MONITOR, Jakarta – Mulai tahun ajaran 2019/2020 pemerintah akan mengintegrasikan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) menjadi Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pengintegrasian data tersebut bertujuan untuk mendukung
program wajib belajar 12 tahun dan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dan sistem pendidikan lainnya yang berbasis zonasi.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI (LPA GENERASI) Ena Nurjanah menilai, integrasi data dari NISN menjadi NIK yang tercantum dalam nota kesepahaman antara Kemendikbud dan Kemendagri yang telah ditandatangani beberapa waktu lalu terlalu terburu-buru. Ini merupakan kejutan diawal tahun.
“Mengapa harus diganti? Apa yang mendasarinya? Mengapa kebijakan yang akan berpengaruh terhadap anak didik dan para orangtua murid di seluruh Indonesia begitu mudahnya ditetapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya? Begitu di buat MoU langsung dengan segera diimplementasikan,” kata Ena dengan penuh tanya melalui keterangan tertulis yang diterima MONITOR, Kamis 24 Januari 2019.
Menurut Ena, pemerintah tidak terlihat proses sewajarnya ketika membuat sebuah kebijakan, seperti melalui sosialisasi wacana, kajian, diskusi dengan berbagai pihak yang terdampak langsung dengan kebijakan ini, hasil penelitian yang kemudian didiskusikan agar menjadi kebijakan yang matang dan bukan asal-asalan.
“Perubahan dari NISN menjadi NIK tidak lah sesederhana MoU yang dibuat diatas selembar kertas. Di level pelaksana kedua kementerian tersebut harus benar-benar memahami dan menguasai secara tehnis bagaimana proses pengintegrasian tersebut berlangsung sehingga tidak merusak data siswa yang berdampak merugikan,” Imbuh Ena.
“Dan yang lebih penting lagi adalah kesepahaman antara kedua kementerian ditingkat pelaksanaannya, karena tanpa ada kesepahaman maka tidak akan pernah ada pelaksanaaan proram yang sukses,” Ena Menambahkan.
Lebih lanjut, Ena juga mempetanyakan yang ketika muncul permasalahan terkait NISN pada seorang anak, kemana orang tua harus mengadu? Karena, kebiasaan yang seringkali terjadi di satu kementerian saja persoalan tidak bisa tuntas karena solusinya di lempar kesana kemari. Sudah jelas terbayang beratnya beban para orangtua mengurus hak pendidikan anak-anaknya yang akhirnya berdampak pula pada hak-hak pendidikan anak yang terhambat.
“Ketika membahas tentang wajib belajar 12 tahun dan PPDB berbasis zonasi, masalah yang selalu menyeruak kepermukaan diantaranya adalah mengenai minimnya ketersediaan sarana dan prasarana sekolah yang cukup bagi semua anak Indonesia, jumlah sekolah negeri yang tidak memadai di setiap zonasi, pemenuhan hak pendidikan setiap anak yang masih kurang direspon secara maksimal oleh pemerintah daerah sehingga masih ditemui anak-anak yang tidak sekolah maupun yang putus sekolah, kecurangan yang banyak muncul ketika PPDB,”ujarnya
‘Hal-hal itulah yang menjadi penyebab program tersebut berjalan lambat ataupun kurang maksimal. Tidak pernah sedikitpun ada pembahasan tentang NISN ternyata harus diganti NIK agar semua program tersebut menjadi lebih baik,” Sambung
Langkah terbaik yang harus dilakukan pemerintah adalah menunda implementasi MoU tersebut. MoU dua kementerian tersebut masih terlalu dini. Pergantian NISN menjadi NIK tanpa ada pelibatan banyak pihak yang berinteraksi langsung dengan dunia pendidikan hanya akan menambah persoalan baru dan bukan solusi baru.
“Jangan sampai pemerintah mengorbankan hak pendidikan anak-anak dengan membuat kebijakan yang begitu sumir,”tutup Ena.