Oleh: Velix V. Wanggai*
Sejenak melupakan hiruk pikuk politik nasional kekinian, perjalanan singkat ke Sorong, Papua Barat, pada 24 Mei untuk berbagi pandangan soal kampung di Tanah Papua. Sebelumnya, pada 17 Mei lalu, bersama Leroy Samy Uguy, PhD, Direktur Pendayagunaan SDA dan TTG, Kemendes, berbagi pandangan soal kampung di Jayapura. Perjalanan ini bersama kolega-kolega dari Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, tim International Fund for Agriculture Development (IFAD-UN).
Sebagai sebuah renungan kepada policy makers di tingkat nasional, dimana berbagai agenda kebijakan nasional desa di kemas dengan perspektif makro. Namun, dari pandangan Daerah, selalu dihadapkan dengan kontekstual daerah (Papua) yang ternyata membutuhkan sentuhan kekhususan di dalam mengelola kampung dalam payung Otonomi Khusus. Apalagi saat ini, data Bappenas dan Kemendes menunjukkan peta kampung-kampung di Tanah Papua dalam status “merah” yang diklasifikasikan sebagai kampung yang sangat tertinggal dan tertinggal. Hanya sedikit yang mulai beranjak menuju kampung berkembang. Hal ini ternyata paralel dengan situasi kabupaten tertinggal yang masih banyak di Tanah Papua, sehingga menjadi agenda penting di tahun 2020-2024.
Dialog panjang seharian pada 24 Mei, menyisahkan pekerjaanrumah yang terasa tak ringan. Benarkah kampung-kampung tertinggal di Tanah Papua ini tak bisa beranjak dari ketertinggalan? Padahal mereka hidup di tengah-tengah kekayaan alam yang cukup berlimpah, potensi sumber daya alam yang bernilai strategis, potensi geo-wisata yang cantik atau potensi tanah yang cocok dengan komoditas yang ekonomis.
Lantas kita harus memulai dari mana untuk mengubah situasi ini? Ketika kita tarik dalam perjalanan sejarah, wilayah kepulauan Maluku dan Papua menjadi incaran kekuatan global dalam mencari komoditas rempah baik cengkeh dan pala. Komoditas pala dari Kabupaten Fakfak telah laris di pasaran luar negeri, sehingga masyarakat Fakfak mengenal dengan istilah “uang besar”. Artinya, mereka memperoleh pendapatan yang cukup tinggi.
Kini, sentuhan inovasi apa yang harus dilakukan untuk membangkitkan kembali komoditas-komoditas unggulan lokal yang ada di tengah-tengah masyarakat. Potensi wisata yang ada juga belum dioptimalkan untuk kemanfaatan masyarakat di kampung. Sebut saja, sovenir, kuliner lokal atau produk lokal kampung belum muncul di Raja Ampat sekalipun, yang terkenal di seluruh dunia. Potensi sagu yang ada tidak pernah dikemas sebagai produk pasca panen dengan package yang layak dan menarik. Ini sekilas cerita yang diangkat oleh seorang pimpinan daerah di Papua Barat.
Alokasi Dana Desa adalah investasi. Dengan jumlah kampung sebanyak 1.742 kampung, alokasi Dana Desa ke Papua Barat meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun 2018 sekitar Rp 1.3 Triliun dan meningkat menjadi Rp 1.5 Triliun di tahun 2019 ini. Demikian pula, Dana Desa yang mengalir ke Provinsi Papua meningkat tiap tahun. Di tahun 2019 ini alokasi Dana Desa mencapai Rp 4.8 Triliun untuk sekitar 5.411 kampung. Namun, sahabat pimpinan daerah menyadari bahwa hingga saat ini belum memiliki data yang lengkap perihal apa saja hasil (output) dari penggunaan Dana Desa di Papua Barat. Disimpulkan bahwa alokasi dana untuk pengembangan ekonomi lokal masih sangat sedikit. Konsekuensinya, ekonomi lokal tidak tumbuh, basis produksi di akar rumput tidak muncul, karena intervensi dana yang terbatas dan tanpa Pendamping yang intens.
Dari pertemuan di Sorong ini, sejumlah saran muncul untuk sentuhan kampung di Papua Barat. Sebelumnya, ketika di Jayapura, pada 17 Mei, juga muncul sejumlah saran.
Pertama, muncul ide menarik dari sahabat dari Kabupaten Fakfak untuk perbaikan kebijakan di level makro di nasional, guna perbaikan kebijakan perencanaan dana desa, regulasi pemanfaatan dana desa dan skenario alokasi dana kampung yang harus kontekstual Papua. Dengan kesiapan sosial yang terbatas dan kapasitas aparat desa yang lemah, muncul ide agar formula dana desa ke Papua baiknya tidak semua ditujukan langsung ke desa, namun ada pula alokasi dana desa yang diberikan ke pemerintah daerah untuk membangun desa dengan tetap membangun konsensus bersama dari hasil musyarawah bersama antara Pemda – masyarakat desa/kampung. Mengingat kapasitas aparat pemda yang lebih mumpuni dan level governance lebih tertata. Misalnya, Pemda mengelola 20 persen dari alokasi Dana Desa. Intinya, perlunya Pemda ikut serta dalam mengelola Dana Desa dengan pola kolaboratif dan inklusif. Hal ini berguna untuk tetap menjaga kelayakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang harus hadir di level desa/kampung.
Kedua, sentuhan lain yang perlu dibenahi adalah perlunya pendekatan whole-of-governance (WOG) dari berbagai lintas kementerian/lembaga di Jakarta dan Pemda di Papua Barat dan Papua dalam mendorong pembangunan kampung atau memacu potensi kampung tumbuh dan berkembang. Sahabat dari Manokwari Selatan memperkuat pandangan kami bahwa desa/kampung ibarat “pasar malam” dengan berbagai skema program dan aliran dana dari berbagai kementerian yang turun ke kampung. Dititik ini, dibutuhkan koordinasi, sinergisitas dan keterpaduan langkah dari pelbagai pihak dalam melihat kampung dengan semua sentuhan yang bernapas pemberdayaan kampung.
Ketiga, muncul ide agar dibutuhkan penguatan distrik (kecamatan) yang konteks ke-Papua-an. Terminologi Distrik lahir sebagai bagian dari hadirnya UU No. 21/2001 Otsus Papua. Namun, apa yang berbeda dari nama baru Distrik, dan apa yang berbeda dengan nama Kecamatan.
Dengan setting geografi yang luas, kampung yang tersebar tidak merata dan terbatasnya struktur organisasi desa/kampung di Tanah Papua, merupakan alasan yang realistik untuk memperkuat peran Distrik di dalam memastikan pembangunan kampung dengan pendekatan kewilayahan. Distrik sebagai peran integrator dan fasilitator lintas kampung. Misalnya, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) tidak mesti hadir di setiap kampung, namun hanya dihidupkan di kluster kampung yang dipusatkan di Distrik tertentu yang aksesibilitas layak. Dan peran lainnya yang berguna dalam membantu aparat Kabupaten yang rentang kendali begitu jauh dan jumlah personil di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK) yang terbatas. Dengan demikian, diperlukan kerangka regulasi dalam penguatan Distrik kontekstual Papua.
Keempat, sederet upaya dari pemerintah, khususnya Kementerian Desa, Bappenas dan International Fund for Agriculture Development (IFAD) dalam skema Program Pembangunan Desa Mandiri (PPDM) sebetulnya menunjukkan hasil yang menggembirakan. Walaupun masih banyak pekerjaan rumah, namun ada secercah harapan. Di sejumlah kampung sebagai lokasi PPDM, telah hadir usaha teripang, rumput laut, budidaya ikan kerapu, pengolahan pala, kopi, pengolahan buah merah, abon ikan, minyak kelapa, vanili, dan beberapa komoditas lainnya.
Ternyata kata kuncinya adalah peran pendamping/fasilitator Orang Asli Papua yang sangat telaten menemani masyarakat kampung, sejak bangun tidur hingga larut malam. Ekonomi tidak hanya sekedar memilih komoditas semata dan urusan pemasaran, namun sangat penting adalah perubahan sosial, penyesuaian pola hidup dan kebiasaan. Kesiapan sosial menjadi prasyarat dari lompatan ekonomi dan pertumbuhan produksi.
Disinilah, terasa urgen dan mendasar, sebuah kebutuhan atas Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu (TEKAD).
Transformasi ekonomi haruslah didasari oleh transformasi sosial dan budaya (social transformation). Potensi sosial masyarakat kampung adalah modal sosial. Keterbatasan adalah realitas yang kita terima. Namun, masyarakat kampung juga memiliki local wisdom yang hidup lama di dalam mengelola potensi ekonomi. Di antara warga kampung pasti ada perilaku dan pemikiran yang kreatif sebagai local entrepenuers baru di kampung. Ini adalah modal sosial yang harus digali dalam menumbuhkan basis produksi.
Transformasi juga di arena produksi (productive transformation). Potensi alam yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, adalah bahan mentah (input) yang harus diolah ke tahap proses dan output. Sagu tidak hanya sekedar bahan untuk membuat papeda dan sagu bakar, namun sagu menyimpan sederet produksi yang dapat diolah menjadi produk yang bervariasi. Juga, dengan komoditas lokal lainnya yang bernilai ekonomi tinggi. Artinya, komoditas lokal di tingkat kampung di Tanah Papua sebenarnya memiliki peluang pasar dengan global supply-chain.
Transformasi juga melekat dengan perubahan kelembagaan (institutional transformation). Dibutuhkan sebuah common platform dari berbagai stakeholders dalam memaknai planning, regulasi, kewenangan dan urusan, fiskal framework, skema penyaluran dan pola perencanaan dan penggunaan dana desa dan platform bersama dalam membangun desa/kampung di Papua.
Artinya, dibutuhkan keterpaduan langkah tanpa menegasi peran dari setiap agent, policy makers, birokrasi dan para pihak lainnya. Collaborative governance menjadi pendekatan baru dari transformasi ekonomi kampung. Termasuk berkolaborasi dengan para startup business kaum muda Indonesia yang konsen dengan ekonomi lokal. Sahabat, juga Senior, Mas Samsul Widodo, Dirjen Pembangunan Daerah Tertinggal di Kemendes, PDT dan Transmigrasi, adalah sosok policy maker yang intens mendekatkan produksi ekonomi kampung dan pasar melalui jaringan digital platform.
Demikian pula, perlu ada ‘territorial transformation’. Kampung tidak berada di ruang hampa. Di sana ada wilayah budaya, hak ulayat, heritage culture, investasi ekonomi skala global, hutan negara, hutan adat, dan rencana penataan ruang oleh negara. Artinya, membangun kampung haruslah didekati dengan pendekatan kewilayahan. Apalagi setting sosial kampung di Tanah Papua yang berbeda di pulau Jawa. Satu kampung dengan 50 KK, dan tersebar tidak merata, haruslah didekatkan dengan konektivitas akses Trans Papua untuk membuka isolasi wilayah, mendekatkan pasar hasil produksi dan pelayanan sosial dasar. Produks ikan yang besar terhambat dengan coldstorage dan energi lainnya. Artinya, kampung tidak hanya sekedar urusan mikro-spasial, namun perlu dikembangkan pula dengan pendekatan makro-sektoral.
Harapannya, program Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu (TEKAD) di Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Maluku dan NTT pada tahun 2020-2025, dapat menggerakkan perubahan yang berarti pada ekonomi kampung dan daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia. Dengan dukungan IFAD dan pengalamannya di berbagai negara sangat dinanti untuk melengkapi sentuhan kebijakan pemerintah. Meminjam istilah Abang Taufik Madjid, Dirjen Pembangunan Masyarakat Desa (PPMD), Kemendes, bahwa saatnya ‘revivalism’ ekonomi desa, hadirnya gerakan desa/kampung menjadi lebih populer dalam ekonomi nasional.
*Penulis adalah seorang aktivis, ahli hubungan internasional dan politisi Indonesia