Oleh: Prof. Rusdiana*
Peringatan Hari Guru Nasional 2025 mengangkat tema yang sarat makna: “Merawat Semesta dengan Cinta.” Pada momentum ini, kita tidak hanya merayakan peran guru sebagai pendidik, tetapi merenungkan kembali misi besar mereka sebagai penjaga kehidupan. Di tengah krisis kemanusiaan, krisis ekologi, dan krisis moral yang melanda generasi muda, guru tampil bukan sekadar sebagai pengajar, melainkan sebagai perawat semesta penjaga nilai, penjaga akhlak, penjaga kedamaian, dan penjaga hubungan manusia dengan alam ciptaan.
Ketika Kementerian Agama mengusung tema ini, tersirat pesan penting: pendidikan Islam bukan hanya instrumen transfer ilmu, tetapi jalan pembentukan manusia utuh (insan kāmil). Pendidikan yang mengabaikan cinta hanya menghasilkan kecerdasan tanpa nurani; pendidikan yang memisahkan manusia dari semesta hanya melahirkan generasi yang cerdas merusak bumi. Karena itu, “merawat semesta” adalah panggilan spiritual yang menempatkan guru pada posisi strategis: membangun kesadaran bahwa hidup adalah amanah, bukan kepemilikan.
Guru sebagai Cahaya Kehidupan
Dalam banyak tradisi spiritual, guru diibaratkan cahaya. Cahaya tidak hanya menerangi, tetapi menuntun arah. Cahaya tidak menggantikan perjalanan murid, tetapi memastikan jalannya tetap pada kebenaran. Di sinilah relevansi tema HGN 2025 terasa: guru adalah cahaya semesta yang merawat dunia melalui manusia-manusia yang dibimbingnya.
Ketika guru menanamkan ilmu disertai kasih, maka lahirlah generasi yang berpikir jernih sekaligus berhati lembut. Ketika guru mengajarkan akhlak sebelum akademik, maka lahirlah keberadaban. Guru yang hadir dengan cinta menjadi mata air ketenangan di kelas, di rumah, dan di masyarakat.
Merawat Semesta Dimulai dari Merawat Nurani
Spirit “merawat semesta” sebenarnya berakar pada tindakan kecil yang sering tidak disadari: cara guru menyapa murid, cara guru mengendalikan emosi ketika mengajar, cara guru memberi ruang dialog, hingga cara guru meneladankan kejujuran. Semua tindakan ini bukan aktivitas sederhana; ia adalah proses merawat nurani generasi.
Dalam kurikulum berbasis cinta yang sedang digagas Kemenag, cinta tidak dipahami sebagai rasa sentimentil, tetapi sebagai kekuatan moral: 1) cinta yang menciptakan empati, 2) cinta yang menumbuhkan kepedulian sosial, 3) cinta yang menguatkan komitmen merawat alam.
Dengan cara itulah guru menjadi perawat semesta: bukan dengan bekerja di luar jangkauan, melainkan melalui tindakan pendidikan yang menyentuh nilai terdalam manusia.
Inklusivitas sebagai Jalan Merawat Peradaban
HGN 2025 juga membawa pesan kuat melalui semangat “Teachers Day for All.” Pendidikan, dalam perspektif Kemenag, tidak boleh eksklusif. Guru lintas iman, lintas lembaga, dan lintas budaya memiliki peran serupa sebagai penjaga kehidupan.
Ketika guru mampu membangun ruang yang ramah bagi semua murid—tanpa memandang latar belakang agama, suku, maupun kemampuan belajar—sesungguhnya ia sedang merawat salah satu bagian penting dari semesta: keberagaman manusia.
Peradaban hanya tumbuh ketika keberagaman dirawat, bukan diabaikan.
Cinta sebagai Kurikulum Masa Depan
Di tengah penetrasi teknologi, kecerdasan buatan, dan kompetisi global, dunia pendidikan membutuhkan satu energi yang tidak tergantikan oleh mesin: cinta. Cinta menjadikan ilmu bermakna, menjadikan pengetahuan bertanggung jawab, dan menjadikan manusia beradab.
Cinta inilah yang menjadikan guru lebih dari sebatas profesi: ia adalah misi spiritual. Guru hadir bukan untuk mengisi pikiran, tetapi membentuk kepribadian; bukan hanya membuka buku, tetapi membuka kesadaran; bukan sekadar menyampaikan pelajaran, tetapi memberikan arah hidup.
Penutup: Cahaya yang Tidak Pernah Padam
Hari Guru Nasional 2025 adalah momen penting untuk mengingat bahwa masa depan bangsa tidak pernah ditentukan oleh kebijakan semata, tetapi oleh karakter yang ditanamkan para guru hari ini. Guru adalah cahaya yang menuntun murid menemukan jalan hidupnya. Dan setiap cahaya yang mereka berikan adalah bagian dari upaya merawat semesta.
“Selamat Hari Guru Nasional 2025. Terima kasih para guru penjaga cahaya, penjaga nurani, dan perawat semesta.”
*Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung