MONITOR, Jakarta – Fenomena perkawinan anak di Indonesia cukup menjadi perhatian publik. Di tingkat dunia, Indonesia termasuk diantara tujuh negara dengan jumlah absolut tertinggi pernikahan anak.
Belum lagi, lembaga UNICEF PBB pada tahun 2010 mencatat Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di ASEAN dalam hal perkawinan anak. Kondisi ini membuat Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) prihatin, lantaran menjadikan perempuan sebagai subjek yang dirugikan.
Saat diskusi terbatas dengan Fraksi NasDem DPR, Ketua KUPI Badriyah Fayumi menyatakan bahwa perkawinan anak sudah saatnya dicegah. Menurutnya, praktik ini lebih banyak memberikan kemudharatan dibandingkan manfaat terutama bagi pihak perempuan.
“Kalau meninjau dari sisi sosial, pernikahan anak ini rentan memunculkan perceraian. Biasanya ini terjadi sebelum menginjak setahun usia pernikahan mereka,” ujar Badriyah di ruang fraksi NasDem lantai 22 DPR, Senayan, Rabu (2/5).
“Entah itu karena faktor KDRT, atau pemaksaan hubungan seksual,” tambah dia.
Alih-alih memetik kemashlahatan, menurut Badriyah, pernikahan anak justru terbukti menimbulkan banyak madharat, penderitaan, dan ketidaknyamanan hidup baik bagi anak perempuan yang dinikahkan, laki yang menikahi, ataupun anak-anak yang dilahirkan kemudian.
“Kemadharatan itu pada akhirnya mempengaruhi kualitas mereka sebagai manusia yang diamanahkan Allah dan rasulnya,” papar mantan anggota DPR RI dari PKB tahun 2004-2009.
Atas dasar itu, KUPI memberikan rekomendasi agar pemerintah tetap memenuhi hak anak yang sudah terlanjur menjadi korban perkawinan anak. Selain itu, pihak-pihak non pemerintah juga diharapkan memberikan pembekalan berupa edukasi parenting, sehingga hak anak tidak tercabut dengan perkawinan tersebut.