MONITOR, Jakarta- Ratusan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Korban Reklamasi (Akar) mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Mereka menuntut dibuka kembali persidangan perkara gugatan class action atas ulah pengembang yang tak taat aturan hukum.
Menurut kordinator Akar, Bobby KC, dalam persidangan hakim selalu menganjurkan pada penggugat supaya tidak meneruskan kasus itu. Padahal seorang hakim tidak selayaknya berbicara diluar dari kontek isi kasus yang disidangkan.
“Kita berharap hakim tidak main-main dalam menyidangkan kasus ini. Hakim tidak layak meminta supaya gugatan ini dicabut,” kata Bobby dalam orasinya di halaman gedung PN Jakarta Utara, Senin (7/5/).
Seorang hakim, kata dia harus mengutamakan penyelesaian kasus dalam sidang dan bukan menganjurkan untuk dihentikan. Persidangan yang sempat digelar sebanyak empat kali itu, tegas Bobby lebih berpihak pada tergugat. Alasan salah satu tergugat yang sudah meninggal disebutkan kasus tersebut akan lama selesai.
“Hakim dalam setiap sidang, malah berbicara kasus ini akan lama selesai, apalagi salah satu tergugat sudah meninggal. Itukan omongan yang mengada-ada,” tegas Bobby.
Semantara Diding nelayan di Muara Baru menilai, persidangan yang digelar penuh dengan intrik. Menurut Diding, hakim takut pada bos perusahaan reklamasi. Ada orang kuat dibelakang reklamasi.
Diding menambahkan, dalam sidang yang selalu diikuti dirinya baru melihat hakim yang selalu meminta kasus dicabut.
“Kita sudah berapa kali menggugat. Dua kali kami sidang. Hakim selalu bilang pak ini lama loh. Ketika tidak ada musyawarah untuk dicabut hakim malah memutus sidang. Hakim sudah masuk angin,” tegasnya.
“PT Kapuk Naga tidak sembarangan, ada Aguan dibelakang reklamasi. Dia bisa saja mempengaruhi kewenangan hakim, mengajak supaya dicabut,” tambah Diding.
Lebih lanjut Diding mengatakan dirinya akan terus berjuang demi penegakan hukum. Bahkan dia bersedia berhadapan dengan pengembang reklamasi untuk menunjukan kebenaran.
“Sampai kapanpun kami akan kejar. Semua melalui adaministrasi dengan jelas. Kami bisa pakai hukum rimba.Nelayan paling disengsarakan, kita tidak minta kompensasi kita hanya minta dihentikan,” ungkapnya.
Ditempat yang sama kuasa hukum nelayan Muhamad Taufiqurahman menilai, hakim sudah melanggar kode etik sidang. Tidak wajar hakim menganjurkan memutus sidang yang pada dasarnya belum selesai.
“Majelis hakim jangan intervensi. Majelis hakim jangan mengatakan harus dicabut. Kami sudah meminta klarifikasi,” kata Taufik.
Terkait hal yang dinilai melanggar kode etik persidangan, menurut Taufik hakim harus bertanggungjawab. Untuk itu pihaknya akan melaporkan ketiga hakim yang memimpin sidang yakni hakim ketua Sutaji SH, hakim anggota Sutejo Bomantoro, dan Didok Wuryanto ke Komisi Yudisial.
“Kami akan laporkan ketiga hakim itu ke Komisi Yudisial. Mereka terkesan berpihak pada tergugat,” tegas Taufik.
Taufik menambahkan, persidangan yang sudah diputus pada 25 april lalu harus kembali dibuka.
“Kami sudah layangkan surat pada Mahkamah Agung agar kasus gugatan itu dibuka kembali. Namun, belum ditanggapi. Masyarakat butuh keadilan,” pungkasnya.