MONITOR, Jakarta – Gubernur Jakarta Anies Baswedan beserta wakilnya Sandiaga Uno (Anies-Sandi) saat ini harus bekerja ekstra untuk mendapatkan laporan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pengelolaan keuangan daerah.
Masyarakat Jakarta pun menilai untuk mengejar opini WTP dalam laporan pengelolaan keuangan daerah tersebut tak semudah membalikan telapak tangan.
Ketua Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif dan Legislatif (Majelis) Sugiyanto menyarankan untuk bisa memenuhi targer WTP tersebut Anies- Sandi harus membenahi persoalan penataan aset di Ibukota.
Sugiyanto menilai kalau pengelolaan aset di Jakarta sangat berantakan.
“Saya sangat yakin sekali jika pengelolaan aset masih tak maksimal dan banyak masalah, sampai masa bhakti Anies-Sandi selesai di 2022 pun akan tetap mendapatkan WDP (wajar dengan pengecualian) dari BPK, karena pada 2013-2016, di era Gubernur Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pengelolaan aset DKI memang buruk.
Maka tak heran jika untuk hasil audit terhadap APBD 2013 BPK memberikan opini disclaimer saat itu. Sementara untuk hasil audit APBD 2014-2016 BPK memberikan opini WDP,” tutur Sugiyanto melalui sambungan telfon kepada MONITOR.
Nah saat Jakarta sekarang dipimpin Anies-Sandi, untuk APBD 2017 hasil auditnya dikabarkan akan diserahkan BPK Perwakilan DKI Jakarta pada Senin (29/5) mendatang.
Pihaknya memprediksi, BPK akan kembali memberikan WDP, karena 80% pelaksanaan APBD itu dilakukan di era Gubernur Ahok yang dilanjutkan oleh Gubernur Djarot Syaiful Hidayat.
“Untuk APBD 2007 Anies-Sandi menggunakan APBD itu setelah dilantik menjadi gubernur dan Wagub Jakarta periode 2017-2022 pada 16 Oktober 2017, jelas pengamat yang akrab disapa SGY ini.
Berdasarkan hasil audit BPK terhadap APBD 2016 diketahui kalau aset tetap Pemprov DKI hingga 31 Desember 2016 tercatat senilai Rp363,58 triliun. Dari jumlah ini, Rp284 triliun di antaranya berupa tanah, dan Rp24,1 triliuan berupa gedung dan bangunan.
Setelah dikurangi akumulasi penyusutan aset tetap sebesar Rp29,1 triliun, nilai aset tetap Pemprov DKI per 31 Desember 2016 tersisa senilai Rp334,4 triliun.
Meski demikian, soal pengelolaan aset ini BPK memberikan banyak sekali catatan buruk.
Apalagi karena di APBD DKI 2016 lembaga auditor negara itu menemukan adanya aset senilai Rp10 triliun yang tercatat di Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD. Namun, tak jelas dimana keberadaannya.
Berikut catatan-catatan yang diberikan BPK:
1. Pemprov DKI belum melakukan pengelolaan secara memadai atas akun aset lain-lain berupa fasos/fasum dari 720 lebih perusahaan pemegang SIPPT dengan lahan seluas 16,8 juta m2 (hasil audit APBD 2015).
2. Pemprov DKI belum menindaklanjuti secara memadai atas akun aset lain-lain (aset yang belum divalidasi) senilai Rp4,517 triliun (hasil audit APBD 2015).
3. Penataan penyusutan aset tetap belum memadai karena sistem informasi aset Pemprov DKI belum dapat diandalkan untuk penyusunan barang milik daerah dan laporan keuangan (hasil audit APBD 2016).
4. Proses pencatatan aset tetap yang berasal dari donasi pihak ketiga belum memadai (hasil audit APBD 2016).
5. Banyak pencatatan aset pihak ketiga tanpa disertai berita acara serah terima barang (hasil audit APBD 2016).
6. Penatausahaan aset tetap Pemprov DKI tidak memadai (hasil audit APBD 2016).
7. Pemprov DKI menyetujui lahan pengganti atas pelampauan koefisien dasar bangunan (KDB) yang tak punya dasar hukum dan belum memproses pelampauan KDB dan pengurangan penyertaan fasos/fasum oleh pengembang
SGY menjelaskan, akibat buruknya pengelolaan aset, saat ini banyak sekali aset DKI yang belum disertifikasi, dikuasai atau dimanfaatkan pihak tertentu, mengalami pencatatan ganda, dan tak jelas dimana keberadaannya, sehingga berpotensi hilang.
Contoh aset-aset bermasalah tersebut di antaranya aset berupa tanah milik Dinas Kelautan di Cengkareng, Jakarta Barat, yang pada 2015 dibeli Pemprov DKI Gubernur Ahok sebesar Rp668 miliar, sehingga menjadi urusan polisi, banyaknya tower mikrosel yang berdiri di lahan milik Pemprov DKI secara ilegal, sehingga tidak membayar pajak maupun retribusi.
“Yang menarik pembelian lahan RS Sumber Waras. Lahan itu sudah dibeli Rp 800 miliar, tapi sampai sekarang sertifikat HGB-nya belum diserahkan Yayasan Kesehatan Sumber Waras, sehingga belum bisa dicatat sebagai aset daerah,” imbuh aktivis yang juga politisi PAN itu.
SGY menyarankan, selain menjadikan masalah aset sebagai proritas, Anies sebaiknya juga melibatkan pakar dari eksternal Pemprov untuk mengatasi permasalahan-permasalahannya, karena bukan mustahil ada indikasi pidana di balik pengelolaan aset yang amburadul itu, khususnya di era Gubernur Jokowi, Gubernur Ahok dan Gubernur Djarot Saiful Hidayat (2012-2017).
“Yang harus selalu diingat Anies-Sandi adalah pendukung dan simpatisannya ingat betul 23 janji yang mereka ucapkan saat kampanye. Maka, jika Anies-Sandi gagal mendapatkan WTP, maka kepercayaan pendukung dan simpatisan akan merosot. Bahkan tidak menutup kemungkinan para pendukung itu putar arah menjadi oposisi,” pungkas Sugiyanto.