Sabtu, 8 November, 2025

Warga Baduy Ditolak RS Karena Tak Punya KTP, DPR: Faskes Tak Boleh Tolak Pasien!

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi menyoroti peristiwa seorang warga Baduy Dalam bernama Repan, yang ditolak rumah sakit untuk mendapat penanganan pengobatan lantaran tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Nurhadi mengingatkan fasilitas kesehatan tidak boleh menolak pasien.

“Kasus yang dialami oleh saudara kita dari komunitas Baduy Dalam, yang menjadi korban pembegalan saat berjualan madu yang pada akhirnya kesulitan mendapatkan layanan kesehatan karena tidak memiliki KTP merupakan sebuah preseden yang sangat mengkhawatirkan,” kata Nurhadi, Jumat (7/11/2025).

Seperti diketahui, Warga Baduy Dalam bernama Repan menjadi korban pencurian dengan kekerasan atau begal di kawasan Rawasari, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada Minggu (2/11) pagi. Repan mengalami luka di tangan kiri, namun sempat ditolak rumah sakit di kawasan tersebut karena tidak memiliki KTP.

Selain kehilangan uang Rp 3 juta dan 10 botol madu dagangannya, Repan harus berjalan kaki untuk menyambangi kenalannya di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat agar mendapat pertolongan. Repan akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Ukrida untuk mendapat pengobatan dengan biaya ditanggung orang lain.

- Advertisement -

Terkait hal ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan bahwa dalam kondisi darurat, rumah sakit harus segera menangani pasien. Nama rumah sakit yang menolak menangani Repan pun diminta untuk dibuka ke publik.

Sementara, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menyatakan akan menelusuri kasus Repan. Pratikno memastikan akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengenai KTP warga Baduy.

Sebagai anggota Komisi Kesehatan DPR, Nurhadi melihat beberapa hal penting yang harus segera disikapi terkait kasus ini, termasuk jaminan bagi setiap warga negara atas akses pelayanan medis, apalagi dalam kondisi darurat.

“Rumah sakit ataupun fasilitas kesehatan tidak boleh menolak pasien hanya karena persoalan administrasi, seperti tidak memiliki KTP,” ujarnya.

Nurhadi juga menyoroti bagaimana komunitas Baduy Dalam secara historis memiliki pola kehidupan yang berbeda termasuk dalam hal kehadiran dokumen kependudukan seperti KTP. Hal ini dinilai menjadi penghambat serius ketika mereka harus menghadapi kejadian tak terduga.

“Pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat adat atau komunitas khusus mendapat kemudahan dalam memperoleh dokumen dasar dan setidak-nya memiliki kepastian pengakuan administrasi agar hak-hak dasar mereka terlindungi,” jelas Nurhadi.

Nurhadi pun mendorong Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri (kependudukan), hingga Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial di daerah untuk bersinergi serta berkoordinasi.

“Untuk kasus semacam ini, protokol atau SOP-nya harus jelas bahwa rumah sakit wajib segera memberikan pertolongan pertama, selanjutnya administrasi dapat dilengkapi kemudian,” tegasnya.

Sementara untuk langkah jangka panjang, Nurhadi mengatakan Komisi IX DPR akan mendorong adanya regulasi yang menjamin akses layanan kesehatan tanpa terkecuali bagi masyarakat yang belum memiliki dokumen formal dalam kondisi darurat. Pihaknya juga akan mendorong program percepatan penerbitan KTP atau dokumen alternatif bagi komunitas adat yang selama ini belum tercatat secara formal.

“Saya menegaskan bahwa tidak boleh ada warga negara yang ‘terlupakan’ oleh sistem hanya karena persoalan administratif,” ungkap Nurhadi.

Legislator dari Dapil Jawa Timur VI itu menekankan agar kasus ini harus menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem layanan kesehatan dalam negeri. Menurut Nurhadi, hal ini untuk memastikan pelayanan kesehatan menjadi lebih inklusif dan menghormati hak asasi manusia.

“Kami di Komisi IX DPR siap berkoordinasi dengan pemerintah dan stakeholder terkait untuk memastikan bahwa kejadian seperti ini tidak terulang,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER