MONITOR, Jakarta – Keputusan KPU menggunakan kotak suara dari kardus menuai pro kontra oleh banyak kalangan. Padahal, keputusan tersebut merupakan hasil musyawarah mufakat komisi II DPR. Saat itu, semua fraksi mufakat secara ‘bulat’ dan tak ada yang walkout.
Tak hanya elit politik yang menentang ide KPU, masyarakat pun bertanya-tanya mengapa KPU memilih untuk menggunakan kotak suara berbahan kardus. Mengenai hal ini, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni mengatakan, pertanyaan masyarakat mengenai kotak suara ‘kardus’ adalah wajar karena ketidaktahuannya.
“Logikanya sederhana saja, kardus mie instan, kardus mineral, dan yang dibandingkan itu bukan sesuatu yang setara,” kata Titi Anggraeni dalam program acara di stasiun televisi swasta, Selasa (19/12) malam.
“kok suara saya yang satu, apalagi yang saya ingin jagoan saya menang, kok disimpannya di kardus? itu kan pertanyaan-pertanyaan wajar dari masyarakat,” tambah Titi.
Untuk menyikapi polemik di tengah masyarakat, Titi menyarankan agar KPU melakukan klarifikasi dan berkomunikasi lebih intens dengan publik terhadap pertanyaan-pertanyaan mereka seputar ide digulirkannya kotak suara berbahan kardus.
“Nah, disinilah yang diperlukan adalah klarifikasi dan komunikasi publik soal pertanyaan-pertanyaan tadi, bahwa suara pemilih itu akan disimpan dalam sebuah kotak yang akan tetap menjamin satu orang satu suara satu nilai yang kemurniannya itu akan diterjemahkan sesuai dengan pilihannya,” terangnya.
Dalam isu kotak suara ini, Titi menyoroti dua hal, pertama soal pilihan kotak suara. Titi menjelaskan, pemilihan bahan kotak suara itu harus menerjemahkan kebutuhan atas fungsionalitas kotak suara, yaitu mampu menyimpan surat suara dan kebutuhan perlengkapan pemungutan surat suara pada hari tersebut.
“Ini harus dipastikan oleh KPU dari kotak suara yang dipilih KPU. Ini harus dijelaskan oleh KPU,” tegas Titi.
Kedua, berkaitan dengan sistem tata kelola dan pengamanan dari kotak suara itu sendiri. Pengalaman Pemilu 2004 sampai 2018, kotak suara alumunium itu sudah digunakan paling tidak tiga kali Pileg Pilpres. Jadi tiga kali Pileg Pilpres itu berarti hitungannya enam kali Pemilu Legislatif dan Presiden, selain itu ada Pemilu kepala daerah dan Bupati/Walikota dan Gubernur.
“Jadi saya hitung-hitung kotak suara ini sudah digunakan 12 kali pemilihan. Yang berkaitan dengan kecurangan, paling banyak kecurangan itu karena faktor manusia di sekitar lingkaran kotak suara. Ada yang dicuri, kotaknya disembunyikan, Nah inilah yang menjadi faktor pertimbangan, selain pengamanan itu dan faktor manusia di sekitar itu,” pungkasnya.