Rabu, 8 Mei, 2024

Pemerintah Dinilai Gagap Selamatkan Sektor Pendidikan Saat Pandemi

MONITOR, Jakarta – Pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara belum menjadi sektor utama dalam situasi darurat Covid-19. Ubaid Matraji selaku Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai layanan pendidikan di Indonesia masih gagap menghadapi bencana.

Menurutnya, sikap pemerintah mengabaikan sektor pendidikan di kala bencana adalah kelalaian fatal yang mengundang bencana berikutnya yang lebih destruktif.

“Saat ini, pemerintah terkesan belum menyelamatkan sektor pendidikan, tetapi membiarkan pendidikan berjalan terseok-seok. Dana darurat sekitar Rp405 triliun untuk penanggulangan wabah covid-19 yang menyasar banyak bidang itu, ternyata tidak untuk menyelamatkan sektor pendidkan sama sekali,” kritik Ubaid Matraji, Sabtu (2/5).

“Bahkan, dana pendidikan di Kemendikbud dan Kemenag disunat dan direalokasikan untuk sektor lain. Akibatnya, ancaman di sektor pendidikan kian nyata di depan mata,” tambahnya.

- Advertisement -

Akibatnya, pandemi ini memunculkan masalah baru di dunia pendidikan, diantaranya ancaman putus sekolah. Ubaid mengatakan, angka kemiskinan naik tajam dalam situasi seperti ini.

“Tentu ini akan berdampak pada kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Buat makan saja susah, apalagi buat bayar sekolah. Sebab, sekolah kita masih saja banyak bayar pungutan ini dan itu. Mendapatkan akses sekolah adalah hak dasar warga negara, jadi ini harus dijamin, jangan malah diabaikan,” ujar Ubaid.

Kedua, muncul ancaman sekolah gulung tikar. Sebab, tidak semua sekolah itu negeri, banyak juga yang swasta. Belum lagi madrasah, yang mayoritas adalah swasta.

“Hampir 56% sekolah swasta di Indonesia mengalami kesulitan biaya operasional (Jejak pendapat, Kemendikbud, 2020). Kalau ini dibiarkan, ada banyak guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik, yang terlantar,” paparnya.

Ketiga, ancaman depresi massal. Ubaid menuturkan, hal ini bisa melanda semua pihak di sekolah, mulai dari anak, orang tua, guru, kepala sekolah, dan lainnya. Kurikulum pembelajaran kita saat ini masih mengacu pada pendidikan normal. Akibatnya, guru harus mengajar tiap hari, anak-anak mengerjakan tugas banyak tiap hari, dan juga orang tua harus damping anak tiap hari.

“Padahal mereka juga harus menghadapi situasi yang serba sulit. Belajar model seperti ini tidak boleh diterus-teruskan, harus segera dihentikan, lalu harus ada panduan dan kurikulum belajar dalam kondisi darurat. Jika situasi ini dibiarkan, depresi massal akan terjadi dan tubuh kian rentan terhadap virus,” kritik Ubaid.

“Ini semua bisa terjadi karena pemerintah masih abai terhadap sektor pendidikan dalam situasi pandemi,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER