Jumat, 29 Maret, 2024

Mahyudin: Pemilu Harus Menghasilkan Pemimpin dan Wakil Rakyat yang Berkualitas

MONITOR, Jakarta – Wakil Ketua MPR Mahyudin menyebut diskusi yang digelar di Press Room hari kamis 22 November 2018, dengan tema ‘MPR Rumah Kebangsaan Pengawal Ideologi Pancasila dan Kedaulatan Rakyat’, merupakan acara yang menarik. Diuraikan, bila melihat MPR sebelum UUD Tahun 1945 diamandemen, lembaga ini merupakan representasi dari seluruh rakyat Indonesia.

Di lembaga tertinggi tersebut selain ada calon yang dipilih lewat Pemilu, juga ada anggota yang diangkat untuk mewakili utusan daerah dan golongan. “Di lembaga ini anggota MPR melakukan musyawarah”, tuturnya.

Selepas UUD Tahun 1945 diamandemen, hal demikian tak terjadi lagi. Disebut MPR menjadi lembaga negara setara dengan DPR, DPD, MK, KY, MA, BPK, dan lembaga negara lainnya. Anggota yang diangkat yakni utusan daerah dan golongan pun tak ada.

“Sekarang semua anggota MPR dipilih lewat Pemilu,” ungkapnya.

- Advertisement -

Hal demikian bisa terjadi karena angota MPR adalah gabungan anggota DPR dan DPD di mana kedua lembaga negara itu semua anggotanya dipilih lewat Pemilu.

Dengan sistem Pemilu, Mahyudin menyebut ada kelompok, golongan, dan komunitas masyarakat lain yang tak terwakili di MPR. “Sekarang kita tak lagi melihat representasi semua masyarakat di MPR,” ucapnya.

Pria asal Kalimantan itu mengakui sistem Pemilu ada nilai positif dan negatifnya. Dari segi positif, dikatakan rakyat bisa memilih atau menentukan siapa saja wakil rakyat atau pemimpin yang dikehendaki. Namun di sisi yang lain, orang yang tidak pantas pun bisa menjadi wakil rakyat bila ia memperoleh suara yang cukup.

Dijelaskan bila kondisi masyarakat sudah cerdas dan perekonomian telah mapan maka Pemilu yang terjadi menghasilkan sesuatu yang ideal namun ketika di lapangan kondisi masyarakat terjadi sebaliknya sehingga membuat terjadinya praktek money politic, pembagian sembako, dan praktek lain yang serupa maka hal demikian akan menyebabkan hanya orang-orang yang bermodal yang bisa menjadi wakil rakyat.

“Banyak kader yang berkualitas tak terpilih karena tak punya modal,” ungkapnya.

Kondisi yang demikian, di mana hanya orang yang bermodal yang berpeluang besar menjadi wakil rakyat, menurut mantan Bupati Kutai Timur itu menyebabkan terjadinya penurunan kualitas parlemen. Dicontohkan sering dalam Rapat Paripurna DPR, kursi yang ada banyak yang kosong. Itu terjadi karena banyak anggota DPR menyebut tak ada hubungan antara rajin menghadiri rapat atau sidang dengan keterpilihan saat Pemilu.

“Menyedihkan bila saat rapat-rapat komisi tak ada orang,” tuturnya.

Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana sistem Pemilu yang ada diubah dengan lebih mengedepankan terpilihnya sosok-sosok yang berkualitas. Dalam kesempatan tersebut Mahyudin menyebut UU MD3 mengamanatkan kepada lembaga ini untuk Sosialisasi Empat Pilar.

Dalam sosialisasi disebut MPR tidak melakukan doktrinisasi. Saat ini dirinya mendengar survei bahwa ada potensi munculnya radikalisme di tengah masyarakat. Menyikapi hal demikian, Mahyudin mengatakan dengan sosialisasi diharap jumlah potensi radikalisme tidak meningkat dan yang belum terkena dampak radikalisme perlu dibentengi.

“Untuk pemerintah harus juga ikut melakukan sosialisasi,” ucapnya.

Irmanputra Sidin, Pakar Hukum Tata Negara, yang dalam kesempatan itu juga menjadi pembicara, berharap agar MPR menjadi rumah kebangsaan. Diakui tugas lembaga ini berat seperti mengubah dan menetapkan UUD, bisa memakzulkan Presiden, dan bisa memilih Presiden dan Wakil Presiden. Tugas berat inilah yang membuat MPR tak bisa disamakan dengan lembaga negara lain apalagi dengan kementerian.

Dengan anggota mencapai 692 orang, diakui tak mudah mengumpulkan orang sebanyak itu. “Beda dengan hakim MK yang jumlahnya sembilan,” tuturnya. Dirinya mengandaikan MPR bisa memantau kinerja Presiden. Namun diakui hal demikian sulit sebab struktur hukum yang ada sudah membatasi MPR. “MPR ke depan kehadirannya harus bisa dirasakan publik,” harapnya.

Diakui hasil amandemen UUD sudah berjalan 20 tahun. Dalam rentang waktu yang ada sudah terlihat banyak perubahan. Namun dalam perubahan itu diakui ada hal-hal yang membuat rakyat merasa tak nyaman dengan sistem yang berjalan. “Antar tetangga jadi bermusuhan gara-gara beda pilihan menjelang Pemilu Presiden,” ujarnya.

Dari sinilah akhirnya ada yang membenarkan sistem Pemilu jaman dahulu, sebelum UUD diamandemen. Sistem sebelumnya dirasa benar sehingga ada wacana kembali ke UUD Tahun 1945. Irman menyebut perlu dipikirkan kembali apa yang perlu diperbaiki. Meski demikian diingatkan tak ada UUD yang sempurna.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER