MONITOR, Jakarta – Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai pencopotan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Elia Massa Manik dinilai tidak tepat. Menurutnya, pemerintah saat ini lebih mementingkan kebijakan populisnya untuk menekan harga BBM penugasan di tengah meroketnya harga minyak dunia.
“Harus ada penjelasan yang logis dari Pemerintah.Saya kira pencopotan tidak tepat karena Elia justru membela kepentingan korporasi agar tidak merugi,” kata Marwan di Warung Daun, Jakarta.(24/4).
Padahal, menurutnya, Elia selama ini yang terlihat menolak untuk menekan harga BBM, terutama BBM penugasan seperti Premium dan Solar semata mata untuk menjaga kerugian Pertamina yang ditujukan untuk dialihkan dalam membangun kilang minyak baru demi menjaga ketahanan energi nasional.
“Karena kita ini menjadi negara yang sudah net importir sejak 2004, dan akan terus bertambah, dan 2020 nanti bisa sampai 1,5 juta barel itu kita impor sebegitu banyak.” tambah dia.
Pengamat sektor energi itu menjelaskan pencopotan Dirut PT Pertamina mengarah politis karena beban untuk tidak menaikkan harga BBM.”Itu masalah politik, jika tidak boleh naik harga BBM harusnya anggaran untuk subsidi juga ditambahkan karena pertamina juga kesulitan dalam membangun kilang, anggarannya tertahan untuk menutup subsidi BBM,” jelas nya.
Lanjut lagi, pemerintah ingin kebijakan populis berupa penugasan bahan bakar minyak (BBM) tetap dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Di sisi lain, Pertamina merasa penugasan tersebut menimbulkan kerugian sehingga perusahaan melakukan sejumlah manuver. Salah satunya adalah dengan mengurangi pasokan Premium di wilayah yang jadi pengecualian berdasarkan Peraturan Presiden No 191 tahun 2014.
Menurut Marwan, keputusan Elia Massa mengurangi pasokan Premium dan Solar yang dianggap energi kotor, terutama di daerah-daerah bukan penugasaan, dalam hal ini di daerah Jawa, Madura dan Bali (Jamali), pada dasarnya sudah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 191 tentang penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran BBM serta Peraturan Menteri LHK tentang energi bersih dan ramah lingkungan sejak 2 tahun lalu.
“Jadi kalau ini lambat laun digantikan untuk diganti Pertalite mestinya konsisten dijalankan.Tapi karena kebijakan politik populis, apa yang sudah dicanangkan tidak dijalankan, malah siap membuat rakyat tidak sehat dengan memaksa BUMN (Pertamina) itu menjual premium yang tadinya Jamali tidak jadi penugasan malah tetap dimasukkan di situ,” tegasnya.