Rabu, 24 April, 2024

Peneliti: Omnibus Law Dapat Perbaiki Peringkat EODB Indonesia 2020

MONITOR, Jakarta – Konsep Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) yang tengah dibahas DPR bersama pemerintah, terus menjadi perhatian publik.

Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Rifki Fadilah, misalnya. Ia menilai Omnibus Law dapat menjadi salah satu terobosan meningkatkan peringkat Indeks Kemudahan Berusaha atau yang dikenal dengan Ease of Doing Business (EODB) 2020.

“Upaya mendorong EODB 2020 dapat dilakukan dengan efisiensi regulasi yang dinilai berbelit dan prosesnya panjang,” kata Rifki dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin (4/5) malam

“Efisiensi regulasi dengan Omnibus Law juga dapat mengurangi biaya transaksi yang selama ini menghambat investasi,” tambahnya.

- Advertisement -

Sebagaimana diketahui, berdasarkan laporan Bank Dunia terkait EODB 2020, Indonesia menempati urutan ke-73 dari 190 negara yang disurvei.

Beberapa indikator ketertinggalan Indonesia, antara lain memulai usaha, konstruksi perizinan, pendaftaran properti, perdagangan lintas batas, dan penegakan hukum terhadap kontrak.

Ia berpandangan, transaction costs yang dapat dipangkas lewat skema Omnibus Law, termasuk dalam kategori bargaining cost atau biaya kesempatan dan policing and enforcement costs atau penerapan kontrak.

“Skema Omnibus Law merupakan solusi dari salah satu permasalahan yang ditekankan oleh penilaian Ease of Doing Business (EODB) untuk Indonesia, yaitu enforcing contract,” papar dia.

Tidak hanya itu, Rifki juga mengklaim, Omnibus Law juga dapat meminimalisir terjadinya praktik korupsi secara institusional di sektor manufaktur, karena adanya pengurangan biaya transaksi pada perizinan usaha dan investasi.

Pasalnya, imbuh dia, sektor manufaktur merupakan sektor yang paling rentan terkena biaya-biaya yang tidak diperlukan terkait kewenangan pemerintah daerah.

Misalnya, di dalam data EODB 2020, waktu pengurusan perizinan konstruksi bangunan (dealing with construction permits) di Indonesia dapat mencapai hampir 200 hari.

Hal tersebut dapat menjadi salah satu kendala yang cukup pelik bagi sektor manufaktur karena terdapat birokrasi yang berbelit-belit hingga hampir 1 tahun, hanya untuk mengurus perizinan bangunan.

“Kendala ini dapat berkembang menjadi institutional corruption yang dilakukan oleh pihak perusahaan maupun instansi pemerintah untuk mempercepat birokrasi perizinan tersebut,” ujarnya.

Oleh karena itu, skema kebijakan Omnibus Law, termasuk yang diusulkan pemerintah melalui RUU Cipta Kerja, diharapkan dapat memberikan iklim kondusif untuk investasi dan kemudahan berusaha Indonesia, serta meningkatkan daya saing Indonesia dan kesejahteraan pada umumnya.

“Hal ini akan dimungkinkan mengingat skema kebijakan Omnibus Law akan menghindarkan biaya-biaya yang tidak diperlukan, karena adanya institutional corruption yang terjadi pada pihak-pihak tertentu,” tandasnya.

Seperti diketahui, DPR telah membentuk panitia kerja (Panja) untuk membahas RUU Cipta Kerja. Pembahasan RUU ini dilakukan menyusul telah diterimanya Surat Presiden (Surpres) terkait salah satu klaster Omnibus Law pada pertengahan Februari 2020.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER