Kamis, 18 April, 2024

Memutus Korupsi Kepala Daerah

Oleh: Hasin Abdullah

Masalah korupsi bagaikan tumbuh-tumbuhan yang mati satu tumbuh seribu, pernyataan ini cukup linier dengan apa yang ditegaskan dalam buku berjudul (Jihad NU Melawan Korupsi: 2017) bahwa, “persoalan korupsi berbanding lurus dengan persoalan transparansi dan akuntabilitas. Karena itu, perang melawan korupsi harus selaras dengan upaya menumbuhkan kultur transparansi dan akuntabilitas.”

Nampaknya statement di atas mampu menguraikan kondisi birokrasi daerah atau kepala daerah saat ini cenderung tidak amanah terhadap persoalan-persoalan pengelolaan anggaran (budgeting), baik itu pada masyarakat termasuk ke lembaga yang mempunyai wewenang. Dalam hal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengistruksikan pada pejabat negara agar melaporkan harta kekayaannya kepada penyelenggara Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).

Distransparansi ini yang kemudian memudahkan birokrat daerah atau kepala daerah kerap menyalahgunakan kewenangannya untuk melakukan prilaku koruptif atau pun suap, sehingga penyalahgunaan terhadap aturan hukum yang berlaku, ini dapat menjerat kepala daerah yang tahu hukum tapi tidak mau taat dan sadar hukum.

- Advertisement -

Padahal persoalan korupsi bukan hanya sekedar persoalan hukum yang harus dipidana sesuai ketentutan hukum yang berlaku, karena korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang membajak masa depan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan pembajakan para koruptor inilah dapat menggerogoti serta merugikan keuangan negara. Oleh karena itu, hadirnya KPK jangan hanya fokus pada penganganan perkara, tetapi bagaimana negara ini tidak bisa mengalami kerugian yang cukup besar.
Dan ini adalah sebuah catatan progresif bagi KPK karena beberapa bulan kemudian ada 18 kepala daerah terjaring oprasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Antara lain, Dirwan Mahmud, Abubakar, Andriatma Dwi Putra, Mustafa, Imas Aryumningsih, Marianus Sae, Nyono Suharli Suhandoko, Abdul Latif, Agus Feisal Hidayat, Tasdi, Syahri Mulyo, Muhammmad Samanhudi Anwar, Ahmadi, Irwandi Yusuf, Pangonal Harahap, Zainudin Hasan, Setiyono, dan Neneng Hasanah Yasin. (sumber. Liputan6.com). Ditambah lagi tertangkapnya Sunjaya, Bupati Cirebon, yang diduga melakukan praktik suap.

Urgensi Pendidikan Integritas
Korupsi pada dasarnya bukan orang yang dianggap sebagai aktor utama melakukan kejahatan dan merugikan perekonomian negara, tetapi prilaku koruptif ini timbul dari seseorang yang mempunyai jabatan tertinggi serta lemah dalam penguatan kapasitas terhadap kesadaran hukum dan integritas, sehingga berpotensi melakukan perbuatan yang tidak bermoral ini.

Sebab dalam manajemen kepemimpinan dalam lingkaran kekuasaan parameternya adalah kapasitas kesadarannya terhadap aturan yang mengatur, tak lepas dari masalah itu, juga pentingnya moral dan integritas agar masif digardakan oleh setiap pejabat negara yang mempunyai tanggung jawab penting dalam memajukan daerah, baik dari aspek keadilan atau pun kemakmuran.

Sedangkan dari sisi simbolik tentu kesadaran hukum pejabat negara karena mempunyai berbagai tingkatan pemahaman dalam beragama. Paling tidak, apabila pemahaman terhadap agama pun kuat maka integritas akan tetap terjaga dengan baik. Namun, apabila pemahaman agama lemah justru sebaliknya bukan menyalamatkan uang negara, tetapi malah mengkorupsi uang negara.

Bicara soal integritas, transpransi, akuntabilitas, dan kesadaran hukum, adalah hal penting bagi aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK) yang mempunyai tugas dan tanggung jawab signifikan agar memobilisasikan upaya gerakan moral dengan pola preventif, eradikatif, dan pola edukatif. Ketiga pola ini lebih awal dilaksanakan sebelum terjadi perbuatan korupsi.

Langkah Strategis Penegak Hukum
Memerangi prilaku skandal korupsi tidaklah cukup hanya dengan pola yang ada dalam teori penegakan hukum. Pertama, struktur hukum (legal structure). Kedua, substansi hukum (legal substance). Ketiga, kultur hukum (legal culture). Karena itulah tiga solusi ini harus sejalan seimbang (balance) dalam memutus generasi koruptor agar menghasilkan prestasi yang jelas.

Dan itu juga dengan tegas dikatakan dalam buku (Jihad NU Melawan Korupsi: 2017), bawah pola “memerangi korupsi tidak hanya bisa dilakukan aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Penegakan hukum hanya salah satu lini saja. Harus ada gerakan “mestakung” (semesta mendukung) untuk perang terhadap korupsi. Aparat penegak hukum tidak akan mampu sendirian maju ke medan laga melawan korupsi.”

Artinya dalam menangani persoalan korupsi aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK) dituntut melibatkan partisipasi masyarakat, generasi muda, LSM, dan lembaga pendidikan, agar semua elemen ini dapat menyuarakan akan pentingnya melawan korupsi. Menurut hemat penulis, ini adalah langkah awal serta solusi sinergis karena bisa melibatkan semua elemen penting tersebut.

Terutama sebagai negara hukum yang mendekati ajang pesta demokrasi yang akan melaksakan pemilihan legislatif (Pileg), dan pemilihan presiden (Pilpres), agar elemen-elemen yang terlibat juga mengkoordinasikan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU-RI) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu-RI) demi menghindari prilaku yang tidak bermoral ini, karena bagaimana pun pileg dan pilpres tersebut proses pergantian kepemimpinan. Di mana masyarakat harus cerdas memilih pemimpin yang memiliki kapasitas, integritas, moral, dan menjunjung tinggi kesadaran hukum.

*Penulis adalah Peneliti Muda UIN Jakarta.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER