MONITOR, Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayati mendesak adanya penguatan terhadap regulasi anti-bullying untuk menekan angka kasus perundungan yang akhir-akhir semakin marak terjadi di lingkungan pendidikan. Menurutnya, penguatan regulasi tidak cukup hanya dengan pasal melainkan harus ada Standar Operasional Prosedur (SOP) pengawasan dan mekanisme yang terukur.
Esti menyatakan, bahwa langkah memasukkan pencegahan dan penanganan bullying ke dalam revisi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) merupakan bagian dari komitmen besar untuk memperbaiki ekosistem pendidikan Indonesia secara struktural.
“Perilaku bullying di sekolah bukan hanya persoalan disiplin, tetapi masalah sistemik yang berkaitan dengan kualitas lingkungan belajar, kesehatan mental siswa, kapasitas guru, serta budaya sekolah yang belum sepenuhnya menghargai keselamatan dan martabat anak,” kata My Esti, Selasa (25/11/2025).
Sebagai informasi, RUU Sisdiknas akan memasukkan bab khusus terkait perlindungan peserta didik dari kekerasan dan perundungan. Kebijakan itu disiapkan untuk memberi landasan hukum yang jelas dalam pencegahan dan penanganan perundungan di lingkungan pendidikan.
Esti menilai, regulasi tegas yang khusus mengatur mengenai bullying di lingkungan sekolah sangat dibutuhkan.
“Pengalaman banyak regulasi pendidikan sebelumnya memberikan pelajaran penting: tanpa mekanisme pengawasan yang jelas, tanpa sanksi yang tegas, dan tanpa regulasi turunan yang kuat, regulasi sering kali tidak berjalan di lapangan,” ujarnya.
Esti mengatakan, banyak istilah seperti bullying, penanganan cepat, pelaporan ramah anak, hingga pendampingan psikologis disebut dalam kebijakan lama. Namun definisi operasional, timeline respons, serta standar pelaksanaan sering kali kabur dan tidak seragam.
“Akibatnya, sekolah menafsirkan mandat pencegahan bullying secara berbeda-beda, dan kasus yang seharusnya ditangani serius justru tertutup oleh prosedur administratif yang lemah,” ungkap Esti.
Esti menegaskan bahwa ‘bullying’ tidak bisa dipandang sebagai istilah tunggal. Di lapangan, perilaku bullying dinilai dapat bermacam-macam bentuknya mulai dari ejekan, pengucilan sosial, perundungan verbal, tindakan fisik, hingga cyberbullying yang semakin sering terjadi di kalangan remaja.
“Tanpa pemetaan yang jelas tentang tingkatan kasus dan prosedur penanganan yang berbeda antara kasus ringan dan berat, risiko yang muncul adalah penanganan yang setengah-hapus,” sebut Esti.
“Regulasi ada, tetapi tidak efektif menyentuh kasus yang paling membutuhkan intervensi,” sambung Legislator dari Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu.
Esti pun menyoroti kebijakan yang akan diterapkan di Korea Selatan terkait bullying ini. Di negara tersebut, riwayat siswa yang menjadi pelaku kekerasan dan bullying di sekolah akan terpampang saat mendaftar kuliah ke perguruan tinggi mulai tahun 2026.
Rencana penerapan kebijakan itu sudah dibuat Kementerian Pendidikan Korea sejak 2023 untuk memberantas kekerasan di kalangan siswa.
Esti pun menilai, Indonesia bisa berkaca dari Korsel yang juga memiliki tingginya tingkat persoalan bullying di lingkungan pendidikan. Ancaman sanksi sosial diharapkan menjadi ‘rem’ bagi pelaku bullying.
“Ini menarik, bisa menjadi contoh untuk penanganan sanksi sosial kepada pelaku bullying. Norma sanksi yang jelas dapat membuat mereka yang terindikasi punya sikap bullying lebih berhati-hati dan memiliki pengendalian diri,” sebut Esti.
Selain itu, pimpinan Komisi Pendidikan DPR ini juga menekankan pentingnya penguatan bagi guru untuk memahami soal bullying. Menurut Esti, dibutuhkan pembekalan khusus terhadap guru terkait persoalan bullying yang fenomenanya sudah sangat mengkhawatirkan.
“Pencegahan dan penanganan bullying tidak mungkin berjalan jika kapasitas pelaksana di sekolah rendah. Guru, perlu memiliki kompetensi konseling dan manajemen konflik, siswa harus teredukasi, orang tua aktif terlibat, dan sekolah wajib memiliki SOP yang hidup, bukan sekadar dokumen formalitas,” paparnya.
“Karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak sekolah, terutama di daerah terpencil atau dengan keterbatasan sumber daya, bahkan belum mendapatkan pelatihan dasar mengenai konseling atau manajemen konflik. Hal ini membuat sekolah tidak siap merespons kasus bullying secara cepat, aman, dan profesional,” sambung Esti.
Oleh karenanya, Esti menegaskan bahwa revisi UU Sisdiknas harus mendorong pemerintah agar menerbitkan regulasi turunan yang spesifik dan operasional.
Pemerintah, menurut Esti, harus menyiapkan Peraturan Pemerintah atau peraturan teknis di tingkat kementerian yang secara komprehensif mengatur definisi bullying, prosedur pelaporan, jalur pelaporan anonim, timeline respons yang terukur, kewajiban pelatihan guru dan konselor, hingga standar anggaran minimum untuk pelaksanaan program anti-bullying di setiap sekolah.
“Tanpa aturan yang rinci agar dapat ada audit, upaya pemberantasan bullying hanya akan menjadi rumusan normatif tanpa kekuatan implementasi,” jelasnya.
Esti menilai, dinas pendidikan provinsi/kota dan setiap sekolah wajib menyusun serta mempublikasikan SOP anti-bullying yang menjelaskan langkah pencegahan, perlindungan korban, prosedur penyelidikan, mekanisme mediasi, hingga tindak lanjut pemulihan. Ia menekankan, SOP ini harus dapat diakses publik agar orang tua dan siswa mengetahui hak dan mekanisme perlindungan yang tersedia.
Esti juga mengingatkan bahwa penanganan bullying tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada sekolah. Sebab, kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sering kali berkaitan dengan persoalan psikologis, kondisi keluarga, tekanan sosial, hingga masalah kesehatan mental.
“Untuk itu, setiap sekolah harus memiliki kerja sama yang jelas dan formal dengan dinas Kesehatan, dinas Sosial, lembaga psikologi dan konseling, aparat penegak hukum, serta komunitas lokal,” ujarnya.
“Pendekatan lintas sektor ini penting agar sekolah memiliki dukungan profesional ketika menghadapi kasus yang memerlukan intervensi lebih dalam,” imbuh Esti.
Esti pun yakin keberanian untuk memperkuat regulasi dan memperjelas tanggung jawab setiap pemangku kepentingan merupakan langkah mendasar untuk membangun sekolah yang aman, sehat, dan inklusif bagi seluruh anak Indonesia.
“Revisi UU Sisdiknas harus menjadi fondasi bagi sistem perlindungan anak yang tidak hanya reaktif, tetapi juga preventif, berkelanjutan, dan didukung kompetensi profesional di lapangan,” urainya.
“Anak-anak Indonesia berhak tumbuh dalam lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan, dan negara wajib memastikan itu terjadi bukan hanya melalui pasal, tetapi melalui implementasi nyata di setiap sekolah,” pungkas Esti.