MONITOR, Jakarta – Kementerian Perindustrian terus memperkuat daya saing industri kecil dan menengah (IKM) batik dengan mendorong pemenuhan standar mutu nasional sebagai langkah memastikan keaslian, kualitas, dan keberlanjutan warisan budaya batik Indonesia. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa upaya standardisasi menjadi instrumen penting untuk menjaga posisi batik sebagai identitas bangsa sekaligus komoditas industri berdaya saing tinggi.
“Batik bukan hanya produk industri, tetapi simbol kebudayaan yang telah diakui dunia. Karena itu mutunya harus dijaga melalui standardisasi yang sesuai kaidah produksi batik asli. Penerapan SNI Batik akan memperkuat kepercayaan konsumen dan sekaligus membuka pasar yang lebih luas, termasuk pasar ekspor,” ujar Menperin dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (22/11).
Menperin juga menyampaikan apresiasi terhadap sinergi antara Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik (BBSPJIKB). Menurutnya, kolaborasi ini menjadi fondasi untuk mempercepat penerapan SNI bagi lebih banyak pelaku usaha batik di seluruh wilayah Indonesia. “Kami menilai langkah kolaboratif seperti bimbingan teknis dan fasilitasi sertifikasi adalah kunci dalam memperkuat struktur industri batik nasional,” ujar Agus.
Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (Ditjen IKMA) bersama BBSPJIKB terus menjalin kolaborasi strategis dengan BSN dalam memperluas penerapan SNI pada produk batik. Direktur Jenderal IKMA Reni Yanita menjelaskan, batik merupakan warisan budaya takbenda Indonesia yang telah diakui UNESCO sejak 2009, sehingga keaslian proses produksinya harus dipertahankan melalui penerapan standar yang tepat.
Selain itu, Reni menjelaskan bahwa karakteristik batik asli telah tertuang dalam SNI 0239:2019, yang kemudian dirinci lebih lanjut jenis-jenisnya, yaitu batik tulis (SNI 8302:2016), batik cap (SNI 8303:2016), dan batik kombinasi (SNI 8304:2016) yang merupakan gabungan antara batik tulis dan batik cap.
Keaslian batik ditandai dengan penggunaan malam panas sebagai perintang warna, pemakaian canting tulis atau canting cap sebagai alat utama pencipta motif, serta keberadaan makna pada setiap motif yang dihasilkan.
“Dengan adanya SNI, pembeli bisa lebih mudah membedakan mana batik asli dan mana kain bermotif batik atau batik print yang menggunakan proses industri massal. Standar ini bertujuan menjaga kualitas dan memastikan praktik produksi batik berjalan sesuai pakem yang benar,” jelas Reni.
Ditjen IKMA sebelumnya telah menyelenggarakan webinar mengenai standardisasi batik sebagai bentuk edukasi kepada pelaku IKM. Upaya tersebut dilanjutkan melalui fasilitasi SNI bagi IKM batik binaan, bekerja sama dengan BSN dan BBSPJIKB.
Kolaborasi ini diwujudkan secara konkret melalui kegiatan Bimbingan Teknis Penerapan SNI bertema “IKM Batik Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekitarnya Sukses Ber-SNI” yang dilaksanakan pada 21 Oktober 2025 di Yogyakarta. Sebanyak 15 IKM mengikuti pendampingan tersebut, sementara tujuh IKM lainnya berhasil menerima fasilitasi sertifikat SNI Batik, yakni Batik Geulis Handayani, CV Karya Satu Rumah, Batik Duo Serangkai, Soendari Batik, Bengkel Batik, Vandriel Batik, dan Gifara Batik.
Reni berharap kegiatan ini menjadi penggerak bagi wilayah lain untuk mengadopsi standardisasi serupa sehingga jumlah perajin batik ber-SNI dapat terus meningkat. “Inisiatif seperti ini penting untuk mempertebal fondasi industri batik nasional dan memastikan keberlanjutannya di masa depan,” ujarnya.
IKM perlu konsisten
Direktur IKM Kimia, Sandang, dan Kerajinan, Budi Setiawan, menyampaikan bahwa bimbingan teknis tersebut dirancang untuk memberikan pemahaman menyeluruh mengenai sistem produksi yang baik, manajemen mutu, hingga kesiapan teknis dalam proses sertifikasi SNI. Menurutnya, pelaku IKM perlu memahami bahwa pemenuhan standar bukan sekadar formalitas, melainkan praktik penting yang menentukan kualitas produk.
Budi menekankan pentingnya efisiensi dan konsistensi dalam proses produksi agar IKM dapat memenuhi persyaratan SNI Batik. Pengelolaan bahan, pemilihan kain, ketahanan warna, kerapian motif, serta kontrol mutu di setiap tahap harus diperhatikan secara serius.
“Dengan mengikuti standar yang tepat, tingkat kecacatan produksi dapat ditekan, sementara kredibilitas usaha meningkat. Hal ini otomatis memperluas peluang pasar dan memperbesar peluang penetrasi ke segmen premium maupun ekspor,” tuturnya.
Budi menambahkan bahwa proses sertifikasi membutuhkan kesabaran karena memerlukan tahapan verifikasi dan evaluasi yang ketat. Namun, nilai jangka panjangnya sangat signifikan bagi keberlanjutan usaha. “Kegiatan ini membuka ruang sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk memperkuat industri batik nasional. Standar mutu adalah tiang utama keberlanjutan,” ujarnya.
Upaya tersebut diharapkan dapat mendukung pelestarian budaya dan menjadikan batik sebagai sektor industri unggulan yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian daerah maupun nasional.