Oleh: Neni Nur Hayati*
Sebagai orangtua sekaligus pendidik, tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 ini telah meluluhlantahkan seluruh sektor kehidupan termasuk pendidikan. Sekolah dan perguruan tinggi ditutup untuk memutus mata rantai penularan virus yang tak terlihat secara kasat mata dan mematikan itu. Semua peserta didik terpaksa belajar di rumah masing-masing. Tentu saja, keputusan ini tidaklah mudah untuk dijalani, baik oleh orangtua maupun peserta didik.
Disadari atau tidak, pembelajaran daring ini memang hanya bisa dilakukan oleh kalangan menengah ke atas. Sementara untuk kalangan menengah ke bawah terkhusus di desa-desa terpencil yang sulit akses internet, nampaknya belum ada solusi konkrit. Meskipun rumah belajar Kemendikbud dan TVRI telah menawarkan program pembelajaran daring yang tidak berbayar, namun hal ini tetap menyulitkan untuk membeli kuota internet bagi siswa dari keluarga tidak mampu.
Hingga saat ini, pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Bahkan, pandemi ini boleh jadi belum berada di titik puncak. Tren penularan terus mengalami peningkatan. Dalam kondisi seperti ini, idealnya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus terus diperpanjang agar penularan dapat dikendalikan. Namun ironisnya, kita semua malah dituntut untuk menuju normal baru (new normal), demikian pula dengan pendidikan kita.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan bahwa setiap negara yang hendak melakukan transisi, pelonggaran pembatasan, dan skenario new normal harus memperhatikan enam hal. Pertama, bukti yang menunjukkan bahwa transmisi Covid-19 dapat dikendalikan. Kedua, kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina. Ketiga, risiko virus corona diminimalkan dalam pengaturan kerentanan tinggi, terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai.
Keempat, langkah-langkah pencegahan di tempat kerja ditetapkan – dengan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, dan kebersihan pernapasan. Kelima, risiko kasus impor dapat dikelola. Keenam, masyarakat memiliki suara dan dilibatkan dalam kehidupan new normal. Indonesia sendiri telah memberlakukan hal ini kepada seluruh masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas normal, dengan menerapkan protokol kesehatan, guna mencegah terjadinya penularan covid-19. Artinya, ini menjadi cara kita mengadaptasi pandemi dengan membuat diri lebih nyaman di tengah ketidakpastian.
Saat yang bersamaan pula dunia pendidikan dihadapkan dengan agenda Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dalam siaran pers, Kemendikbud tetap memberlakukan PPDB untuk tahun 2020 melalui daring. Apabila memang tidak bisa dilakukan secara daring, bisa dilakukan dengan kehadiran namun dengan protokol kesehatan yang sangat ketat seperti harus memakai masker, ada tempat cuci tangan, hand sanitizer, disinfektan serta jaga jarak harus dilaksanakan.
Kemendikbud juga masih melakukan koordinasi dengan Gugus Tugas percepatan Penanganan Covid-19. Sebab, tidak ada satu pihak pun yang dapat memastikan kapan wabah pandemi ini akan berakhir. Namun, disisi lain kegiatan pembelajaran di masa pandemi sedang menghadapi kompleksitas yang memuncak. Oleh karenanya, perlu ada pendekatan secara komperhensif agar segala aktivitas termasuk PPDB dapat dijalankan dengan maksimal.
Upaya Konkrit
Di tengah berbagai wacana yang ada, nampaknya memang perlu dilakukan upaya beberapa hal, khususnya terkait dengan PPDB dalam situasi new normal. Pertama, para orang tua tentu berharap tidak terjadi adanya kesenjangan dalam PPDB ini. Sebab, hadirnya sistem zonasi dalam PPDB membuat sebagian orangtua tetap mengejar sekolah favorit untuk anaknya.
Bagi sebagian orangtua memang ada ketidakpuasan tatkala anaknya tidak bisa masuk sekolah favorit akibat kendala zonasi. Sistem ini dinilai tidak berkeadilan karena siswa yang memiliki nilai ujian bagus tidak bisa memilih sekolah favorit karena rumahnya tidak masuk dalam zona tersebut. Oleh karenanya amanat pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 tahun 2019, PPDB dilakukan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan mutlak harus dijalankan.
Kedua, pemerintah perlu melakukan pemetaan mana yang termasuk kategori zona merah, kuning dan hijau. Kebijakan pemerintah daerah dalam hal menetapkan petunjuk teknis Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun 2020 tidak bisa disamakan antar satu daerah dengan daerah yang lain, sebab harus memperhatikan tingkat penyebaran virus di masing-masing daerah. Untuk daerah yang masuk dalam kategori zona merah, maka pelaksanaan PPDB harus melalui daring. Sementara untuk zona kuning dan hijau dapat dilaksanakan dengan kehadiran ke sekolah dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Ketiga, pemerintah harus memastikan infrastruktur di sekolah telah siap dijalankan, baik itu melalui daring ataupun yang datang langsung ke sekolah. Seperti misalnya ketersediaan fasilitas meja dan kursi yang ditata untuk menjamin physical distancing. Sekolah juga diharuskan untuk menyediakan disinfektan, hand sanitizer, wajib memakai masker untuk memastikan guru, tenaga pendidikan, siswa dan warga sekolah sesuai dengan protokol kesehatan.
Keempat, pembinaan guru, tenaga kependidikan dan warga sekolah dalam menjalakan aktivitas PPDB dalam kondisi new normal menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi. Hal ini menjadi hal yang harus diprioritaskan guna kesuksekan agenda PPDB. Mau tidak mau guru mesti memiliki kesiapan menghadapi new normal ini termasuk juga proses digitalisasi yang harus dijalankan. Pada akhirnya, panduan teknis PPDB termasuk protokol di masa new normal wajib dipersiapkan dengan matang.
*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), dan Pemerhati Pendidikan.