MONITOR – 7 September 2004, pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 itu take off dari Singapura setelah melakukan transit dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Pesawat tersebut akan menuju Bandara Schipoll, Amsterdam, Belanda membawa ratusan penumpang salah satunya aktivis HAM, Munir Said Thalib.
Semua berjalan normal bagi penumpang lain, namun tidak bagi Munir. Ya, penerbangan yang normalnya ditempuh dalam waktu 12 jam itu menjadi mimpi buruk sekaligus detik-detik akhir aktivis yang lantang menyuarakan pengusutan pelanggaran HAM itu hingga menghembuskan nafas terakhirnya.
Tiga jam setelah lepas landas, Munir yang duduk di kursi 40 G tiba-tiba merasakan sakit perut yang hebat hingga membuatnya harus bolak-balik kamar kecil pesawat. Munir kemudian dipindahkan duduknya ke bagian depan tepatnya di nomor 4D-E di sebelah penumpang lain yang kebetulan seorang dokter.
Di depan kursi 4D-E, seorang awak kabin bernama Madjid melihat tubuh Munir dalam posisi miring menghadap kursi, mulutnya mengeluarkan air liur tidak berbusa, dan telapak tangannya membiru. Ia lantas meminta dr. Tarmizi untuk mengecek kondisi Munir.
“Pak Munir meninggal… Kok secepat ini, ya…. Kalau cuma muntaber, manusia bisa tahan tiga hari,” ucap dr. Tarmizi seraya berbisik kepada Madjid dikutip dari catatan kaki Jodhi Yudono di kompas.com (8/9/2014).
Tepat diatas 40.000 kaki, dua jam sebelum pesawat mendarat tepatnya di langit Rumania ketika waktu menunjukkan pukul 08.10 GMT atau 15.10 WIB, Munir meninggal dunia secara cepat dan mendadak jauh dari keluarga, kerabat, dan teman dekat. Munir, tokoh aktivis pembela korban penindasan dan pelanggaran kemanusiaan yang teguh pendirian dan sederhana itu pergi untuk selamanya meninggalkan seorang isteri Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva.
Tak ada kejahatan sempurna. Begitulah pribahasa tepat menggambarkan pembunuhan Munir. Skenario pembunuhan bak film mafia kejahatan tingkat tinggi yang begitu rapi dan nyaris tanpa meninggalkan bukti.
Namun, saat publik di tanah air hampir percaya bahwa kematian tersebut nampak normal, pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Munir mati dibunuh dengan cara diracun saat pesawat transit di Singapura.
Siapa yang membunuh Munir, apa motivasinya? Itulah yang hingga saat ini setelah 14 tahun kejadian tersebut masih suram hingga kini. Sungguh Ironis!
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut.
Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Presiden RI ke-6 SBY juga telah membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik hingga saat ini ketika rezim telah berganti.
Pengungkapan kasus pembunuhan Munir hanya jadi komoditas politik tanpa komitmen dan kemauan kuat mengungkap yang sebenarnya demi sebuah keadilan.
Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 – meninggal di Jakarta di dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah seorang aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.