Senin, 13 Mei, 2024

Pengamat: Tak Ada Urgensi Menaikkan Tarif Listrik

MONITOR, Jakarta – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada, Fahmy Radhi menuturkan, tidak ada urgensi bagi Pemerintah untuk menaikkan tarif listrik, bahkan ada peluang untuk penurunan tarif pada tahun depan sehingga tidak ada kenaikan tarif listrik sepanjang 2020.

“Berdasarkan kecendrungan penurunan Indonesian Cride Price (ICP), penguatan kurs rupiah terhadap Dollar AS, dan stabilitas inflasi, penurunan harga energi premier, utamanya harga Batu Bara dan Gas, serta efisiensi yang dilakukan PLN selama ini, maka Harga Pokok Penyediaan (HPP) mestinya mengalami penurunan yang signifikan. Dengan HPP listrik itu, penetapan tarif dengan menggunakan automatic adjustment mestinya tidak ada kenaikan tarif listrik pada 2020,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (7/9).

Untuk itu, lanjut dia, Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 tentang penetapan DMO harga batu bara sebesar US$ 70 per matric ton baru harus diperpanjang hingga akhir 2020.

Kendati Pemerintah dan DPR telah menyetujui penurunan subsidi energi hingga Rp 12,6 triliun, yang terdiri dari penurunan subsidi listrik Rp7,4 triliun, subsidi BBM Rp 115,6 miliar, subsidi LPG Rp 2,6 triliun dan kurang bayar Rp 2,5 triliun. Fahmy meyakini Pemerintah todak harus menaikkan tarif listrik, harga premium dan LPG.

- Advertisement -

“Penurunan subsidi itu lebih disebabkan adanya koreksi terhadap asumsi harga minyak dunia yang mempermudah ICP, semula ICP ditetapkan sebesar US$ 65 per barel dikoreksi menjadi US$ 63 per barel. Koreksi itu berpengaruh terhadap postur pendapatan dan belanja dalam RAPBN 2020, termasuk penurunan alokasi subsidi energi,” terangnya.

Selain itu, mulai awal tahun depan PT PLN (Pesero) akan menerapkan kembali automatic adjustment bagi 12 golongan pelanggan listrik, termasuk seluruh pelanggan 900 VA. Automatic adjustment adalah mekanisme penyesuaian tarif listrik secara otomatis, yang digunakan PLN dalam menetapkan penaikan atau penurunan tarif listrik. Dasar yang digunakan dalam adalah varibel pembentuk Harga Pokok Penyediaan (HPP) listrik, terdiri: ICP, inflasi, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan harga energi primer, yang membentuk HPP. 

“Penyesuaian tarif listrik otomatis itu berdasarkan variabel pembentuk HPP tersebut bisa menyebabkan tarif listrik naik, tetapi bisa pula tarif listrik turun, tergantung besaran  variabel pembentuk HPP. Kalau mencermati variabel pembentuk HPP listrik pada 2019, ada kecenderungan mengalami penurunan dan penguatan,” papar Fahmy.

ICP cenderung turun pada kisaran US$ 63 per barel, lebih rendah dibandingkan dengan harga asumsi ICP di APBN yang ditetapkan sebesar US$ 65 per barel. Kurs tengah rupiah terhadap dolar (AS) hingga Agustus 2019 cenderung menguat mencapai rata-rata Rp. 14.148 per satu dollar AS, lebih kuat ketimbang asumsi APBN 2019 dan RKAP PLN yang ditetapkan sebesar Rp 15.000 per satu dollar AS. Inflasi Agustus 2019 diprediksikan hanya 0,12% per bulan, atau sekitar 3,12% YOY sepanjang 2019. 

Selain ketiga indikator itu, variabel biaya energi primer yang menentukan HPP listrik cenderung tetap, bahkan beberapa beberapa harga energi primer  mengalami penurunan. Berdasarkan keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) harga Batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan sebesar US$ 70 per metric ton, yang diberlakukan per 12 Maret 2018 hingga Desember 2019. Dengan DMO harga Batubara  sebesar itu, beban HPP listrik dapat diturunkan, mengingat PLN masih menggunakan batu bara sebesar 57% dari total bauran energi primer. 

“Demikian juga dengan harga gas, yang proporsi energi primer digunakan PLN sebesar 8%, juga cenderung menurun. PLN sudah menggunakan energi primer gas di mulut sumur sebesar maksimum 14,5% di plant gate pembangkit listrik, sehingga harganya lebih lebih rendah. Efisiensi yang dilakukan PLN, seperti susut jaringan dan operasional keuangan, juga telah menurunkan HPP listrik selama 2019,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER