Pemilihan Anggota BPK: Drama, Kadaluarsa dan Potensi Cacat Hukum

0
222

Oleh: A. Prasetyo*

Hari ini, Rabu 25 September, Komisi XI DPR berencana memilih 5 (lima) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2019-2024. Pemilihan anggota BPK kali ini dapat dikatakan merupakan pemilihan dengan proses paling buruk dan ceroboh. Terhitung sembilan kali sejak 2007, pemilihan anggota BPK berjalan normal dan wajar. Tetapi di tahun ini, bertepatan dengan akhir jabatan anggota DPR periode 2014-2019, muncul berbagai fenomena yang memantik kritik dari publik.

Pertama, banyaknya politisi atau kader partai yang turut meramaikan bursa pemilihan. Dari 64 pendaftar, setidaknya terdapat 15 kader partai yang terdaftar dan sebagian besar merupakan calon legislatif (Caleg) DPR yang gagal menuju Senayan. Sebagai informasi, dari 9 anggota BPK saat ini terdapat 5 anggota yang memiliki kedekatan dengan partai.

BPK sebagai lembaga tinggi negara memiliki peran dan kewenangan strategis. Sangat disayangkan apabila didominasi pimpinan dengan latar belakang partai politik. Apakah hal ini tidak berbenturan dengan prinsip BPK itu sendiri yaitu integritas, independensi, profesionalisme?

Kedua, aroma dugaan suap atau politik uang. Dugaan ini diperkuat dengan mekanisme pemilihan berupa voting, di mana konon 1 anggota Komisi XI dapat memilih 5 calon sekaligus. Melalui mekanisme ini, sangat berat bagi figur profesional maupun dari internal BPK untuk lolos.

Sumber daya calon akan terfokus melakukan berbagai pendekatan (lobi) terhadap 10 fraksi di Komisi XI. Apalagi jika itu dilakukan dengan sistem paket. Mekanisme ini jelas menguntungkan calon dari partai apalagi si calon masih duduk sebagai anggota DPR.

Ketiga, Komisi XI membuat aturan sendiri yang tidak lazim berupa penilaian makalah. Singkatnya, dari hasil uji makalah dinyatakan hanya 32 calon dari 62 pendaftar yang berhak mengikuti uji kepatutan dan kelayakan. 30 orang lainnya dinyatakan gugur alias didiskualifikasi.

Poin ketiga ini pada gilirannya menjadi pemicu masalah. Selain tidak ada payung hukumnya, baik di UU BPK, UU MD3 maupun di Peraturan DPR tentang Tata Tertib, penilaian makalah juga tidak ada sejarahnya dalam setiap pemilihan anggota BPK.

Drama

Ketiga persoalan mendasar di atas dibalut degan drama politik dalam tiga bulan terakhir. Drama diawali ketika awal Juli lalu Komisi XI berinisiatif melakukan penilaian makalah sebagai salah satu syarat calon. Inisiatif itu jelas mengagetkan. Apalagi, dalam pemilihan anggota BPK belum diatur mengenai pembentukan panitia seleksi (Pansel) seperti Pansel Capim KPK dengan tahapan penilaian yang jelas dan terukur.

Walhasil, dari penilaian makalah itu dinyatakan 32 calon lolos passing grade untuk diserahkan kepada DPD melalui Pimpinan DPR. Menyikapi persoalan ini, Pimpinan DPR menolak hasil rekomendasi Komisi XI dan menyarankan agar mengirimkan semua nama calon sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan tata tertib DPR. Atas saran itu, Komisi XI tetap bersikukuh pada pendirian dan mengirimkan kembali 32 nama calon. Karena tidak mencapai titik temu, Pimpinan DPR melakukan rapat konsultasi bersama Pimpinan Komisi XI dan fraksi-fraksi, dengan hasil agar perselisihan tersebut diselesaikan di internal komisi.

Untuk ketiga kalinya, Rapat Internal Komisi XI yang dilaksanakan pada 27 Agustus memutuskan tetap merekomendasikan 32 nama calon. Uniknya, rekomendasi tersebut dihasilkan dari pemungutan suara (voting) fraksi-fraksi. Di mana 6 fraksi setuju dengan 32 calon dan 4 fraksi setuju 62 calon. Tetapi, Fraksi PKB pada 28 Agustus mengirimkan surat yang berisi menarik keputusan mendukung 32 calon. Sehingga posisi fraksi yang mendukung 32 calon dan 62 calon berimbang.

Hasil Rapat Internal Komisi XI itu kemudian diteruskan pada 29 Agustus oleh Pimpinan DPR kepada Pimpinan DPD. Tetapi, Pimpinan DPD dibuat bingung karena Pimpinan DPR menyorongkan dua daftar calon Anggota BPK yaitu 62 calon dan 32 calon. Pada 30 Agustus Pimpinan DPD membalas surat tersebut yang berisi meminta kepastian satu daftar nama. Sampai akhir Agustus, perdebatan mengenai 32 calon dan 62 calon belum ada titik temu antara Komisi XI, Pimpinan DPR, dan Pimpinan DPD.

Dalam suasana deadlock, Komisi XI melakukan hal yang tidak umum. Mereka “memaksakan” agenda fit and proper test 32 calon Anggota BPK pada 2-5 September. Disebut tidak umum karena uji kepatutan itu dilaksanakan sebelum DPD memberikan pertimbangan. Upaya itu sontak mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan, tak terkecuali dari internal DPD.

Sementara, uji kepatutan berlangsung di Komisi XI, Pimpinan DPR membalas surat dari Pimpinan DPD yang intinya agar DPD melaksanakan uji kepatutan terhadap 62 calon. Tetapi, yang membuat bingung untuk kesekian kali, berkas administrasi yang disodorkan kepada DPD bukanlah 62 berkas, tetapi hanya 32 berkas nama. Walhasil, DPD tidak mau memproses uji kepatutan apabila berkas yang diterimanya tidak komplit. Dalam situasi demikian, akhirnya Pimpinan DPR pada 13 September mengirimkan 30 berkas tambahan disertai jadwal uji kepatutan yang diagendakan pada 16-18 September.

Berikutnya, pada Sidang Paripurna tanggal 18 September 2019, DPD telah memutuskan hasil pertimbangan terhadap 62 calon dan merekomendasikan 15 calon untuk dipertimbangkan dipilih oleh DPR. Uniknya, dalam suratnya ke Pimpinan DPR, pihak DPD memberi “ultimatum” bahwa fit and proper test yang dilaksanakan DPR sebelum Pertimbangan DPD disampaikan kepada DPR RI, tidak sesuai dengan pasal 14, ayat (1), UU BPK RI. Karena itu, calon anggota BPK yang dipilih DPR cacat hukum.

Melalui “ultimatum” DPD dan kritik publik, akhirnya Komisi XI menunda pelaksanaan pemilihan anggota BPK yang sedianya akan dilaksanakan pada 19 September. Drama babak akhirnya, keputusan rapat internal Komisi XI menyatakan akan melakukan uji kelayakan susulan terhadap 30 calon yang nota bene tidak lolos penilaian makalah alias telah didiskualifikasi.

Mengapa Digugat?

Dengan latar drama seperti ditulis di atas, menjadi wajar apabila publik merasa gregetan dengan tingkah polah wakil rakyat di ujung masa jabatannya. Tidak ada salahnya juga apabila beberapa elemen masyarakat berencana akan menggugat dan melaporkan dugaan pelanggaran selama proses seleksi anggota BPK.

Beberapa alasan mendasar pengajuan laporan dan gugatan tersebut antara lain:

Pertama, BPK adalah lembaga tinggi negara yang dibentuk oleh UUD 1945. Karena itu, proses seleksi pejabatnya harus dilakukan secara profesional agar mendapatkan anggota BPK yang memiliki integritas, independensi dan profesionalisme. Namun, DPR yang ditugaskan oleh UU untuk memilih anggota BPK justru memperlihatkan sikap sebaliknya yang justru kontraproduktif.

Dengan kalimat lain, DPR telah sedemikian rupa mempermainkan seleksi pejabat tinggi negara melalui berbagai manuver sehingga berpotensi merugikan rakyat secara luas.

Kedua, ketidakprofesionalan DPR dalam pemilihan anggota BPK ditunjukkan dengan pelanggaran terhadap prosedur dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh UU dan Peraturan DPR. Misalnya, inisiatif melakukan penilaian makalah yang tidak memiliki payung hukum. Meski pada akhirnya Komisi XI melakukan uji kepatutan terhadap semua peserta, tetapi mereka telah meninggalkan legacy yang buruk, terlebih telah menabrak peraturan perundang-undangan. Satu lagi, upaya melakukan uji kepatutan dan kelayakan dengan mendahului uji kelayakan dan kepatutan oleh DPD merupakan tindakan yang illegal.

Ketiga, Komisi XI telah melakukan pelanggaran terhadap UU BPK Pasal 14 ayat (4) karena telah melewati batas waktu pemilihan anggota BPK yang baru. Di dalam pasal itu dijelaskan, DPR harus menyelesaikan pemilihan anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama. Tanggal 16 September 2019 adalah tenggat batas waktu akhir pemilihan anggota BPK mengingat peresmian pengangkatan anggota BPK periode 2014-2019 adalah tanggal 16 Oktober 2014.

Itu artinya, produk yang dihasilkan DPR dalam pemilihan anggota BPK periode 2019-2024 telah kadaluarsa (expired) karena itu berpotensi cacat hukum. Dalam kondisi demikian, publik dapat menggugat keabsahan anggota BPK terpilih, karena dihasilkan dari proses yang menyalahi UU.

Di sisi lain, publik perlu mengingatkan Presiden Jokowi mengenai fenomena ini. Jangan sampai Presiden terkena “jebakan batman” yang dilakukan oleh politisi Senayan. Terlalu berisiko jika Presiden menerbitkan Keppres sementara produk yang dihasilkan DPR dinilai cacat hukum.

*Penulis Adalah Direktur Eksekutif Pusat Kajian Keuangan Negara & Koordinator Solidaritas Selamatkan BPK