BUMN terjadi sebelum Covid-19 dan semakin parah ketika pandemi melanda. Selain itu, kebijakan pemerintah yang memberi tugas kepada PLN dan Pertamina sebagai public service obligation (PSO) membuat kinerja perusahaan tidak sehat dan selalu merugi apabila pemerintah tidak membayar kompensasi kepada BUMN tersebut,” ujar Sukamta, Selasa (14/7).
Sukamta merinci pembayaran kompensasi utang pemerintah kepada BUMN diberikan kepada tujuh BUMN dengan total Rp 108,48 triliun. Alokasinya PT PLN (Persero) mendapatkan Rp 49,46 triliun, BUMN Karya Rp 12,16 triliun, PT Kereta Api Indonresia (Persero) Rp 300 miliar, dan PT Kimia Farma (Persero) Rp 1 triliun. Kemudian, Perum Bulog Rp 560 miliar, PT Pertamina (Persero) Rp 40 triliun, dan PT Pupuk Indonesia (Persero) Rp 6 triliun.
Pemerintah juga memberi bantuan dana talangan untuk membayar utang BUMN sebesar Rp 19,65 triliun diberikan kepada Garuda Indonesia (Rp 8,5 triliun), Perumnas (Rp 0,7 triliun), PT Krakatau Steel (Rp 3 triliun), dan PT Perkebunan Nusantara (Rp 4 triliun). Padahal utang terjadi akibat pengelolaan yang buruk di BUMN.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini pun mempertanyakan mengapa kerugian yang dialami BUMN dibebankan kepada APBN. “Siapa dan bagaimana pertanggungjawabannya? Mengapa semua utang BUMN dibebankan kepada APBN? Padahal BUMN seperti Garuda Indonesia, BUMN Karya dan lain-lain sebagian sahamnya dimiliki oleh pemegang saham minoritas yang memiliki tanggung jawab yang sama. Namun mengapa masalah utang ini hanya pemerintah yang bertanggung jawab dan pemerintah lemah di hadapan pemilik saham lainnya. Kemudian, BUMN sering berganti direktur dan komisaris BUMN namun ternyata tidak banyak mengubah kondisi BUMN. BUMN hanya dijadikan sapi perah, ajang bagi-bagi kekuasaan dan kue ekonomi bagi partai pendukung dan relawan pendukung Jokowi,” kritiknya.
Seharusnya pemerintah Jokowi-Ma’ruf bersama Menteri BUMN Erick Thohir mengevaluasi terlebih dahulu BUMN yang bermasalah baik secara manajemen keuangan maupun tata kelola. Ia mendorong dilakukan audit kinerja BUMN, atau audit forensik, agar jelas kerugian-kerugian BUMN ini disengaja atau tidak. Setelah evaluasi, BUMN-BUMN dengan kinerja baik layak mendapatkan bantuan modal baru.
“Saat ini bukan saat yang tepat membayar hutang BUMN dan mungkin kebijakan lainnya yaitu memberikan pinjaman dana murah kepada korporasi besar dengan menggunakan uang berasal dari utang pemerintah. Lebih baik dana yang diberikan kepada korporasi besar langsung disalurkan kepada rakyat Indonesia yang terdampak langsung Covid-19. Bunga utang tahunan saja telah mencapai Rp 300 triliun pada tahun 2021. Kondisi ini semakin membebani APBN dan tentunya menjadi beban rakyat yang setiap tahun membayar pajak dan berbagai iuran yang kini genjar dipungut dan dinaikan oleh pemerintah,” jelas ketua DPP PKS Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri ini.