Oleh: Imron Wasi*
PERALIHAN kepemimpinan di dalam tubuh partai politik (parpol) memang sangat menarik untuk diikuti di tengah-tengah hiruk-pikuk perkembangan politik kontemporer. Sebab, suksesi dalam tubuh partai politik kerap dihiasi kompetitif pelbagai kader-kader parpol yang mempunyai modal yang amat tinggi dalam perhelatan suksesi kepemimpinan partai politik. Namun, secara mutakhir, perkembangan suksesi kepemimpinan di tubuh parpol seperti mengalami kemandekan. Hal ini tercermin dengan masih mendominasinya figur utama dalam konstelasi politik di internal parpol. Sehingga mengakibatkan salah satu di antara figur tersebut, memiliki kans yang besar apabila mengikuti serangkaian proses pemilihan ketua umum parpol pada saat kongres, muktamar, musyawarah nasional maupun sebutan serupa lainnya yang mencakup proses suksesi kepemimpinan parpol.
Secara mutakhir, suksesi kepemimpinan parpol yang sudah dilaksanakan oleh partai-partai besar pun tampaknya dilakukan secara aklamasi. Hal ini mencakup pelbagai parpol pra-reformasi dan pasca-reformasi, misalnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang telah memilih Megawati Soekarnoputeri sebagai ketua umumnya. Demikian pula Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang telah memilih Muhaimin Iskandar atau Gus Ami sebagai ketua umumnya kembali. Kemudian diikuti juga oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang memilih petahana, Surya Paloh, sebagai ketua umumnya. Dan, Partai Golongan Karya (Golkar) pun yang memiliki historis sebagai parpol lama juga tak luput dari sebuah fenomena politik kontemporer atau dalam bahasa lain juga mengalami erosi demokrasi di dalam institusinya. Sebagaimana hasil sirkulasi kepemimpinan, yang masih memuluskan petahana terpilih kembali. Dalam hal ini, Airlangga Hartarto yang juga menjabat sebagai menteri di kabinet pemerintahan. Tak berhenti sampai di situ, sebagian parpol lainnya juga turut serta menciptakan erosi demokrasi di institusi sebagai entitas publik, seperti Partai Hanura yang telah memilih Oesman Sapta Odang, dan Partai Demokrat yang secara bersama-sama juga menciptakan dinamika stabil tanpa perlawanan berarti, yakni terpilihnya Agus Harimurti Yudhoyono sebagai ketua umum. Bahkan, secara mutakhir, di dalam tubuh Partai Gerindra juga muncul sebuah wacana untuk menetapkan Prabowo Subianto sebagai ketua umumnya kembali.
Kendati demikian, dengan terpilihnya kembali para petahana maupun figur baru yang memiliki ikatan emosional tinggi dalam keluarga serta dalam suksesi kepemimpinan parpol memberikan sinyalemen bahwa terdapat kemandekan kaderisasi di tubuh parpol. Terlepas dari pencapaian-pencapain prestasi gemilang yang merenteng yang pernah dicapai selama ini. Para figur-figur ini seolah-olah menjadi sosok yang belum mendapatkan tandingan yang sepadan. Sehingga, suksesi kepemimpinan parpol berujung pada aklamasi dan biasanya dianggap sebagai tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam mengambil suatu kebijakan serta mendapatkan pengkultusan dari setiap anggota atau kader parpol yang bersangkutan. Selain itu, pemilik saham terbesar nampaknya juga menentukan suksesi kepempinan parpol, terutama para pendiri. Bahkan yang menjadi perhatian utama khalayak publik dari suksesi kepemimpinan parpol adalah semua partai yang melaksanakan kongres, muktamar, musyawarah nasional, yang berujung pada pemilihan secara aklamasi, seperti telah diuraiakan di atas: PDIP, PKB, Nasional Demokrat, Golkar, Hanura, dan Demokrat.
Dalam kaitan tersebut, catatan ini akan mengulas pelbagai aneka problematika mengenai suksesi kepemimpinan parpol, penyebab, sampai pada dampak dari lahirnya aklamasi, termasuk menyoal hiruk-pikuk parpol. Selain itu, tulisan ini juga akan menguraikan solusi untuk mengatasi agar regenerasi politik bisa berjalan sesuai prinsip demokrasi. Oleh karena itu, di tengah-tengah kungkungan oligarki yang mencengkeram, partai politik dituntut untuk bisa melaksanakan platform parpol sesuai dengan ideologi parpolnya dengan prioritas jangka panjang.
Regenerasi Kepemimpinan
Barangkali tak seorang pun menyangkal bahwa partai politik adalah sebuah organisasi yang mewadahi pelbagai pluralitas aspirasi dan kepentingan publik. Sebagai organisasi yang bersifat inheren dengan kehidupan kebangsaan, partai politik dituntut agar dapat membenahi struktur organisasi dan mampu menjalankan seluruh tugasnya sebagai entitas demokrasi sekaligus sebagai elemen terpenting dalam mengkonstruksi sistem pemerintahan Indonesia, dengan mekanisme penguatan kelembagaan. Dengan kata lain, terlibat proaktif dalam membangun relasi dan komunikasi secara intensif dengan para pemangku kepentingan, termasuk konstituen dan masyarakat untuk menciptakan konsolidasi demokrasi yang mengarah kepada kesejahteran rakyat.
Selain itu, sebagai institusi yang bersifat heterogen, parpol juga sebagai badan publik yang memiliki posisi sentral dalam perkembangan demokrasi, terutama pasca-reformasi. Hasil reformasi politik semestinya dapat mengubah paradigma baru akan pentingnya sebuah regenerasi kepemimpinan di dalam institusi parpol; ditambah parpol juga sebagai salah satu pilar demokrasi. Alih-alih akan meningkatkan dan membangun siklus konsolidasi demokrasi yang mapan, malah terjebak pada sebuah praksis yang malah menghambat proses pembangunan konsolidasi demokrasi.
Pada dasarnya, parpol sebagai organisas modern yang memiliki orientasi untuk mengejar, merebut, dan mempertahankan kekuasaan untuk menghasilkan sebuah keuntungan finansial melalui kekuasaan. Meminjam perspektif akademik yang telah diulas oleh Friedrich, bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang mempunyai organisasi stabil dan bertujuan untuk mempertahankan kepemimpinannya, mengontrol pemerintahan, bertugas memberikan keuntungan ideologi dan material kepada anggotanya.
Menilik sebuah ungkapan definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat kita ketahui bahwa secara praksis sesungguhnya peran parpol untuk memberikan kontrol atau pengawasan terahadap pemerintah. Dalam hal ini, menciptakan dan mencerminkan pranata-pranata politik yang secara gamblang berkorelasi terhadap checks and balances. Agar formulasi public policy benar-benar mencerminkan kehendak rakyat secara holistik. Namun, dalam praksisnya, parpol tampak kurang begitu memberikan kontrol yang dominan terhadap pemerintah. Terlebih, sudah masuk dalam koalisi pemerintahan ditambah legitimasi dukungan di parlemen begitu kuat untuk pemerintahan. Sudah pasti, kebijakan-kebijakan akan berjalan mulus tanpa hambatan apabila tidak saling mengganggu satu sama lain, antara representasi parpol di dalam kabinet dan terutama dalam relasi eksekutif dan legislatif. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setelah amandemen konstitusi, legislatif memiliki otoritas yang besar. Salah satunya, pejabat negara juga harus melalui fit and proper test, apabila hendak menjadi pimpinan di sebuah lembaga negara.
Dan, secara realitas, sejumlah parpol di era reformasi ini cenderung menciptakan sebuah tren baru yaitu konstelasi di internal parpol yang cenderung tidak mau mengambil risiko. Dengan kata lain, konstelasi yang tak berujung dengan perlawanan berarti atau sering kita sebut sebagai aklamasi. Sebab, persepsi-persepsi yang berkembang di antara para kader dan sejumlah elite politik, yakni akan tercipta sebuah konflik yang justru akan mengganggu sejumlah agenda/atau kinerja parpol, terlebih kepentingan para elite-elite politik. Dan, bisa juga memperkeruh situasi yang juga akan berimplikasi terhadap munculnya sejumlah faksi dan friksi parpol dan sudah barang tentu akan bermuara pada instabilitas parpol. Hal ini juga tentu akan memberikan dampak terhadap melemahnya atau munculnya suatu degradasi dalam sistem politik di Indonesia yang akan membuat terhambatnya sebuah tatanan-tatanan dalam demokrasi.
Akibatnya, konsolidasi demokrasi mengalami stagnasi. Padahal, rakyat memiliki asa yang besar terhadap parpol agar bisa membawa perubahan-perubahan besar. Saat ini, di era reformasi yang penuh dengan intrik politik dalam sistem politik Indonesia membuat konstituen dan rakyat secara umum mengalami kebingunan. Kebingungan-kebingungan itu muncul karena parpol cenderung tidak menjalankan tugasnya dengan optimal, malah mendominasi kepentingan yang bersifat pragmatis dan tampaknya pula mengesampingkan ideologi yang dianut oleh parpol; baik itu parpol yang identik dengan sebutan partai yang berbasis nasionalis maupun agamis. Sehingga membuat rakyat semakin bingung bak penumpang yang sedang menumpang di kapal untuk berlayar ke tengah samudera lautan. Akan tetapi, tanpa petunjuk atau kompas sebagai alat untuk memetakan lintas perairan dan wilayah. Dan, seperti tanpa tujuan yang jelas dan terarah, malah terjebak di tengah lautan. Dengan demikian, hanya ada pilihan, yaitu: tetap melaju tanpa kompas untuk sampai ke tujuan awal atau menunggu kapal itu semakin karam. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah edukasi yang baik terhadap para penumpang (rakyat) yang berkelindan terhadap politik kesejahteraan (welfare politics).
Keduanya, tampak absen terhadap sejumlah agenda nasional yang semestinya berpihak dan berpijak pada asas kepentingan publik. Posisi yang begitu krusial dalam struktur politik internal parpol tentunya ketua umum. Oleh karena itu, posisinya akan menjadi rebutan sejumlah kader. Namun, seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa hanya segelinter kader/atau lebih tepatnya elite parpol yang cenderung mendominasi.
Sejumlah kader/atau elite-elite parpol ini memiliki kans besar, karena memiliki kekuatan besar, terutama kekuatan modal sebagai syarat utama. Dan, sekali lagi, tampaknya asas meritokrasi tidak begitu menjadi perhatian atau orientasi yang paling subtansial. Di satu pihak, dengan mendominasinya segelinter kader/atau elite-elite politik tertentu akan mengakibatkan ketergantungan dan akan sukar untuk menciptakan dan mewujudkan misi nasional yang berakar terhadap aspirasi rakyat secara umum. Parpol benar-benar harus dikelola secara profesional, agar manajemen dalam institusi juga bisa lebih optimal. Yang lebih dikhawatirkan yaitu apabila parpol dikelola oleh suatu kelompok keluarga dan oligarki tertentu.
Dalam peradaban politik kontemporer, bicara politik tentu akan dihadapkan pada pola yang berkaitan dengan public policy. Karena, parpol memiliki peran yang sangat krusial dalam era reformasi di Indonesia. Bahkan, sejumlah politikus, elite politik dan pejabat negara harus melalui parpol; baik saat konstelasi Pemilu maupun saat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dalam memilih pejabat negara yang dilakukan di parlemen. Sebagai representasi, politikus di parlemen pasti berasal dari unsur badan publik ini. Pun, partai politik juga mempunyai tugas untuk memberikan pendidikan politik; apabila parpol mengalami keriuhan dalam regenerasi kemepimpinan, maka justru akan menimbulkan suatu konflik.
Namun, di sisi yang lain, meminjam perspektif akademik yang disampaikan oleh Sri Nuryanti, Pola Kepemimpinan Elite Struktur Organisasi Partai, dan Konflik Partai Politik, dalam Aisyah Putri Budiatri (ed), (Faksi dan Konflik Internal Partai Politik di Indonesia Era Reformasi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018: 92), bahwa ada dua hal yang menjadi kunci persoalan konflik, yakni: kepemimpinan elite yang oligarkis dan sentralisasi struktur organisasi parpol. Di satu pihak, sirkulasi kepemimpinan di tubuh parpol dilakukan secara aklamasi untuk menghindari konflik, justru di sisi yang lain malah akan menimbulkan konflik baru seperti yang telah diulas di atas oleh para scholar. Oleh karena itu, dengan tidak adanya persaingan dalam memperebutkan kursi ketua umum, akan mempermudah eskalasi sejumlah kepentingan. Di satu sisi, ketua umum memiliki keputusan yang sangat strategis, termasuk salah satunya dalam menentukan calon kepala daerah (cakada) yang diajukan oleh pengurus di daerah.
Terakhir, parpol harus kembali dan mengedepankan asas meritokrasi dalam sirkulasi kepemimpinan di dalam institusi parpol. Secara eksplisit tampak jelas, yaitu untuk memperbaiki manajemen pengelolaan parpol agar dapat dikelola dengan lebih profesional. Hal ini perlu dilakukan, karena parpol sebagai organisasi modern dan sejumlah kepentingan publik pasti akan bertumpu pada institusi ini. Selain itu, pendidikan politik harus dijalankan dengan optimal. Rakyat membutuhkan sebuah pemahaman akan politik yang berkeadilan. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh John Rawls dalam Felix Baghi, (Plualisme, Demokrasi, dan Toleransi, Yogyakarta: Ledalero, 2012: 215-216), bahwa apa yang dibutuhkan adalah paham politik regulatif tentang keadilan yang dapat merumuskan dan menata secara prinsipil berbagai ideal dan nilai politik dari sebuah rezim demokratis, dengan menentukan sasaran yang mesti dicapai konstitusi dan batas-batas yang mesti dihormatinya.
Dengan demikian, parpol harus turun dan menyerap aspirasi sampai ke tingkat grassroots, agar konstituen dan masyarakat benar-benar mendapakan pelayanan yang baik dari parpol. Hasilnya, aspirasi dan keinginan serta harapan konstituen dan masyarakat perlu diejawantahkan melalui penguatan dalam merumuskan produk politik, yang sekali lagi, berlandaskan pada nilai, norma, dan kepentingan publik. Dan, hal ini juga sebagai mekanisme marketing untuk mempertahankan pemilih agar tidak migrasi kepada parpol lain yang dianggap lebih proaktif. Harus dibedakan posisinya, antara saat terjun sebagai politikus di parlemen dan posisi sebagai petugas partai. Karena, keduanya mendapatkan anggaran yang masing-masing masuk ke institusi. Dan, tentunya transparansi menjadi asas yang harus diketengahkan oleh badan publik dan sebagai politikus di parlemen.
*Penulis Adalah Peneliti di Banten Institute for Governance Studies (BIGS)