PENDIDIKAN

Cegah Hoaks, FSGI Desak Pelaksanaan Pelatihan Kritis bagi Guru

MONITOR, Jakarta – Belakangan ini, Polri menetapkan tersangka kasus penyebaran berita hoaks terkait pencoblosan 7 kontainer surat suara. Mirisnya, tersangka hoaks merupakan guru SMP di sebuah sekolah swasta di Cilegon, Banten. Bahkan diduga, oknum guru tersebut merupakan simpatisan salah satu pasangan capres.

Pada bulan Februari 2018 silam, juga ada oknum guru di Banten yang jadi tersangka karena menyebarkan hoaks soal PKI. Begitu juga oknum dosen di Medan.

“Rentetan kasus oknum guru (termasuk dosen) yang menyebarluaskan berita hoaks di atas, membuat keprihatinan yang mendalam bagi FSGI. Sebab guru dan dosen sejatinya adalah intelektual, yang lekat dengan nilai-nilai akademis, ilmiah, objektif, rasional dan kritis. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Guru berpikir dan bertindak tidak rasional dan tidak kritis lagi,” ungkap Satriwan Salim selaku Wasekjen FSGI, Sabtu (12/1).

Untuk itu, FSGI mendesak pemerintah dalam hal ini Kemendikbud untuk memberikan pelatihan keterampilan berpikir tingkat tinggi, yang di dalamnya terdapat keterampilan berpikir kritis atau critical thinking bagi para guru.

“Berpikir kritis tidak hanya ditujukan kepada siswa (untuk menjawab soal Ujian Nasional), tetapi juga bagi para guru,” terangnya.

Lebih lanjut Satriwan mengatakan adanya oknum guru yang suka menyebarkan berita berkonten hoaks dan hate speech, mengindikasikan jika keterampilan berpikir kritis ini belum sepenuhnya dipahami dan diimplementasikan oleh para guru di ruang kelas sehari-hari.

Ia juga menilai, keterampilan berpikir tinggi berisikan; berpikir kritis, problem solving, kemampuan membandingkan, menganalisis, menilai dan mencipta (berkarya) masih jauh dari keseharian guru.

Selanjutnya, FSGI melihat fenomena penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian di masyarakat, bahkan dilakukan oknum terdidik seperti guru, menandakan jika kemampuan literasi guru juga masih rendah.

Gerakan Literasi Sekolah yang diinisiasi pemerintah selama ini, kata dia, lebih menargetkan siswa sebagai pelaku literasi di sekolah dengan skema pembiasaan membaca sebelum belajar dan budaya membaca di sekolah. Tapi yang sebenarnya jauh lebih urgen adalah “literasi digital” yang bersifat kritis bagi guru.

“Guru tak hanya dituntut rajin membaca buku (di luar buku teks pembelajaran), tetapi wajib memiliki keterampilan literasi terhadap penggunaan media sosial (digital). Guru seharusnya tidak mudah percaya dengan apa yang disuguhkan oleh internet, tetapi mekanisme berpikir kritis dan verifikatif harusnya lebih dulu dilakukan. Jika ada berita yang belum valid kebenarannya bisa dipastikan dulu,” pungkasnya.

Recent Posts

Soeharto Diberi Gelar Pahlawan, DPR Singgung Pelanggaran HAM Orde Baru

MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira menyoroti keputusan Pemerintah…

24 menit yang lalu

Gelar Pahlawan Soeharto Skandal Terbesar Era Reformasi

MONITOR, Jakarta - Lembaga kajian dan aktivisme demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai pemberian…

2 jam yang lalu

Komisi IX DPR Apresiasi Komitmen BGN Tutup Permanen SPPG

MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris mengapresiasi Badan Gizi Nasional…

2 jam yang lalu

Sambut Mahasiswa Baru UNMI, Prof Rokhmin: Kalian adalah Generasi Emas Indonesia 2045

MONITOR, Jakarta - Universitas UMMI Bogor (UNMI) meneguhkan langkahnya menuju kampus berkelas dunia (World-Class University).…

3 jam yang lalu

Kemenimipas Perkuat Sistem Merit Berkelanjutan Lewat Model Mobilitas Talenta PNS

MONITOR, Jakarta - Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) secara resmi menetapkan model Mobilitas Talenta Pegawai…

3 jam yang lalu

Kemenperin Tingkatkan Utilisasi Industri Refraktori Nasional

MONITOR, Jakarta - Industri manufaktur atau sektor Industri Pengolahan Non Migas (IPNM) kembali menunjukkan kinerja…

4 jam yang lalu