MONITOR, Semarang — Transformasi besar dunia pesantren kembali mendapat penegasan dari para tokoh penting dalam ekosistem pesantren. Wakil Menteri Agama RI bersama KH. A. Fadhullah Turmudzi dan KH. Ubaidillah Shodaqoh menyampaikan arahan strategis mengenai masa depan pesantren, meliputi rekognisi alumni, penguatan kapasitas keilmuan, serta etika penggunaan teknologi dalam belajar.
Ketiga tokoh tersebut sepakat bahwa era baru pesantren menuntut penguatan tradisi, moral, dan kapasitas akademik, sekaligus kemampuan santri mengisi ruang digital dan ruang publik secara cerdas. Hal ini disampaikan saat Halaqah Pesantren Penguatan Kelembagaan Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren di UIN Walisongo Semarang pada Rabu (26/11/2025).
Wakil Menteri Agama RI, H. Romo Muhammas Syafi’i kembali menegaskan bahwa berdirinya Direktorat Jenderal Pesantren merupakan momentum strategis yang harus dimanfaatkan untuk memperluas peran pesantren di tengah dinamika global saat ini. Menurutnya, pesantren memiliki modal tradisi intelektual yang kuat, tinggal didorong agar santri mampu tampil di berbagai sektor kehidupan modern.
“Pesantren adalah peradaban. Dengan Ditjen Pesantren, kita ingin melahirkan generasi yang menguasai agama sekaligus memimpin teknologi. Tradisi keilmuan harus berjalan seiring dengan inovasi,” ujar Wamenag.
Wamenag juga menekankan bahwa santri dan alumni pesantren harus menjadi bagian dari pembentukan opini publik, riset, dan pengambilan keputusan di berbagai bidang. Negara, kata Wamenag, memiliki kewajiban membuka ruang yang lebih besar agar alumni pesantren mengisi sektor-sektor strategis yang relevan dengan kapasitas keilmuannya.
Ketua Rabitah Ma’ahid Islami PWNU Jawa Tengah, KH. A. Fadhullah Turmudzi pentingnya rekognisi dan pengakuan terhadap alumni pesantren, terutama lulusan Ma’had Aly yang selama ini memiliki kapasitas keilmuan tinggi namun belum terserap optimal di ruang publik.
“Rekognisi terhadap alumni pesantren harus menjadi perhatian lebih. Selama ini belum maksimal. Alumni Ma’had Aly harus mengisi ruang publik sesuai kapasitas keilmuan. Kemenag harus memberi ruang dan fasilitas bagi mereka,” tegasnya.
Menurutnya, alumni pesantren tidak hanya siap berdakwah, tetapi juga berperan sebagai analis kebijakan, peneliti, konsultan syariah, pendidik publik, hingga fasilitator moderasi beragama. Karena itu, ia meminta Kemenag mendorong sistem penyetaraan, akses kerja, dan ruang aktualisasi yang lebih luas.
Dalam sesi berikutnya, KH. Ubaidillah Shodaqah selaku Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah memberikan pandangan mendalam mengenai efek teknologi terhadap pembelajaran pesantren. Ia menegaskan bahwa kemudahan akses informasi harus disertai kedalaman adab dan kontrol moral.
“Sesuatu yang dicapai dengan mudah akan hilang dengan mudah. Teknologi membantu, tetapi jangan sampai membuat tumpul dan menghilangkan semangat dalam mengkaji,” pesan Mbah Ubed.
Ia menjelaskan, santri zaman dulu membutuhkan ketekunan tinggi untuk mencari satu referensi di kitab. Namun kini, aplikasi digital memungkinkan pencarian hanya dengan mengetik kata kunci. Kemudahan ini harus dimaknai sebagai alat bantu, bukan pengganti mujahadah.
Mbah Ubed menegaskan bahwa ruang digital harus diisi oleh suara pesantren. Santri, menurutnya, wajib mengambil bagian dalam produksi konten keislaman yang sehat, moderat, dan berakar pada tradisi keilmuan pesantren.
“Santri dan pesantren harus mengisi ruang digital dengan konten kepesantrenan. Jangan biarkan ruang itu kosong dan diisi pihak yang tidak memahami pesantren,” tegasnya.
Ia juga menyinggung tantangan baru berupa penggunaan Artificial Intelligence (AI) dalam belajar. Informasi yang terbuka harus tetap dibatasi oleh etika, maqashid syariah, dan bimbingan moral.
Menurut Mbah Ubed, tantangan terbesar saat ini bukan lagi akses pengetahuan, tetapi bagaimana menjaga moral, adab, dan tujuan belajar agar tidak melenceng dari nilai-nilai pesantren.
“Tugas kita hari ini adalah mengontrol moral. Ilmu bisa didapat di mana saja, tetapi adab dan bimbingan kyai tidak bisa digantikan,” ungkapnya.
Kementerian Agama menyambut pandangan para ulama tersebut sebagai langkah memperkuat Ditjen Pesantren dalam menyusun program rekognisi alumni, penguatan literasi digital, dan pengembangan ekosistem pembelajaran yang tetap menjaga adab, etika, dan integritas keilmuan pesantren.