MONITOR, Jakarta – Rencana Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menuai polemik sejak kemunculannya. Utamanya karena diusulkan di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus menambah korban. Selain itu, beberapa pihak telah menyampaikan bahwa RUU tersebut men- downgrade makna Pancasila, mempersempit ruang tafsir, memandek-kan dinamika dan kreativitas yang dibutuhkan untuk kemajuan bangsa.
Atas berbagai polemik yang muncul, Anggota MPR RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. menyampaikan bahwa masyarakat harus berpikir positif karena hal ini merupakan upaya penguatan ideologi Pancasila. Hanya saja, menurutnya ada beberapa hal yang perlu dicermati bersama.
“Saya kira ini upaya yang baik, kita perlu berbaik sangka. Meskipun dalam beberapa hal kita kritisi dan kita beri masukan. Oleh sebab itu, kami mengusulkan untuk mengubah namanya dari RUU HIP menjadi RUU Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (PPP). Begitu pula isinya, patut disesuaikan. Yang baik-baik tentu perlu dipertahankan, sedang yang tidak sesuai bisa didiskusikan dan direvisi. RUU ini tetap patut kita pertimbangkan, apalagi kita belum memiliki UU yang mengatur ideologi Pancasila sebagai haluan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Senator asal Yogyakarta ini pada acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, di Aula Kantor DPD RI, Jl. Kusumanegara No. 133, Yogyakarta, pada Selasa siang (23/06/2020).
Menurutnya, sebelum RUU tersebut diusulkan, kita bisa melakukannya melalui kegiatan Sosialisasi 4 Pilar MPR RI seperti sekarang ini. Tinggal segmen, tema, dan muatannya yang diperluas dan disesuaikan. Selain Gus Hilmy, panggilan akrab Senator asal Yogyakarta tersebut, hadir sebagai pembicara adalah Ahmad Rafiq, M.A. Ph.D., sebagai Ketua Program Doktoral UIN Sunan Kalijaga dan Maya Fitria, S.Psi., Psi., M.A. sebagai Pengasuh PP. Krapyak dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga.
Acara ini dihadiri oleh guru-guru madrasah aliyah. Mengenai pernyataan Gus Hilmy, Ahmad Rafiq menanggapi bahwa RUU HIP saat ini sedang dalam proses normalisasi. Menurutnya, Pancasila selama ini sudah menjadi pengalaman hidup dan menjadi manifestasi dari pengetahuan implisit bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila ini serupa “kitab suci”. Di masa lalu orang bertemu Pancasila, masa sekarang kita bertemu Pancasila. Yang berbeda adalah pengalaman, interpretasi, dan pengamalannya.
“Teks Pancasila ini sudah kita terima, sudah dinormalisasi, dan menjadi idoelogi serta dasar negara. Perdebatkan tentang Pancasila akan terjadi terus-menerus ada, tetapi tidak sampai mengubah teksnya. Orang di masa lalu mengamalkan Pancasila dengan cara A, masa setelahnya dengan cara B, dan masa kini dengan cara C,” kata Kaprodi Studi Islam UIN Sunan Kalijaga tersebut.
Rafiq mengingatkan bahwa saat ini sedang terjadi kontestasi besar-besaran atas penafsiran Pancasila. Ada kelompok yang kesulitan melawan narasi Pancasila, dan kemudian justru melakukan hal sebaliknya, yaitu penafsiran ulang.
Pernyataan tersebut diamini oleh Maya Fitria. Menurutnya, penafsiran Pancasila harus mengalami kontekstualisasi secara terus-menerus sehingga ruang kontestasinya tidak direbut pihak lain.
“Pancasila itu sebagia prinsip, diturunkan menjadi kebijakan, diturunkan lagi menjadi aturan. Prinsipnya tidak pernah berubah, tetapi kebijakan dan aturan perlu diubah dan bahkan harus diubah,” katanya.